ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 09 Mei 2023
Mencari Jodoh di Era Digital
Oleh:
Clara Moningka & Runi Rulanggi
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Pencarian pasangan adalah hal yang penting bagi individu pada masa dewasa. Dalam proses mencari pasangan, individu akan berusaha mempertimbangkan banyak hal. Tidak hanya penampilan fisik, individu juga mempertimbangkan sumber daya calon pasangan mereka.
Li, dkk (2016) menjelaskan bahwa laki-laki biasanya akan memilih pasangan berdasarkan sumber daya mereka. Pada laki-laki dengan status sosial ekonomi yang lebih baik, mereka cenderung akan memilih pasangan dengan penampilan fisik yang lebih menarik. Pada perempuan, mereka cenderung akan memilih pasangan berdasarkan status sosial ekonomi. Dalam hal ini mereka akan memilih pasangan dengan status setara bahkan lebih tinggi dari mereka. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Vigil, dkk (2006). Model pencarian pasangan ini adalah berdasarkan parental investment theory (Hou, dkk, 2022), dimana laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga, memiliki fungsi yang dominan. Perempuan dalam hal ini memiliki peran domestik, yaitu mengatur rumah tangga dan mengasuk anak.
Pada dasarnya konsep pencarian pasangan ini masih relevan dengan konsep bibit, bebet dan bobot dalam budaya Indonesia. Konsep ini berasal dari budaya Jawa yang menekankan pada pentingnya latar belakang keluarga, karakteristik atau kualitas personal, dan status sosial dalam mencari pasangan. Konsep ini ditemukan dalam budaya lain, seperti pada etnis Tionghoa, Batak, dan lainnya. Penelitian awal yang dilakukan oleh Moningka dan Rulanggi (2023) juga menunjukkan bahwa konsep bibit, bebet dan bobot masih digunakan hingga saat ini, bahkan pada generasi Z. Generasi ini lahir sekitar tahun 1997 hingga 2012. Generasi Z adalah generasi yang tanggap terhadap terknologi dan banyak berinteraksi di dunia digital. Generasi ini bahkan tidak ragu untuk mencari pasangan melalui media sosial atau aplikasi pencarian pasangan.
Walaupun demikian, generasi ini tetap mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot dalam mencari pasangan. Mereka memang tidak mempergunakan istilah tersebut, tetapi konsep ini tetap penting bagi mereka.
Pencarian pasangan di era digital ini juga menimbukan beberapa risiko khususnya bila dilakukan melalui media sosial atau aplikasi pencarian pasangan. Hasil wawancara pada generasi Z yang menggunakan media sosial dalam mencari pasangan, menunjukkan bahwa media sosial dan aplikasi memang dapat bermanfaat. Salah satu responden laki-laki, bahkan mendapatkan pasangan melalui aplikasi Instagram. Ia merasa cocok dan tidak cemas untuk berinteraksi. Di sisi lain, responden Wanita pengguna aplikasi pencari pasangan merasakan kesulitan mencari pasangan yang sesuai. Hal ini terjadi karena, banyak pengguna aplikasi yang tidak jujur dalam mendeskripsikan dirinya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Moningka dan Selviana (2020) yang mengemukakan bahwa individu seringkali melakukan perilaku menipu (self-deception) untuk menampilkan kondisi yang lebih baik di media sosial. Moningka (2017) juga mengemukakan perilaku menipu seringkali dilakukan karena adanya proses perbandingan sosial. Dalam konteks dalam pencarian pasangan, individu ingin dirinya dianggap lebih baik dari orang lain sehingga bisa dipilih oleh pencari pasangan lainnya. Mereka kerap tidak memperhitungkan konsekuensi dari perilaku mereka.
Penelitian awal ini juga menunjukkan bahwa, perempuan lebih berhati-hati ketika mencari pasangan di media sosial, khususnya untuk perempuan yang mapan atau memiliki status sosial yang tinggi. Pada laki-laki, mereka cenderung lebih berani mengambil risiko. Hal ini selaras dengan parental investment theory.
Proses pencarian pasangan memang dimudahkan dengan berbagai media sosial dan aplikasi. Di satu sisi, hal ini memudahkan individu untuk saling terhubung dan membuat individu memiliki pilihan yang lebih banyak. Di sisi lain, banyak penipuan terjadi di media sosial dan aplikasi, sehingga pencari pasangan juga harus berhati-hati. Antisipasi yang dapat kita lakukan ketika mencari pasangan melalui media sosial atau aplikasi adalah dengan mencari informasi mengenai calon pasangan, jangan terlalu terlibat secara emosional di awal perkenalan, dan kontak/komunikasi secara langsung atau tatap muka sangat dibutuhkan untuk membangun relasi yang sehat. Dalam hal ini pencari pasangan perlu mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot calon pasangan sehingga mendapatkan pilihan yang terbaik. Selamat mencari pasangan!
Referensi:
Hou, J., Shu, T., & Fang, X. (2020). Influence of resources on cue preferences in mate selection. Frontiers in Psychology, 11, Article 574168. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.574168
Hou, Juan & Tianxin, Shu & Fang, Xiaoyi. (2022). The influence of time resources on mate selection: The moderating role of mating strategies and gender. Personality and Individual Differences. 186. 111388. 10.1016/j.paid.2021.111388.
Li, M. Y., Li, J., Chan, D., and Zhang, B. (2016). When love meets money:priming the possession of money influences mating strategies. Front. Psychol.
7:387. doi: 10.3389/fpsyg.2016.00387
Moningka, C. (2017). Self-comparison: The self in digital world. Dalam M. F. Wright (Ed.), Identity, sexuality, and relationships among emerging adults in the digital age (hlm. 18-26). IGI Global.
Moningka, C & Rulanggi, R. (2023). The relevancy of bibit, bebet, bobot on Indonesian’s mate selection preferences. unpublished manuscript.
Moningka, C & Selviana,. (2020). THE DEVELOPMENT OF DECEPTION BEHAVIOR IN SOCIAL MEDIA SCALE. Jurnal Psikologi Ulayat. 2580-1228. 10.24854/jpu143.
Vigil, J. M., Geary, D. C., & Byrd-Craven, J. (2006). Trade-offs in Low-Income Women's Mate Preferences. Human Nature, 17(3), 319–336. https://doi.org/10.1007/s12110-006-1012-0