- Details
- Written by Eleonora Dinanti Pink Cinmoudi, Priskila Rossi, Laurensia Kirana Ghea B, & Auradini Gagola
- Category: Vol. 9 No. 09 Mei 2023
ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 09 Mei 2023
Be Aware!
Kecemasan Bisa Memperparah Jantung Koroner
Oleh:
Eleonora Dinanti Pink Cinmoudi, Priskila Rossi,
Laurensia Kirana Ghea B, & Auradini Gagola
Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Penyakit jantung koroner (PJK) disebabkan karena terjadinya penyempitan pada dinding arteri koroner akibat penumpukan kolesterol dan lemak sehingga suplai oksigen tersumbat (Azhar , Muttaqien, & Marisa, 2020). Berdasarkan hasil survei Sample Registration System (SRS), penyakit jantung koroner adalah penyebab kematian tertinggi di Indonesia sebesar 12,5% pada semua umur. Tingginya angka kematian ini membuat pasien PJK cemas akan penyakit yang dideritanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien PJK seringkali mengalami kecemasan yang dapat memperburuk gejala penyebab PJK pada pasien (Gustad, Laugsand, Janszky, Dalen, & Bjerkeset, 2014). Kecemasan perlu disadari dan ditangani pada pasien penyakit jantung koroner.
Kecemasan adalah emosi negatif yang dihasilkan dari paparan bahaya, ketegangan dan stres, atau dari rangsangan sistem saraf simpatetik (Kaplan dan Sadock, 2002). Komplikasi penyakit, pengalaman nyeri, dan ancaman kematian adalah beberapa penyebab munculnya kecemasan pada penderita (Shari et al, 2014). Perbedaan kecemasan yang mendasar pada pasien PJK dengan pasien penyakit kronis lainnya adalah kecemasan yang berkaitan dengan ketakutan akan kematian. Kematian pada pasien PJK seringkali terjadi secara mendadak dan pada waktu yang tidak terduga. Hal ini membuat pasien belum menerima risiko kematian mendadak karena mengingat masih terdapat beberapa tanggung jawab di kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai kepala keluarga yang memiliki istri dan anak-anak yang harus dinafkahi.
Semakin banyak kecemasan yang dirasakan pada pasien penyakit jantung koroner, yang selanjutnya akan memperburuk kondisi fisik pasien (Astin et al, 2005). Dampak kecemasan pada fisiologis pasien PJK akan menyebabkan sesak, nyeri dada, keterbatasan pada aktivitas fisik, palpitasi, rasa ingin pingsan, penurunan denyut nadi, dan penurunan tekanan darah (Stuart, 2013). Hal ini dapat memperburuk persepsi pasien PJK terhadap penyakitnya dan menurunkan kepuasan pasien terhadap pengobatan (Nuraeni et al., 2016). Menurut (2014) stres atau kecemasan dapat mempengaruhi keadaan emosi seseorang, dan perubahan keadaan fisik dan emosi yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dan dapat menyebabkan depresi. Dapat dilihat kecemasan pada pasien PJK merupakan salah satu faktor penghambat kesembuhan, yang juga merupakan faktor yang memperparah penyakit itu sendiri. Hal ini tentu saja membutuhkan intervensi dari para ahli misalnya psikolog atau psikiater jika kecemasan yang dirasakan sudah parah.
Terdapat beberapa cara alternatif yang dapat dilakukan oleh pasien untuk mengatasi kecemasan ini antara lain dengan relaksasi dan berolahraga (Jacobson, 1977). Relaksasi sendiri dapat dilakukan dengan meditasi atau yoga, kedua hal ini dapat meningkatkan aliran darah dan melemaskan pembuluh darah sehingga dapat meringankan beban kerja jantung. Adapun olahraga yang disarankan untuk pasien PJK adalah dengan senam aerobik. Olahraga ini menggunakan jantung dan paru-paru untuk waktu yang lama, sehingga membantu jantung menggunakan oksigen lebih baik dan memperbaiki aliran darah, yang juga sangat berpengaruh pada penurunan tingkat kecemasan, dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Kemudian kegiatan lain yang dianjurkan adalah dengan berjalan kaki selama 60 menit dalam sehari. Hal ini sangat baik untuk dilakukan karena memperlancar sirkulasi darah, dan membuat pikiran lebih tenang, dimana hal ini juga sangat baik bagi pasien dengan kecemasan (Ricky & Dhea, 2015).
Pada kebanyakan kasus, pasien PJK terindikasi dengan tingkat kecemasan yang tinggi. Secara umum, kondisi fisik dan psikologis yang dirasakan pasien adalah sulit tidur, pesimis, gelisah, khawatir, susah untuk bersantai, gemetar pada tangan, berdebar– debar karena khawatir, serta takut akan kematian (Hastuti & Mulyani 2019). Pasien PJK merasakan kecemasan yang ada berkaitan dengan ketakutan akan kematian, dimana kematian pada pasien PJK seringkali terjadi secara mendadak dan pada waktu yang tidak terduga. Hal ini tentu saja dapat memperburuk kondisi fisik dan psikis pasien. Terdapat cara alternatif yang dapat dilakukan oleh pasien untuk mengatasi kecemasan yaitu dengan relaksasi dan berolahraga. Relaksasi dilakukan dengan yoga, sedangkan kegiatan olahraga yang dianjurkan adalah dengan senam aerobik dan berjalan kaki.
