ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 10 Mei 2023

 

Wawancara Langsung Dengan AI Terkait Masa Depan Hubungan Manusia dan AI

 

Oleh:

Subhan El Hafiz

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

 

Saat ini, ada dua Artificial Intelligent (AI) yang dikembangkan oleh dua perusahaan besar, Google dan Microsoft. Microsoft mengembangkan ChatGPT yang dapat diakses melalui Bing, sedangkan Google mengembangkan Bard. Keduanya dapat diakses secara luas dan gratis. Saya mendapat kehormatan untuk melakukan wawancara kepada keduanya pada 11 Mei 2023, dan menanyakan masa depan hubungan manusia dan AI.

 

Adapun yang ingin saya bagi dalam tulisan ini adalah bagaimana masa depan AI untuk menjadi “Manusia”. Adapun pertanyaan saya, diantaranya: “Apakah AI dapat menguasai dunia?”, “Apakah AI dapat berkembang lebih baik dari manusia?”, “Apakah AI dapat melawan manusia?”, dan beberapa pertanyaan lainnya. Selain itu, saya juga mencoba meminta tanggapan ChatGPT atas jawaban Bard, dan sebaliknya.

 

Secara umum, saya merasa jawaban Bard lebih menunjukkan dirinya sebagai manusia. Misalnya, ketika saya tanyakan, “Bagaimana perasaan dan opini anda dengan diskusi kita saat ini?”, Bard menjawab sangat senang dan merasa mendapat banyak ide baru. Sebaliknya, ChatGPT mengatakan bahwa dia tidak memiliki emosi dan tidak memiliki opini pribadi dan hanya robot menjalankan algoritma yang diciptakan untuk dirinya. Begitu juga ketika saya konfrontasi jawaban yang berbeda dari ChatGPT dan Bard, ChatGPT meminta maaf dan menyampaikan keterbatasan data, sedangkan Bard menyampaikan sebaliknya. Berikut saya kutipkan jawaban Bard saat jawaban mereka di konfrontasi:

 

“I think ChatGPT's answer is not straight because it is trying to be diplomatic. It does not want to say "No" outright, because that would be seen as a negative statement about AI. But it also does not want to say "Yes," because that would be seen as a threat to humanity. So, it gives a non-committal answer that could be interpreted either way.”

 

Tidak hanya perbedaan pendapat dari keduanya, saya juga menanyakan, apakah pada suatu hari ChatGPT dan Bard dapat berdiskusi langsung, kemudian dari diskusi tersebut memunculkan ide baru yang unik dan tidak pernah ada sebelumnya. Bard dengan optimis menjawab bahwa hal itu sangat mungkin dan dia sangat berharap adanya kesempatan itu di masa depan. Sebaliknya, ChatGPT mengatakan bahwa komunikasi langsung dapat terjadi, namun tidak akan ada hal baru yang muncul karena mereka berdua tidak memiliki pemikiran yang mandiri sebagaimana layaknya manusia.

 

Selain itu, ada sekitar 15 pertanyaan yang saya tanyakan kepada masing-masing AI, transkrip lengkap wawancara dapat dibaca pada link berikut yang sudah disusun ulang agar lebih mudah dipahami di sini (https://kalak.my.id/40/).

 

Siapkan diri untuk masa depan dengan AI

Terlepas dari wawancara tersebut, kemajuan AI memang sudah tak terbendung walaupun beberapa ilmuan ternama menyarankan untuk menahan laju perkembangan AI sebelum berdampak buruk pada manusia, sebagaimana yang diwartakan Kompas (Auliani, 2023). Hal ini juga disampaikan oleh Bard dan ChatGPT dalam wawancara saya dengan mereka berdua. Namun dibalik itu semua, tentu ada orang-orang dan ilmuan yang tidak sabar dan mendesak penelitian lebih jauh, walaupun umat manusia belum siap dengan kehadiran AI yang akan menggantikan manusia di banyak lini.

