ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 09 Mei 2023

 

Heuristik: Cara Berpikir Manusia Yang Sempit

 

Oleh:

Siti Maftukha & Istiqomah

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Hidup manusia dipenuhi dengan pengambilan keputusan. Hampir setiap hari manusia memutuskan pilihan dalam hidupnya. Mulai dari hal kecil seperti makanan yang akan kita makan pada hari ini sampai keputusan besar seperti dimana kita akan melanjutkan pendidikan atau dengan siapa kita akan menikah. Pada akhirnya, keputusan-keputusan tersebut yang membantu kita menjalani kehidupan ini. Tidak dipungkiri juga bahwa terkadang keputusan yang kita ambil justru membawa petaka dalam hidup kita dan membuat kita menyesal akan keputusan itu. Misalnya, ketika ada seseorang yang memiliki asam lambung dan memutuskan untuk mencoba memakan Ayam Taliwang dengan dalih sedang ada diskon serta belum pernah mencoba makanan tersebut sampai akhirnya asam lambungnya naik yang membuat dia masuk rumah sakit. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena orang tersebut menggunakan shortcut atau jalan pintas dalam mengambil keputusan tanpa berpikir panjang mengenai akibat yang akan ditimbulkan dari keputusan tersebut. Namun, dalam beberapa hal manusia juga memerlukan pikiran dan tindakan spontanitas yang cepat untuk mempermudah hidupnya.

 

Apa itu heuristik?

Manusia dibekali akal oleh Tuhan supaya dapat berpikir. Namun, dalam beberapa kondisi manusia menggunakan sebuah shortcut atau “jalan pintas” dalam memandang dan/atau memutuskan sesuatu yang disebut dengan heuristik. Manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal tersebut atau menyederhanakan beberapa hal dalam hidupnya karena manusia malas untuk berpikir lebih jauh untuk menyimpulkan sesuatu atau bahkan memutuskan suatu pilihan. Sanderson (2010) mengatakan bahwa heuristik adalah jalan pintas mental yang membuat kita memutuskan penilaian atau mengambil keputusan dengan cara yang paling mudah untuk dipikirkan. Myers (2012, dalam Mayasari, 2016) menjelaskan bahwa proses menyederhanakan suatu peristiwa dilakukan dengan cara representative (pengambilan kesimpulan terhadap gejala sosial berdasar pada ciri-ciri tertentu), framing (pengambilan keputusan atau kesimpulan mengenai gejala sosial hanya berdasar pada pengalaman yang sering atau baru terjadi), rate fallacy (pengambilan kesimpulan mengenai gejala sosial yang dilakukan secara generalisasi pada sekelompok individu yang dasarnya adalah perilaku individu lain), dan terbatasnya informasi yang dimiliki oleh individu (informasi yang minim). Suatu keputusan yang diambil secara heuristik akan cenderung tidak optimal dan kurang sempurna sehingga akan meimbulkan bias.

 

Apakah heuristik baik atau justru buruk?

Dalam beberapa hal heuristik dapat membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari karena heuristik juga berhubungan dengan spontanitas. Misalnya saja ketika kita sedang memasak kemudian tangan kita tersiram oleh air panas. Kita secara spontan akan mematikan kompor terlebih dahulu dilanjutkan dengan mencari obat atau melakukan beberapa cara supaya tangan kita tidak melepuh. Kita tidak mungkin langsung melanjutkan memasak tanpa menyelamatkan tangan kita terlebih dahulu. Namun, terkadang cara berpikir jalan pintas atau heuristik justru dapat menciptakan bias kognitif dan stereotip. Bias kognitif adalah suatu jenis kesalahan dalam berpikir yang dilakukan ketika manusia sedang memproses dan mengolah informasi pada dunia disekitarnya yang juga merupakan hasil dari usaha individu untuk menyederhanakan pengolahan informasi maupun proses tersebut (Mayasari, 2016). Emosi, motivasi, pengalaman hidup, persepsi, asumsi, dan batas kemampuan pikiran berkontribusi dalam terjadinya bias kognitif. Sedangkan, stereotip adalah prasangka-prasangka yang diberikan oleh sekelompok individu pada kelompok individu lain. Stereotip adalah penilaian yang tidak seimbang terhadap suatu kelompok masyarakat (Murdianto, 2018). Representasi yang ditimbulkan dari stereotip biasanya dibesar-besarkan dan bersifat negatif yang dijadikan sebagai ciri karakter dari kelompok masyarakat tertentu. Stereotip inilah yang merupakan hasil produksi dari heuristik atau pikiran jalan pintas dalam menyederhanakan suatu penilaian. Misalnya, stereotip tentang orang Jawa yang terkenal dengan cara bicaranya yang lembut, halus, dan sopan santun. Namun, sebenarnya tidak semua orang Jawa seperti itu. Setiap orang memiliki karakternya masing-masing dan tidak bisa digeneralisasikan atau dipukul sama rata bahwa suku tertentu akan memiliki karakteristik sikap tertentu pula.

 

Penting untuk kita berpikir kritis dan berpikir secara hati-hati dalam mengambil keputusan atau memutuskan suatu penilaian dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir kritis adalah cara berpikir yang logis dan menggunakan nalar. Muhfahroyin (2009) mengatakan bahwa berpikir kritis mampu membuat seseorang mengenali kesalahan, mengendalikan egosentris maupun emosi serta responsif terhadap pandangan yang berbeda. Berpikir kritis membuat manusia berpikir secara hati-hati dengan cara mendapatkan informasi yang relevan, kredibel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, Eggen & Kauchak (1996, dalam Muhfahroyin, 2009) menyatakan bahwa berpikir kritis mampu mengembangkan keterbukaan pikiran, menghargai pendapat orang lain, dan toleran terhadap keambiguan sehingga kita tidak akan mudah untuk mengeluarkan penilaian terhadap banyak hal. Oleh karena itu, berpikir kritis dapat membantu kita untuk mengurangi berpikir jalan pintas atau heuristik sehingga tidak terjadi bias kognitif, stereotip maupun hal lain yang tidak diinginkan. Walaupun manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir sederhana, namun bukan berarti manusia tidak mau dan mampu untuk berpikir secara lebih kompleks.

 

Referensi:

 

Mayasari, R. (2016). Peran Pemikiran Heuristik pada Hubungan Persepsi Sosial dengan Munculnya Sikap terhadap Ide Penegakkan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Al-Ulum, 16(2), 387-411.

Muhfahroyin, M. (2009). Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Konstruktivistik. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 16(1), 88-93.

Sanderson, C. A. (2010). Social Psychology. Hoboken, New Jersey: Wiley.