Referensi
Anderson, R., & Rustam, D. (2015). 4 exercises that promote blood circulation. Retrieved from viva.co.id: https://www-viva-co-id.translate.goog/gaya-hidup/kesehatan-intim/604581-4-olahraga- yang-lancarkan-sirkulasi-darah?_x_tr_sl=id&_x_tr_tl=en&_x_tr_hl=en&_x_tr_pto=sc
Azhar , M. M., Muttaqien, F., & Marisa, D. (2020). Perbedaan kualitas hidup antara pasien penyakit jantung koroner yang rutin dan tidak rutin melakukan senam jantung sehat. Homeostasis 3(1), 147-152.
Gustad, L. T., Laugsand, L. E., Janszky, I., Dalen, H., & Bjerkeset, O. (2014). Symptoms of anxiety and depression and risk of acute myocardial infarction: the HUNT 2 Study. European Heart Journal 31(21), 1394-1403.
Hastuti, Y., & Mulyani, E. (2019). Kecemasan pasien dengan penyakit jantung koroner paska Percutaneous coronary intervention. Jurnal Perawat Indonesia 3(2), 168
Nuraeni, A., & Mirwanti, R. (2017). Hubungan cemas dan depresi pada pasien dengan penyakit jantung koroner. MEDISAINS : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Kesehatan, 15(1), 10-16.
Rokom. (2017, Agustus 05). Penyakit Jantung Penyebab Kematian Tertinggi, Kemenkes Ingatkan CERDIK. Retrieved from sehat negeriku sehatlah bangsaku: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20170801/2521890/penyakit-jantung- penyebab-kematian-tertinggi-kemenkes-ingatkan-cerdik-2/ 21 November 2022
Stuart, G. W . (2013). Buku saku keperawatan jiwa. (P. E. Karyuni, Ed.) (5th ed.). Jakarta: EGC.
Suroso, J., & Meiyuntariningsih, T. (2018). Terapi relaksasi progresif untuk menurunkan kecemasan siswa dalam menghadapi menarche. Jurnal Psikologi Indonesia, 7(1), 87.

- Details
- Written by Andrea Ramadhania A. Wiriadinata
- Category: Vol. 9 No. 09 Mei 2023
ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 09 Mei 2023
Pendekatan Art Therapy dalam Mengelola Stres
Oleh:
Andrea Ramadhania A. Wiriadinata
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
“Record, draw, or write positive thoughts and instances you’re grateful for. Make it a daily habit!”
Selama ini banyak terapi psikologi seperti Cognitive Behavior Therapy, Interpersonal Therapy, Gestalt Therapy, dan semacamnya. Kebutuhan akan kesehatan mental individu memberikan banyak kesempatan munculnya banyak terapi modern seperti terapi bermain, terapi musik, terapi menarik, art therapy, dan sebagainya. Salah satu upaya untuk menghadapi dan mengatasi stres adalah Art Therapy.
Apa itu Art Therapy?
Art therapy adalah salah satu pengobatan non-farmakologi yang semakin populer. Art therapy itu sendiri didefinisikan sebagai psikoterapi dengan membuat karya visual seperti menggambar, melukis, memahat, kolase, dan sebagainya untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan perasaan individu. Selain karya visual, art therapy juga dapat dilakukan restorasi karya seni dengan tujuan meningkatkan pesona dan perhatian individu sehingga dapat menghadapi rasa lelah dan tekanan emosionalnya (Kirshbaum & Donbavand dalam Jiang et al., 2020).
Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Jiang et al., (2020) pada pasien yang mengalami kanker menunjukkan beberapa hasil yang signifikan, yaitu art therapy memiliki hasil yang positif terhadap gangguan kecemasan, depresi, dan rasa lelah. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa art therapy meningkatkan kualitas hidup pasien kanker yang mengikuti art therapy. Setelah melakukan art therapy, rasa lelah yang dirasakan pasien kanker berkurang sebanyak 36% (Lefevre, Ledoux, & Filbet, dalam Jiang et al., 2020).
Art therapy juga memiliki hasil yang signifikan dalam mengurangi gejala pada gangguan depresi dan gangguan kecemasan. Sebuah studi mengenai art therapy pada lansia menunjukkan bahwa melukis juga dapat mengurangi gejala depresi dan gangguan kecemasan (Ciasca et al., 2018). Art therapy menunjukkan bahwa pasien dapat mengekspresikan rasa takut, cemas, dan emosi negatif lainnya melalui projeksi saat melukis. Dengan begitu, mood dan gejala depresi serta gangguan kecemasan juga tampak membaik (Hamer et al., dalam Hu, Zhang, Hu, Yu, & Xu, 2021).