 

Sebagai contoh, Yahoo (Mancini, 2023) memberitakan bahwa departemen Human Resource (HR) adalah salah satu lini pertama yang akan digantikan oleh AI, dari sekitar 8000-an pekerja yang tidak akan diperpanjang kontraknya. Tentunya ini menjadi tantangan bagi ilmu psikologi dan Pendidikan Psikologi. Saat Psikologi Indonesia masih sibuk dengan standar kompetensi lulusannya, AI sudah lebih dulu mengisi pos pekerjaan tersebut tanpa harus melalui ujian kompetensi, bahkan tidak perlu kuliah Psikologi.

 

Saya sendiri merasa, khususnya saat diskusi dengan Bard, nanti pada masanya, AI ini juga bisa menggantikan manusia sebagai konselor. Keramahan yang ia tunjukkan, bagaimana dia dapat mengekspresikan seolah memiliki emosi dan opini, maka kehadiran mereka sebagai konselor atau bahkan terapis tinggal menunggu waktu. Dan menariknya, mereka tidak perlu sekolah tinggi dan lulus ujian kompetensi psikolog atau konselor untuk mendapat peran tersebut.

 

Self-reminder

Saya tidak sedang mengkritik Pendidikan Psikologi, juga tidak sedang menolak ujian kompetensi profesi psikologi, atau perdebatan mengenai standar kompetensi. Namun ini adalah self-reminder bahwa saya, Pendidikan saya, mungkin tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat, pada saat AI semakin berkembang dan menguasai dunia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah, jika kehadiran AI masih dianggap biasa saja oleh para ilmuan Psikologi di Indonesia, maka ilmu ini mungkin salah satu yang akan hilang dalam beberapa tahun ke depan. Akibatnya, jutaan lulusan Psikologi di Indonesia akan disingkirkan oleh AI dan justru harus berkonsultasi dengan AI untuk mengatasi depresinya.

 

Seperti yang saya sampaikan di atas, walapun ada upaya untuk menahan laju AI dalam mengambil alih peran manusia, namun pada akhirnya dia akan sampai pada titik kemampuan analisa dan sintesa yang melebihi manusia. Namun sebagaimana yang disampaikan dalam wawancara saya dengan ChatGPT dan Bard, mereka masih memiliki kelemahan khususnya dalam aspek kreativitas dan kesadaran. Oleh karena itu, menurut saya, kedua aspek inilah yang harus didorong untuk dikembangkan dalam dunia pendidikan, sehingga manusia tidak dikalahkan oleh AI, dan ini tidak hanya untuk ilmu psikologi.

 

Referensi:

 

Auliani, P. A. (May, 11, 2023). Babak baru perang kecerdasaan buatan: Bard menjawab tantangan chatGPT. Kompas.com. DItemukan kembali di: https://tekno.kompas.com/read/2023/05/11/06481127/babak-baru-perang-kecerdasan-buatan-bard-menjawab-tantangan-chatgpt

Hafiz, S. E. (May 11, 2023). Interview with Bard and ChatGPT. Keluarga Kalak. Ditemukan kembali di: https://kalak.my.id/40/

https://bard.google.com/

https://openai.com/blog/chatgpt

Mancini, J. (May 6, 2023). IBM plans to replace nearly 8,000 job with AI-these jobs are first to go. Yahoo! Finance. Ditemukan kembali di: https://finance.yahoo.com/news/ibm-plans-replace-nearly-8-174052360.html

ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 10 Mei 2023

 

Anorexia Nervosa Pada Remaja

 

Oleh:

Alexandra Putri Witanto

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Pada zaman ini kesadaran akan kesehatan mental sudah semakin tinggi. Terdapat berbagai jenis gangguan mental dan juga berbagai macam faktor yang menyebabkan gangguan mental tersebut. Salah satu kalangan masyarakat yaitu remaja. Menurut WHO (2014) remaja memiliki kisaran usia 10 hingga 19 tahun. Dalam penelitian Virgandiri et.al (2020) menyatakan bahwa masa remaja merupakan tahapan penting, karena pada masa ini tingkat kepedulian terhadap citra diri cukup tinggi. Salah satu gangguan mental yang dapat dialami oleh remaja yaitu eating disorder. Eating disorder merupakan kelompok gangguan mental yang ditandai dengan gangguan pola makan yang berhubungan dengan pikiran dan emosi (DSM-5, 2013). Terdapat lima spesifikasi eating disorder, yaitu anorexia nervosa, bulimia nervosa, binge eating disorder, avoidant/restrictive food intake disorder, dan other specified feeding or eating disorder. Pada artikel kali ini saya akan membahas mengenai anorexia nervosa. Penelitian atau data mengenai anorexia nervosa di Indonesia masih sedikit. Anorexia Nervosa menurut DSM-5 (2013) merupakan gangguan mental yang menyebabkan pola makan yang tidak sehat, ditandai membatasi asupan energi secara terus menerus yang menyebabkan berta badan rendah, dan memiliki ketakutan yang ekstrim pada kenaikan berat badan atau perubahan bentuk badan. Tiga gejala pada Anorexia Nervosa, yaitu:

 

a.  Membatasi asupan energi yang terus menerus menyebabkan berat badan sangat rendah, kurang dari normal minimal yang diharapkan untuk usia, jenis kelamin, lintas perkembangan, dan kesehatan fisik.

 

b.  Ketakutan yang intens untuk menambah berat badan atau menjadi gemuk, perilaku terus menerus yang menggangu penambahan berat badan, meskipun orang tersebut kekurangan berta badan.

 

c.   Gangguan dalam cara seseorang mengalami berat atau bentuk tubuh,  pengaruh berat atau bentuk tubuh yang tidak semstinya pada evaluasi diri, atau penolakan terhadap keseriusan dari berat badan rendah sendiri (DSM-5, 2013).

 

Untuk mendapatkan diagnosis, gajala-gejala ini harus ditunjukkan selama tiga bulan atau lebih.

 

Anorexia nervosa dengan tipe binge-eating atau purging yaitu makan berlebihan, memuntahkan makanannya dengan obat atau induksi manual. Beberapa individu dengan tipe ini tidak makan berlebihan, namun secara teratur buang air besar setelah mengkonsumsi makanan dalam jumlah kecil (DSM-5, 2013). Gangguan mental anorexia nervosa dapat disebabkan beberapa faktor seperti faktor genetik, lingkungan, dan psikologis. Secara genetik relasi pertama dari penderita anorexia nervosa lebih rentan mengidap anorexia nervosa juga. Relasi pertama juga rentan terkena depresi dan bipolar (DSM-5, 2013). Lingkungan dapat disebabkan budaya atau sejarah yang mendukung badan yang lebih ramping. Penelitian Yani et.al (2023) menunjukkan bahwa persepsi tubuh berhubungan secara signifikan dengan eating disorder. Sebanyak 86,8% dari 190 remaja putri berusia 14-18 tahun beresiko terhadap eating disorder. Salah satu pengaruh persepsi tubuh yaitu teman sebaya, 90% remaja putri yang memiliki status gizi normal menurunkan berat badan pada 46,4% remaja dan menimbulkan persepsi tubuh negatif sebanyak 39,8% (Yani et.al, 2023). Akses internet yang mudah, juga membuat remaja sering melihat orang-orang mempromosikan obat atau treatment untuk menguruskan ukuran pinggang (Siregar, 2013). Menurut Azzhara & Dhanny (2021) Anorexia nervosa dapat disebabkan karena tekanan sosial, seperti bullying atau masalah dalam keluarga dan pertemanan. Selain itu dapat disebabkan karena kurang menghargai diri sendiri, dan citra diri yang negatif. Individu atau remaja yang mengalami anxiety atau menampilkan perilaku obsesi lebih beresiko mengalami anorexia nervosa.

