ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 09 Mei 2023

 

 

Menghempang Flexing dengan Agama

 

Oleh:

Jonedy Chandra Purba

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dishub DKI Jakarta, Massdes Arouffy tengah menjadi sorotan media menyusul perilaku flexing yang dilakukan keluarganya. Istri dan anak Arouffy kedapatan pamer tas branded yang berharga fantastis di akun media sosialnya. Hal ini menambah catatan panjang perilaku flexing keluarga Aparatur Sipil Negara (ASN). Setelah sebelumnya, jagad media dihebohkan dengan berita flexing Mario Dandy putera pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo serta Atasya Yasmin puteri kepala bea cukai Makassar Andhi Pramono, yang menggiring kedua pejabat pajak ini berurusan dengan KPK.

 

Dalam kamus Merriam Webster (2011) flexing diartikan to make an ostentatious display of something. Sementara dalam Cambridge Dictionary (2021), flexing disebutkan to show that you are very proud or happy about something you have done or something you own, usually in a way that annoys people. Singkatnya, Flexing adalah perilaku pamer atas sesuatu yang dimiliki dengan cara yang berlebihan, yang dianggap orang lain tidak menyenangkan. Dalam Bahasa Indonesia, flexing umumnya diartikan 'pamer' (showing off), yang dalam KBBI (2016) berati menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri.

 

Flexing bukanlah hal baru, sebab sejak dulu perilaku ini sudah ada. Namun, kian marak seiring perkembangan tegnologi informasi yang semakin pesat. Perkembangan tegnologi informasi yang ditandai dengan masifnya penggunaan internet menyebabkan perilaku flexing tersebar cepat dan luas. Internet telah memediasi para pelaku flexing untuk memamerkan kekayaan dan pencapaiannya menembus batasan ruang dan waktu.

 

Mahardika (2020) mengatakan bahwa perilaku flexing didorong oleh kebutuhan individu akan pengakuan. Individu pada dasarnya butuh diakui (thymos), baik diakui setara (epithymia), juga diakui melampaui orang lain (megalothymia). Hasrat ini mendorong individu melakukan tindakan yang dianggap mampu membentuk citra dirinya. Kekayaan dan pencapaian itu dipamerkan (flexing) sebagai penanda status sosial. Dengan kata lain, flexing merupakan cara individu menjelaskan kehadirannya di ruang sosial. 

 

Individu yang gemar flexing cenderung narsistik. Menurut Derry (2018), kepribadian narsistik ditandai dengan harapan yang tidak realistis, penolakan terhadap opini negatif mengenai diri, dan penilaian diri yang berlebihan. Mereka sering memposting foto dan status untuk mempromosikan diri (Casale, et.al., 2016). Dengan itu mereka merasa telah mencapai diri yang ideal (Marshall, et.al., 2015). Flexing kerap menjadi pilihan individu untuk membangun dan mejaga self-image, memperlihatkan kepada dunia bahwa real-self mereka sudah sesuai dengan ideal-self. Jadi, perilaku flexing mengindikasikan kejiawaan yang memiliki kepercayaan diri yang rendah. Individu yang demikian cenderung memiliki empati yang rendah pula.

 

Flexing adalah gejala psikologi yang tidak sehat dan mengindikasikan rasa empati yang rendah pula. Selain itu flexing juga menandakan individu dengan ketentraman batin dan penghargaan diri yang rendah. Jika tetap dibiarkan, perilaku seperti ini tidak hanya berdampak buruk bagi individu namun juga bagi orang lain.

 

Ajaran agama merupakan salah satu yang mempengaruhi perilaku individu. Sebab agama mengandung sitem nilai atau norma yang mengatur kehidupan individu. Norma-norma itu menjadi patron bagi individu melihat dirinya dan perilakunya. Mulyadi (2016) mengungkapkan bahwa ajaran agama dapat menolong individu merasakan ketentraman batin, memiliki penghargaan diri positif dan bersikap tenang. Dalam interaksinya dengan orang lain ia cenderung memperlihatkan perilaku yang tidak meresahkan. Dan apabila individu terlepas dari norma agamanya, ia cenderung mudah terguncang, resah dan cenderung mengacu kepada pemenuhan dan kepuasan hawa nafsu belaka. Dengan kata lain, agama dapat berperan sebagai pengikat individu dari perasaan dan pikiran yang tak terkendali, hasrat negatif dalam diri, serta perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan norma. Terkait dengan perilaku flexing yang diungkap sebelumnya, penanaman nilai-nilai agama pada individu merupakan sebuah alternatif untuk menghempang fenomena flexing yang kian marak dewasa ini.

 

Referensi:

 

Casale, S., Fioravanti, G., & Rugai, L. (2016). Grandiose and vulnerable narcissists: who is at higher risk for social networking addiction? Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 19(8), 510–515. https://doi.org/10.1089/cyber.2016.0189

Cambridge Online Dictionary. (2021). “flex” in Cambridge Online Dictionary. Retrieved March 18, 2023, from https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/flex

Derry, K. L. (2018). An examination of grandiose and vulnerable narcissism in adults, adolescents, and children. The University of Western Australia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. (2016). “pamer” dalam KBBI Online. Diambil 18 Maret 2023, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pamer

Mahardika, A.P.P,. (2020, 28 Juli), Francis Fukuyama: Dasar Sejarah Adalah Perjuangan untuk Diakui, diakses pada 18 Maret 2023. Ditemukan kembali di: https://lsfcogito.org/francis-fukuyama- dasar-sejarah-adalah-perjuangan-untuk-diakui/#_ftn1

Marshall, T. C., Lefringhausen, K., & Ferenczi, N. (2015). The Big Five, self-esteem, and narcissism as predictors of the topics people write about in Facebook status updates. Personality and Individual Differences, 85, 35–40. https://doi.org/10.1016/j.paid.2015.04.039

Merriam-Webster. (2011). “Flex” in Merriam-Webster Online Dictionary. Retrieved March 18, 2023, from https://www.merriam-webster.com/dictionary/flex

Ramayulis. (2002). Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia.

Mulyadi. (2017). Agama dan Pengaruhnya dalam Kehidupan, Jurnal Tarbiyah Al Awlad, 7(2), 556-564.