Ada beberapa bentuk art therapy yang dapat dilakukan sebagai upaya pengobatan berbagai penyakit, terutama pada gangguan kesehatan mental. Gangguan tersebut meliputi gangguan depresi dan kecemasan, gangguan kognitif dan dementia, Alzheimer’s Disease, skizofrenia, autisme, dan sebagainya. Art Therapy juga dapat diaplikasikan di penyakit lain seperti cerebral palsy, kanker, dan lain-lain (Hu, Zhang, Hu, Yu, & Xu, 2021). Beberapa bentuk yang paling sering ditemukan menurut Chiang, Reid-Varley, dan Fan (2019) antara lain:
1. Karya visual
Metode karya visual dapat diterapkan dengan merefleksikan emosi yang muncul ketika dihadapkan dengan karya lukis atau pahatan yang terkenal dengan komponen kreatif dan berbagai jenis karya visual seperti lukisan, karya tanah liat, pahatan, karya berbahan dasar kertas seperti origami, kolase, dan lain-lain. Teknik ini terbukti pada sebuah penelitian di tahun 2016 pada pasien dengan gangguan psikotik memiliki hasil positif dengan meningkatnya kepercayaan diri, kemampuan mengekspresikan diri, kesadaran diri, emotional distress, dan emotional well-being (Attard & Larkin, 2016). Sebuah penelitian yang melibatkan seni kaligrafi Cina pada lebih dari 10,000 pasien dengan gangguan kesehatan mental yang berat menunjukkan perkembangan yang signifikan pada partisipan dengan gejala kecemasan, depresif, dan gangguan psikotik (Chu et al., 2018).
2. Terapi musik
Terapi musik merupakan salah satu yang sering dipelajari mengenai metode art therapy dan dapat berupa aktif; pasien ikut serta dalam proses produksi lagu yang dipandu oleh terapis, serta reseptif; pasien mendengar dan merespon terhadap lagu menggunakan metode seperti menganalisis lirik. Terapi musik baik secara aktif maupun reseptif terbukti meningkatkan keberfungsian sosial dan kualitas hidup. Selain itu, terapi musik yang dilakukan pada 200 narapidana di Cina menunjukkan berkurangnya level kecemasan dan depresi serta meningkatkan level kepercayaan diri (Chen et al., 2016).
3. Creative atau expressive writing
Menulis adalah salah satu cara yang paling sering dilakukan untuk mengungkapkan perasaan. Dalam art therapy, expressive dan creative writing termasuk dalam menulis jurnal, puisi, fiksi, autobiografi, dan memoirs (Feirstein, 2016; King et al., 2013). Metode expressive dan creative writing menghasilkan individu yang perseptif dengan kesempatan mengekspresikan dan melepaskan emosi yang berbeda dari metode art therapy lainnya. Studi pilot dengan 11 partisipan yang mengalami gangguan kesehatan mental berat mengikuti workshop menulis, para partisipan berpendapat bahwa workshop tersebut menjadi pengalaman yang sangat positif dan berkemungkinan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan fungsi kognitif partisipan (King et al., 2013).
Secara keseluruhan, art therapy dengan berbagai metode menunjukkan hasil yang sangat positif pada kesehatan mental maupun kesehatan fisik dan dapat dikontribusikan dalam beberapa jenis. Melukis bisa diikuti dengan terapi musik. Banyak orang yang merasa stres dengan ramainya kehidupan, seperti situasi rumah yang ramai, notifikasi ponsel atau email yang tiada habisnya, dan pertemuan daring yang tak kunjung henti. Melukis dengan lagu lo-fi sebagai latar dapat membantu individu untuk rileks dan menenangkan pikiran.
Selain itu, menulis diari atau journaling juga merupakan salah satu kegiatan yang paling mudah dilakukan, namun mencakup banyak aspek yang dapat mengurangi stres, seperti merefleksikan diri dan melatih kemampuan menganalisis serta mengungkapkan perasaan dengan menulis ekspresif. Penelitian yang dilaksanakan oleh Nurhasanah (2019) pada mahasiswa yang diberikan pelatihan menulis ekspresif dengan mahasiswa yang tidak diberikan pelatihan menulis ekspresif menunjukkan bahwa mahasiswa yang diberikan pelatihan menulis ekspresif memiliki skor rata-rata tingkat stres yang lebih rendah. Penelitian lainnya yang dilaksanakan oleh Rahmawati (2014) pada anak berusia 9 dan 11 tahun yang pernah mengalami kejadian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) diminta untuk menulis ekspresif. Penelitian ini memiliki hasil berkurangnya tingkat stres pada partisipan. Salah satu partisipan termasuk anak yang pendiam, namun partisipan tersebut merasa senang setelah mengikuti penelitian ini dan membiasakan diri untuk menulis diari karena ia dapat meluapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Partisipan kedua juga memiliki perubahan skor stres yang cukup signifikan karena ia dapat menuliskan ekspresi emosinya secara lebih mendalam, seperti ketika ia merasa sedih, senang, atau marah.
Pada dasarnya, art therapy bisa membantu individu dalam menghadapi masalah, stres, bahkan sampai gangguan fisik dan mental. Art therapy juga bisa mulai dilakukan di rumah dan seorang diri, dengan alat yang dapat dibilang sederhana dan mudah didapat. Mungkin membiasakan diri untuk memulai dan meluapkan segala perasaan, emosi, dan tekanan yang dihadapi ke dalam sebuah karya merupakan hal yang tidak mudah. Untuk memulai, yang Anda butuhkan adalah menyisihkan sedikit waktu, mungkin 10-15 menit untuk menulis, melukis, atau sekedar mendengar lagu. Cobalah membiasakan diri dan sisihkan sedikit waktu.