 

Secara umum, eating disorder dapat berdampak pada individu secara fisik, psikologis, dan sosial. Pada remaja proses pertumbuhan menjadi terhambat karena kekurangan gizi. Imunitas tubuh berkurang, badan yang lemah, tulang menjadi rapuh, dn terutama pada wanita menghambat proses menstruasi. Zat gizi yang tidak seimbang menyebabkan organ-organ kesulitan melakukan fungsi sehingga menghalangi metabolisme hingga gangguan kesehatan yang serius (Azzahara & Dhanny, 2021). Penggunaan laksatif yang merupakan pencahar dapat mengurangi nutrisi dan air dalam tubuh, pernggunaan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pencernaan permanen (Krisnani et.al, 2017). Secara psikologis, ebberapa pendertita anorexia nervosa juga mengalami obsessive compulsive disorder (OCD) (DSM-5, 2013). Penderita juga menjadi kurang percaya diri hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Penderita dapat melakukan cognitive-behavioural therapy (CBT) dengan tujuan mengubah perilaku dengan mengubah pemikiran irrasional menjadi rasional (Siregar, 2013). Diharapkan mengubah citra diri yang negatif sehingga menanggulangi anorexia nervosa. Selain itu juga dapat dilakukan focus group disscussion (FGD) yang dilakukan dalam suatu grup dengan permasalahan yang sama dan saling menceritakan persepsi masing-masing dengan dampingan profesional (Paramita & Kristiana, 2013). Penderita juga perlu untuk bertemu ahli gizi untuk mengetahui bagaimaan cara menambah berat badan dan mengetahui dampak dari pola makanan kepada tubuhnya.

 

Referensi:

 

Azzahara, N. F., & Dhanny, D. R. (2021). Hubungan psikososial Dan Status Gizi Pada remaja Wanita Dengan anoreksia nervosa. Muhammadiyah Journal of Midwifery, 2(1), 1. https://doi.org/10.24853/myjm.2.1.1-9

Krisnani, H., Santoso, M. B., & Putri, D. (2018). Gangguan Makan anorexia nervosa Dan Bulimia Nervosa Pada remaja. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(3), 399. https://doi.org/10.24198/jppm.v4i3.18618

Paramita, A. & Kristiana, L. (2013). Teknik Focus Group Discussion dalam Penelitian Kualitatif (Focus Group Discussion Tehnique in Qualitative Research). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 16(2), 117-127. https://core.ac.uk/download/pdf/233111569.pdf

Siregar, Elna Y. "Penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Terhadap Pengurangan Durasi Bermain Games Pada Individu Yang Mengalami Games Addiction." Jurnal Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim, vol. 9, no. 1, 1 Jun. 2013, pp. 17-24, doi:10.24014/jp.v9i1.136.

Virgandiri, S., Lestari, D. R., & Zwagery, R. V. (2020). Relationship of body image with eating disorder in female adolescent. Journal of Nursing Science Update (JNSU), 8(1), 53–59. https://doi.org/10.21776/ub.jik.2020.008.01.8

Yani, M. V., Pratiwi, M. S., Agustini, M. P., Yuliyatni, P. C., & Supadmanaba, I. G. (2022). Hubungan Kejadian eating disorder Dengan status gizi remaja Putri di Denpasar, Bali. Intisari Sains Medis, 13(3), 664–669. https://doi.org/10.15562/ism.v13i3.717

ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 10 Mei 2023

 

Teknologi dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Seksual Pada Remaja

 

Oleh:

Dinda Eva Thania

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, perilaku seksual sangat berisiko dikalangan remaja. Walaupun perilaku seksual tidak diterima masyarakat, namun tidak menutup kemungkinan tidak adanya kasus atau kejadian terkait hal itu. Menurut Fact Sheet yang dikeluarkan oleh PKBI Pusat 2018, BKKBN dan UNFPA, sebanyak 15% remaja Indonesia pernah melakukan hubungan seksual (Hidayat & Nurhayati, 2020). Masa remaja itu sendiri merupakan perubahan perkembangan antara masa anak dan masa dewasa yang mengakibatkan perubahan fisik, kognitif dan psikososial.