Apabila bukan Anda yang menjaga kesehatan mental Anda, siapa lagi?
Referensi:
Attard, A., & Larkin, M. (2016). Art therapy for people with psychosis: a narrative review of the literature. The Lancet Psychiatry, 3(11), 1067–1078. doi: 10.1016/s2215-0366(16)30146-8
Ciasca, E. C., Ferreira, R. C., Santana, C.L. A., Forlenza, O. V., Dos Santos, G. D., Brum, P. S., et al. (2018). Art therapy as an adjuvant treatment for depression in elderly women: a randomized controlled trial. Braz. J. Psychiatry 40, 256–263. doi: 10.1590/1516-4446-2017-2250
Chen, M.-D., Kuo, Y.-H., Chang, Y.-C., Hsu, S.-T., Kuo, C.-C., & Chang, J.-J. (2016). Influences of Aerobic Dance on Cognitive Performance in Adults with Schizophrenia. Occupational Therapy International, 23(4), 346–356. https://doi.org/10.1002/oti.1436
Chiang, M., Reid-Varley, W. B., & Fan, X. (2019). Creative art therapy for mental illness. Psychiatry Research, 275, 129–136. doi; 10.1016/j.psychres.2019.03.025
Chu, K.-Y., Huang, C.-Y., & Ouyang, W.-C. (2018). Does Chinese calligraphy therapy reduce neuropsychiatric symptoms: a systematic review and meta-analysis. BMC Psychiatry, 18(1). doi: 10.1186/s12888-018-1611-4
Hu, J., Zhang, J., Hu, L., Yu, H., & Xu, J. (2021). Art Therapy: A Complementary Treatment for Mental Disorders. Frontiers in Psychology, 12(34456801), 686005. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.686005
Jiang, X., Chen, X., Xie, Q., Feng, Y., Chen, S., & Peng, J. (2020). Effects of art therapy in cancer care: A systematic review and meta‐analysis. European Journal of Cancer Care, 29(5). https://doi.org/10.1111/ecc.13277
Feirstein, F. (2016). A Psychoanalytic Study of Sylvia Plath. The Psychoanalytic Review, 103(1), 103–126. https://doi.org/10.1521/prev.2016.103.1.103
King, R., Neilsen, P., & White, E. (2012). Creative writing in recovery from severe mental illness. International Journal of Mental Health Nursing, 22(5), 444–452. https://doi.org/10.1111/j.1447-0349.2012.00891.x
Nurhasanah, N. (2019). Pengaruh Pelatihan Menulis Ekspresif Terhadap Penurunan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Naskah Publikasi Program Studi Psikologi. Diakses dari http://eprints.mercubuana-yogya.ac.id/id/eprint/7233/
Rahmawati, M. (2014). Menulis ekspresif sebagai strategi mereduksi stres untuk anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2(2), 276 –. Doi: 10.22219/jipt.v2i2.2002

- Details
- Written by Bethania Effatha Tandita, Cindy Ferdiyani Tan, Clairine Felicia, & Gracia Amanda Sam Budisetyono
- Category: Vol. 9 No. 09 Mei 2023
ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 09 Mei 2023
Manajemen Konflik yang Efektif Meningkatkan Performa Kerja Kelompok
Oleh:
Bethania Effatha Tandita, Cindy Ferdiyani Tan, Clairine Felicia, &
Gracia Amanda Sam Budisetyono
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Unit Penelitian Mahasiswa, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, hal tersebut disebabkan oleh adanya dorongan kuat untuk hidup bermasyarakat atau berkelompok (Kurwoso, 2019). Untuk mewujudkan suatu tujuan, kadangkala akan dibutuhkannya bantuan atau kerjasama kelompok guna mencapai hasil yang maksimal (Kursowo, 2019). Dalam proses pencapaian tujuan tersebut, manusia hidup dengan saling bergantung, bekerjasama, dan saling mempengaruhi (Anwar, 2018).
Akan tetapi, konflik juga tak luput terjadi dalam proses tersebut. Konflik merupakan hal yang wajar terjadi dalam suatu kelompok (Efendi, 2015). Menurut Shabani (2022), konflik merupakan keadaan yang diakibatkan oleh masalah-masalah antar individu atau kelompok dalam suatu kelompok karena adanya kerja sama yang diwujudkan dengan gangguan disaat kegiatan normal akibat adanya perbedaan pendapat, nilai, dan perasaan. Konflik antar anggota kelompok kerap sekali terjadi ketika pemutusan keputusan maupun ketika mengemukakan pendapat (Nurwulan et al., 2021). Hal umum yang cenderung dialami dalam kelompok adalah ketika adanya anggota kelompok yang tidak mengerjakan bagiannya, atau ketua kelompok yang dinilai terlalu mendominasi dan memaksakan kehendak (Chang & Brickman, 2018, dalam Nurwulan et al., 2021). Diperburuk dengan adanya ketidakstabilan pembagian tugas atau pekerjaan, perlakuan yang diperoleh secara berbeda-beda, rasa tanggung jawab yang kurang, serta keegoisan anggota kelompok (Baser et al., 2017, dalam Nurwulan et al., 2021).
Konflik yang timbul dalam organisasi atau kelompok akan mengganggu kelancaran hubungan antar individu anggota, yang apabila hubungan tersebut terganggu maka individu-individu yang terlibat dengan konflik akan merasakan suasana kerja dan suasana psikologis yang tertekan (Sunarta, 2010). Tekanan psikologis tersebut akan mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat motivasi kerja sehingga prestasi atau performa kerja juga akan turut mengalami penurunan (Sunarta, 2010). Menurut Wartini (2015), konflik yang berhasil dikelola dengan efektif akan menghasilkan hubungan yang positif dan kondusif. Pengelolaan tersebut mampu menciptakan keharmonisan dalam bekerja bagi performa kerja kelompok. Oleh karena itu manajemen konflik diperlukan. Berikut dilampirkannya beberapa cara untuk mengelola konflik dalam tim menurut Aamodt (2016):
a. Cooperative problem solving, sebuah metode penyelesaian konflik di mana dua belah pihak berkumpul untuk membahas masalah dan sampai pada solusi.
b. Intervensi pihak ketiga
Ketika konflik dirasa sulit untuk diselesaikan oleh pihak yang terlibat dalam konflik, maka keterlibatan pihak ketiga diperlukan untuk menyelesaikan konflik agar berkontribusi positif pada performa kerja kelompok. Adapun dua cara yang dilakukan sebagai intervensi pihak ketiga, yaitu:
- Mediasi, metode penyelesaian konflik dimana pihak ketiga yang netral diminta untuk membantu kedua belah pihak mencapai kesepakatan.
- Arbitrasi, ketika pihak ketiga yang netral mendengarkan argumen kedua belah pihak dan kemudian membuat keputusan.
Konstruksi Tes adalah salah satu mata kuliah yang menuntut mahasiswa untuk bekerjasama selama satu semester, dan mengerjakan tugas pada setiap pertemuan. Oleh sebab itu, interaksi dalam kelompok memungkinkan terjadinya konflik. Dari kuesioner yang disebarkan kepada responden yang sudah pernah menempuh mata kuliah Konstruksi Tes Fakultas Psikologi Atma Jaya, terkumpul 105 kuesioner. Dengan standar deviasi sebesar 0.377, sebanyak 5 responden tidak mengalami konflik, sedangkan 100 responden menjabarkan penyebab konflik yang dialami yaitu 31% berasal dari perbedaan kepribadian anggota, 37% dari ketidakaktifan anggota, 12% dari kurangnya komunikasi, 12% dari hasil kerja yang tidak maksimal, dan 8% dari kurangnya engagement antar anggota kelompok.
Sebanyak 84% responden dengan standar deviasi 0.36 menyatakan bahwa konflik didalam kelompok dapat diselesaikan secara kooperatif. Di antaranya terdapat 39% responden yang menyelesaikan masalah dengan metode arbitrasi, 37% responden dengan metode mediasi. Adapun 24% responden dengan standar deviasi 0.429 menyelesaikan masalah dengan bantuan pihak orang ketiga. Dari responden yang menyelesaikan masalahnya, 90% responden merasa bahwa terdapat dampak dari penyelesaian konflik terhadap performa kerja kelompok seperti 46% di antaranya mengalami peningkatan motivasi kerja, 10% mencapai pemahaman tugas yang sama, 22% merasakan komunikasi yang lebih lancar, 12% mengalami peningkatan engagement, namun 10% tidak mengalami perubahan.
Hakikat manusia sebagai makhluk sosial memungkinkan manusia untuk hidup berdampingan atau berkelompok dengan orang lain, dimana hal ini memicu terjadinya konflik. Konflik yang timbul dapat berpengaruh pada relasi antar manusia. Selain itu, konflik dapat berpengaruh pada motivasi hingga performa kerja. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pengelolaan konflik agar dampak negatifnya dapat teratasi dan performa kerja kelompok dapat menjadi lebih efektif yaitu dengan cooperative problem solving atau adanya intervensi pihak ketiga.
Referensi:
Aamodt, M. G. (2016). Industrial/Organizational Psychology: An Applied Approach 8th ed. Cengage Learning.
Anwar, K. (2018). Urgensi Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi Pendidikan. Fakultas Agama Islam UNISSULA Semarang.
Efendi, N. (2015). Islamic Educational Leadership. Yogyakarta: Kalimedia.
Kursowo. (2019). Manajemen Konflik dan Perubahan Dalam Organisasi. Alqaprint Jatinagor.
Nurwulan, N. R., dkk. (2021). KONFLIK PADA GRUP DISKUSI MAHASISWA SAAT PEMBELAJARAN JARAK JAUH. Jurnal Pendidikan dan Kewirausahaan, Vol 8(2). https://journalstkippgrisitubondo.ac.id/index.php/PKWU/article/view/106/84
Sunarta, S. (2015). Konflik dalam Organisasi (Merugikan Sekaligus Menguntungkan). Efisiensi: Kajian Ilmu Administrasi, 10(1). https://doi.org/10.21831/efisiensi.v10i1.3969
Vatmala, E. V. (2020). Manajemen Konflik. Dikutip pada Desember 2022 dari: https://www.academia.edu/44356331/Manajemen_Konflik
Wartini, S. (2015). Strategi Manajemen Konflik Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja Teamwork Tenaga Kependidikan. Jurnal Manajemen dan Organisasi, 6(1). https://doi.org/10.29244/jmo.v6i1.12194
Wijayanti, Y. T. (2015). Manajemen Konflik Organisasi Dalam Perspektif Islam. Profetik, 8(1), 43–56.