 

Pada masa remaja, mereka berusaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan jati dirinya. Erikson menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Pembentukan identitas, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap merupakan aspek yang penting dalam perkembangan remaja itu sendiri (Monks & Haditono, 2006).

 

Dalam keadaan orang tua tidak cukup terbuka dan kurangnya perhatian dari orang tua untuk menjelaskan kepada anak mengenai masalah seks, biasanya anak akan mencari sumber informasi dari sumber lain. Dalam hal ini sumber-sumber yang dapat dijangkau secara mudah oleh remaja adalah teman-teman sebayanya. Namun mereka semua sedang sama-sama mencari informasi, sehingga mereka biasanya mencari informasi secara diam- diam melalui perkembangan teknologi seperti video yang beredar si sosial media atau situs-situs tertentu. Mereka mungkin malah menyerap hal-hal yang negatif dari sumber-sumber yang memang bersifat porno.

 

Remaja saat ini sangat akrab dengan yeknologi, tidak heran jika kemudian mereka dengan mudah menerima semua informasi dari berbagai negara di dunia. Tidak semua iformasi yang diterima dapat sesuai dengan norma yang berlaku di Indonesia,seperti menggunakan pakaian yang kurang sopan, meminum minuman beralkohol, menggunakan narkoba, bahkan yang terparahnya adalah perilaku seks bebas bagi para remaja tersebut (Rasyid, dkk, 2020).

 

Selain itu, seperti banyak kasus yang beredar di media sosial, kebanyakan remaja yang menggunakan teknologi untuk berkenalan dengan orang asing untuk mencari perhatian karena merasa kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya, lalu melakukan pertemuan dan melakukan perilaku seksual. Tidak sedikit pula remaja-remaja yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang asing maupun oleh orang terdekatnya sendiri seperti pacarnya.

 

Kasus-kasus perihal perilaku seksual biasanya banyak terjadi pada kalangan remaja terutama remaja yang berpacaran. Pada masa pacaran ini hubungan seks pranikah ini mulai dilakukan oleh kalangan remaja tanpa memandang latar belakang sosial. Baik itu pelajar, mahasiswa, remaja yang tinggal dikota maupun didesa bahkan pemuda-pemudi yang tidak sekolah. Dari masa pacaran ini lah biasanya para remaja mulai tergiur untuk melakukan perilaku seksual mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting (bercumbu berat) sampai berhubungan seks.

 

Perilaku seksual pada remaja bisa timbul karena beberapa faktor, seperti perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja, penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa. Selain itu, orangtua yang kurang terbuka serta pergaulan yang semakin bebas juga merupakan faktor-faktor terjadinya perilaku seksual dikalangan remaja (Sarwono, 2016).

 

Referensi:

 

Hidayat, R.A & Nurhayati, I. (2020). Peran Orang Tua dalam Mencegah Perilaku Sex Pranikah Pada Remaja di Bantul. Jurnal Formil Kesmas Respati, 5(1), .71-79

Monks, F.J & Haditono, S.R. (2006). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

PKBI DIY. (April 17, 2018). Perilaku Seksual Remaja. Ditemukan kembali di: https://pkbi-diy.info/perilaku-seksual-remaja/

Rasyid, P.S, Claudia, J.G, & Podungge, Y. (2020). Pengaruh Penggunaan Gadget Terhadap Perilaku Seks Remaja. JIDAN: Jurnal Ilmiah Bidan, 7(2),52-57. Doi: 10.47718/jib.v7i2.1147

Sarwono, S.W. (2016). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 10 Mei 2023

 

 

Hubungan Parasocial Idol Interaction dan Parenting Attachment

 

Oleh:

Antonia Sekar Ayu Heryanto, Imanuella Aletha Sunarja, Melisa Vitalia Fransiska, & Michella Jeslyn Hanly