- Details
- Written by Clara Moningka & Runi Rulanggi
- Category: Vol. 9 No. 09 Mei 2023
ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 09 Mei 2023
Mencari Jodoh di Era Digital
Oleh:
Clara Moningka & Runi Rulanggi
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Pencarian pasangan adalah hal yang penting bagi individu pada masa dewasa. Dalam proses mencari pasangan, individu akan berusaha mempertimbangkan banyak hal. Tidak hanya penampilan fisik, individu juga mempertimbangkan sumber daya calon pasangan mereka.
Li, dkk (2016) menjelaskan bahwa laki-laki biasanya akan memilih pasangan berdasarkan sumber daya mereka. Pada laki-laki dengan status sosial ekonomi yang lebih baik, mereka cenderung akan memilih pasangan dengan penampilan fisik yang lebih menarik. Pada perempuan, mereka cenderung akan memilih pasangan berdasarkan status sosial ekonomi. Dalam hal ini mereka akan memilih pasangan dengan status setara bahkan lebih tinggi dari mereka. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Vigil, dkk (2006). Model pencarian pasangan ini adalah berdasarkan parental investment theory (Hou, dkk, 2022), dimana laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga, memiliki fungsi yang dominan. Perempuan dalam hal ini memiliki peran domestik, yaitu mengatur rumah tangga dan mengasuk anak.
Pada dasarnya konsep pencarian pasangan ini masih relevan dengan konsep bibit, bebet dan bobot dalam budaya Indonesia. Konsep ini berasal dari budaya Jawa yang menekankan pada pentingnya latar belakang keluarga, karakteristik atau kualitas personal, dan status sosial dalam mencari pasangan. Konsep ini ditemukan dalam budaya lain, seperti pada etnis Tionghoa, Batak, dan lainnya. Penelitian awal yang dilakukan oleh Moningka dan Rulanggi (2023) juga menunjukkan bahwa konsep bibit, bebet dan bobot masih digunakan hingga saat ini, bahkan pada generasi Z. Generasi ini lahir sekitar tahun 1997 hingga 2012. Generasi Z adalah generasi yang tanggap terhadap terknologi dan banyak berinteraksi di dunia digital. Generasi ini bahkan tidak ragu untuk mencari pasangan melalui media sosial atau aplikasi pencarian pasangan.
Walaupun demikian, generasi ini tetap mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot dalam mencari pasangan. Mereka memang tidak mempergunakan istilah tersebut, tetapi konsep ini tetap penting bagi mereka.
Pencarian pasangan di era digital ini juga menimbukan beberapa risiko khususnya bila dilakukan melalui media sosial atau aplikasi pencarian pasangan. Hasil wawancara pada generasi Z yang menggunakan media sosial dalam mencari pasangan, menunjukkan bahwa media sosial dan aplikasi memang dapat bermanfaat. Salah satu responden laki-laki, bahkan mendapatkan pasangan melalui aplikasi Instagram. Ia merasa cocok dan tidak cemas untuk berinteraksi. Di sisi lain, responden Wanita pengguna aplikasi pencari pasangan merasakan kesulitan mencari pasangan yang sesuai. Hal ini terjadi karena, banyak pengguna aplikasi yang tidak jujur dalam mendeskripsikan dirinya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Moningka dan Selviana (2020) yang mengemukakan bahwa individu seringkali melakukan perilaku menipu (self-deception) untuk menampilkan kondisi yang lebih baik di media sosial. Moningka (2017) juga mengemukakan perilaku menipu seringkali dilakukan karena adanya proses perbandingan sosial. Dalam konteks dalam pencarian pasangan, individu ingin dirinya dianggap lebih baik dari orang lain sehingga bisa dipilih oleh pencari pasangan lainnya. Mereka kerap tidak memperhitungkan konsekuensi dari perilaku mereka.
Penelitian awal ini juga menunjukkan bahwa, perempuan lebih berhati-hati ketika mencari pasangan di media sosial, khususnya untuk perempuan yang mapan atau memiliki status sosial yang tinggi. Pada laki-laki, mereka cenderung lebih berani mengambil risiko. Hal ini selaras dengan parental investment theory.
Proses pencarian pasangan memang dimudahkan dengan berbagai media sosial dan aplikasi. Di satu sisi, hal ini memudahkan individu untuk saling terhubung dan membuat individu memiliki pilihan yang lebih banyak. Di sisi lain, banyak penipuan terjadi di media sosial dan aplikasi, sehingga pencari pasangan juga harus berhati-hati. Antisipasi yang dapat kita lakukan ketika mencari pasangan melalui media sosial atau aplikasi adalah dengan mencari informasi mengenai calon pasangan, jangan terlalu terlibat secara emosional di awal perkenalan, dan kontak/komunikasi secara langsung atau tatap muka sangat dibutuhkan untuk membangun relasi yang sehat. Dalam hal ini pencari pasangan perlu mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot calon pasangan sehingga mendapatkan pilihan yang terbaik. Selamat mencari pasangan!
Referensi:
Hou, J., Shu, T., & Fang, X. (2020). Influence of resources on cue preferences in mate selection. Frontiers in Psychology, 11, Article 574168. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.574168
Hou, Juan & Tianxin, Shu & Fang, Xiaoyi. (2022). The influence of time resources on mate selection: The moderating role of mating strategies and gender. Personality and Individual Differences. 186. 111388. 10.1016/j.paid.2021.111388.
Li, M. Y., Li, J., Chan, D., and Zhang, B. (2016). When love meets money:priming the possession of money influences mating strategies. Front. Psychol.
7:387. doi: 10.3389/fpsyg.2016.00387
Moningka, C. (2017). Self-comparison: The self in digital world. Dalam M. F. Wright (Ed.), Identity, sexuality, and relationships among emerging adults in the digital age (hlm. 18-26). IGI Global.
Moningka, C & Rulanggi, R. (2023). The relevancy of bibit, bebet, bobot on Indonesian’s mate selection preferences. unpublished manuscript.
Moningka, C & Selviana,. (2020). THE DEVELOPMENT OF DECEPTION BEHAVIOR IN SOCIAL MEDIA SCALE. Jurnal Psikologi Ulayat. 2580-1228. 10.24854/jpu143.
Vigil, J. M., Geary, D. C., & Byrd-Craven, J. (2006). Trade-offs in Low-Income Women's Mate Preferences. Human Nature, 17(3), 319–336. https://doi.org/10.1007/s12110-006-1012-0

- Details
- Written by Adhityawarman Menaldi & Eko A. Meinarno
- Category: Vol. 9 No. 09 Mei 2023
ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 09 Mei 2023
Perilaku Sehat = Psikologi Kesehatan + Kebudayaan
Oleh:
Adhityawarman Menaldi & Eko A. Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Membicarakan kesehatan artinya membicarakan tingkah laku manusia (Sarafino & Smith, 2022). Sebagaimana yang kita sudah ketahui, tubuh kita dibekali dengan sistem kekebalan tubuh, yang menjadi pertahanan kita dari serangan kuman dari luar tubuh kita. Organ-organ kekebalan tubuh ini berada tersebar di seluruh tubuh kita (Tortora & Derrickson, 2021). Berbeda dari makhluk hidup lainnya, manusia juga mampu mengembangkan sendiri vaksinasi yang dapat menambah pertahanan diri kita dari serangan makhluk hidup lain dari luar diri kita yang bersifat parasit. Cukup aman bila kita ingin menyederhanakannya dengan penyimpulan bahwa manusia sebetulnya adalah makhluk hidup yang paling mampu bertahan dari serangan penyakit. Pada kenyatannya, berbagai penyakit terutama yang infeksi luar tubuh masih saja bisa diderita manusia Pandemi Covid-19 yang lalu, menjadi contoh terdekat. Belum lagi kita membahas penyakit yang sudah puluhan kalau bukan ratusan tahun ada di Nusantara seperti kusta dan TBC (WHO, 2019; www.data.who.int/countries/360/indonesia). Membangun kesehatan manusia, ternyata masih memerlukan upaya penataan perilaku lebih lanjut, tidak sekedar menyandarkan pada vaksinasi dan kekebalan alami saja.
Psikologi Kesehatan dan Budaya
Secara garis besar, psikologi kesehatan adalah cabang ilmu psikologi dalam konteks kesehatan, khususnya kesehatan individu dan kelompok. Psikologi secara mendasar mempelajari tingkah laku manusia dan sampai mendesain tingkah laku manusia (lihat teori besar behavioristik dari Pavlov, Skinner, atau Bandura dalam Sarwono, 2009). Masuk dalam ranah kesehatan, maka psikologi berupaya menjelaskan dan mendesain tingkah laku yang dapat menjaga dan bahkan meningkatkan kesehatan manusia.
Di sisi lain, kebudayaan adalah faktor yang jelas memberi kontribusi terhadap proses psikologis manusia. Sebagai contoh, ketika individu Indonesia memilih sumber karbohidrat, dan dihidangkan nasi dan roti, mana yang akan dipilih? Jawabannya (peluang terbesar) adalah nasi. Mengapa nasi? Nasi menjadi makanan utama orang Indonesia. Pola pikir makan itu harus nasi, menjadi ingatan utama kita terhadap makanan utama. Memilih nasi adalah tingkah laku “otomatis” saat orang Indonesia lapar.
Begitupun dengan kesehatan. Pembentukan tingkah laku sehat, dibutuhkan proses psikologis, secara individual atau massal. Sebagai contoh, tingkah laku mencuci tangan. Tingkah laku ini mungkin diajarkan secara massal di sekolah, tapi tidak menjadi kebudayaan kita. Namun saat pandemi COVID-19, mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tingkah laku yang dipaksa dan ditegakkan untuk mengurangi potensi tertular. Upaya penegakan tingkah laku ini tidak sekedar tulisan atau gambar. Iklan-iklan layanan masyarakat sampai penegak hukum dikerahkan untuk membiasakan mencuci tangan dengan sabun. Proses ini dalam psikologi masuk dalam kategori pembiasaan tingkah laku, dan pembiasaan yang terus-menerus adalah proses dari terbentuknya budaya hidup sehat.
Proses ini perlu ada penguatan lainnya yang juga bersifat kebudayaan. Sebagai contoh, latar sosial ekonomi dan suku bangsa. Sebagai contoh, kepemilikan asuransi kesehatan di Amerika Serikat cenderung dimiliki oleh kelompok sosial ekonomi tinggi (Macintyre, 1997 dalam Sarwono, 2014). Contoh lain, pola makan mengkonsumsi makanan bersantan lebih dimiliki oleh individu dari suku-suku bangsa dari Sumatera. Dengan demikian psikologi kesehatan dan kebudayaan mempunyai hubungan denan memperhatikan latar-latar khusus dan umum.
Memutus Penularan: Kombinasi Psikologi dan Budaya
Sebagaimana kita ketahui, bahwa penularan COVID-19 ini paling mudah melalui interaksi fisik yang erat. Pola penyebaran dan penularan COVID-19 ini menyerupai penularan penyakit kerumunan (Diamond, 2013; Wonser, & Boyns, 2016). Tidak mengherankan jika kebanyakan dari kita merasa rentan terhadap Covid-19 tanpa mengenal tempat (Menaldi, Salsabila, Ramadhanti, Putri, & Meidina 2020). Masih ingat dengan serangan COVID-19 varian delta di India saat jutaan orang mandi bersama di sungai Gangga (Meinarno, 2021)?
Kerumunan dan pola penularan ini yang harus diputus. Bagaimana memutusnya? Apakah memecah kerumunan seperti pembubaran demontrasi? Tentu tidak. Kita harus pahami dulu, adakah modal-modal dasar psikologis dan latar sosial umum yang dapat digunakan?
Secara umum, kita membuat dulu himbauan. Himbauan ini sangat mungkin dinyatakan oleh para tenaga kesehatan. Himbaun kepada masyarakat untuk mengurangi aktivitas yang wujudnya berkerumun. Himbauan yang kemudian dipertegas oleh tokoh masyarakat. Di tingkat lebih tinggi jika (dan mungkin harus) sampai dibuat sanksi. Sanksi yang kuat dilanjutkan dengan paparan data penularan yang meluas. Kombinasi himbauan dan informasi yang diterima dan masuk bagi individu akan diolah. Harapannya akan terbentuk pemahaman dan tingkah laku yang mengurangi potensi penularan.
Penegakan tingkah laku mencuci tangan juga dapat diperlakukan mirip dengan pemecahan kerumuman. Penerangan cuci tangan dapat dibangun dengan menggunakan pemahaman bersuci. Sebagai contoh bagi Muslim, dalam sehari melakukan sembahyang/sholat sebanyak lima kali. Meminjam pola tadi maka promosi cuci tangan dapat juga dilakukan yakni dengan menyatakan setidaknya individu membersihkan tangannya sebanyak lima kali (yang wajib) dan sebanyak berapa kali ia keluar rumah. Menggunakan pemasangan ide ritual dan cuci tangan memudahkan penegakan salah satu dari metode 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) untuk mengurangi potensi penularan penyakit.
Penutup
Psikologi kesehatan dan budaya saling membutuhkan. Modal dasar pembentukan tingkah laku (baru) tidak lepas dari kesiapan individu. Sementara individu, tanpa intervensi sudah hidup dengan pola-pola dari tempat dia tumbuh dan hidup. Sementara, kesiapan individu adalah kebudayaan yang menjadi acuan hidupnya. Dengan demikian menjadi penting bagi pengampu kebijakan (stakeholder) khususnya di bidang kesehatan untuk dapat memahami cara pikir dan budaya yang ada di sekitarnya.
Referensi:
Diamond, J. (2013). Bedil, kuman, dan baja. Terjemahan. KPG. Jakarta.
Meinarno, EA. (2021). Psikologi dalam Pandemi: Kontribusi, Kerja Sama Lintas Disiplin, dan Masa Depan. Dipaparkan pada acara Kuliah Umum Psikologi dengan tema “Membumikan Kearifan Lokal Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Covid-19” di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah, 3 Oktober 2021.
Menaldi, A., Salsabila, G., Ramadhanti, N., Putri, FD., Meidina, A. 2020: Kembali ke Perilaku Sehat. Buletin KPIN, 6(05 Maret). https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/549-2020-kembali-ke-perilaku-sehat
Sarafino, E.P., Smith, T., W. (2022). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions, 10th Edition. USA: Wiley.
Sarwono, SW. (2009). Pengantar psikologi umum. Penyunting Eko A Meinarno. Jakarta. Rajawali Pers.
Sarwono, SW. (2014). Psikologi lintas budaya. Penyunting Eko A Meinarno dan Lathifah Hanum. Jakarta. Rajawali Pers.
Tortora, G. J., Derrickson, B. (2021). Principles of anatomy and physiology (16th Ed.). Hoboken, NJ: Wiley.
WHO. www.data.who.int/countries/360/indonesia. Diakses pada Rabu 10 Mei 2023.
Wonser, R., & Boyns, D. (2016). Between the living and undead: How zombie cinema reflects the social construction of risk, the anxious self, and disease pandemic. The Sociological Quarterly, 57(4), 628-653.