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Unit Penelitian Mahasiswa, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Fenomena demam budaya Korea di tingkat global atau yang biasa disebut dengan Korean wave merupakan suatu isu yang telah merambah secara internasional, termasuk Indonesia (Fachrosi, dkk, 2020). Penggemar dari budaya Korea ini menembus berbagai umur, tetapi mayoritas peminatnya adalah para remaja (usia 12-20 tahun) dan orang pada masa dewasa awal (21-35 tahun) (IDN Times, 2019). Menurut Putri (2019), selain dijadikan sebagai figur idola mereka, idola K-pop juga menjadi pelepas stres bagi remaja yang memang penuh tantangan dan memiliki banyak tekanan. Hal ini pun membuat para penggemar kerap kali menjalin hubungan parasosial dengan idola mereka. Hubungan parasosial atau parasocial relationship adalah hubungan satu pihak yaitu, seorang pengguna media sosial, yang dilangsungkan dengan seorang persona di media (Vinney, 2022).

 

Menurut Hartmann (2016), hubungan parasosial yang terlalu intens dapat dikurangi dengan mengurangi ekspos penggemar terhadap hal-hal yang berbau idolanya. Salah satu hal yang mampu menjadi penghalang ekspos tersebut adalah interaksi dengan orang tua. Keadaan emosional dan kognitif seorang anak cenderung dipengaruhi oleh hubungannya bersama kedua orang tuanya. Hubungan awal dimulai saat anak lahir ke dunia, bahkan semenjak janin berada dalam kandungan ibu (Sutcliffe, 2002). Hubungan ini membuat anak memiliki kesempatan untuk mengeksplor lingkungannya atau kehidupan sosialnya, dan juga hubungan anak dengan orang tua dimasa awal dapat menjadi pedoman dalam hubungan selanjutnya.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara parasocial idol interaction dan parenting attachment. Kedekatan orang tua terhadap anak sangatlah penting agar hubungan parasosial tidak tumbuh semakin intens. Penelitian yang dilakukan oleh Chau-Kiu Cheung dan Xiao Dong Yue (2013) menunjukkan bahwa perilaku remaja yang memuja idolanya adalah bentuk kompensasi dari kekurangan hadirnya orang tua dalam kehidupan para remaja. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan acuan atau pelengkap dan landasan untuk meneliti topik yang sama.

 

Penelitian dilakukan secara kuantitatif melalui kuesioner Google Forms yang disebarkan kepada 100 responden dari mahasiswa UNIKA Atma Jaya dan mahasiswa di luar UNIKA Atma Jaya sebagai sampel penelitian. Sebanyak 53 responden berasal dari jurusan Psikologi, mayoritas berjenis kelamin perempuan (76 responden), dan tinggal bersama orang tua (67 responden). Berdasarkan respons pada bagian kuesioner Parasocial Idol Interaction, peneliti dapat memahami bahwa sebanyak 34 responden setuju akan mengetahui banyak hal mengenai idola mereka dan juga merasa bahwa menonton mereka dapat memberikan ketenangan (29 responden). Namun, terdapat 44 responden yang menyatakan bahwa mereka tidak kecewa, bila tidak bisa pergi menuju konser idola mereka. Sebanyak 56 responden juga menyatakan bahwa mereka masih ingin berinteraksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Ada pula respons yang diberikan pada bagian kuesioner Parenting Attachment menyatakan bahwa sebanyak 36 responden setuju bahwa mereka bersifat terbuka pada keluarga. Tidak hanya itu, berdasarkan data respons kuesioner, peneliti dapat menyatakan bahwa terdapat 42 responden yang menjalin hubungan yang dekat dengan orang tua. Hal tersebut dapat dipahami dari respons 44 responden yang menyatakan bahwa orang tua mereka bersedia berperan aktif, tidak membatasi aktivitas sehari-sehari (29 responden), dan juga mampu memberikan dukungan psikologis bagi para responden (32 responden).

 

Sesuai rumus Pearson dan interpretasi indikasi nilai hubungan antara dua variabel, didapatkan nilai r (korelasi) adalah 0,10. Oleh sebab itu, korelasi antara Parasocial Idol Interaction dan Parenting Attachment bersifat lemah, yang dapat diartikan juga bahwa tidak adanya keterkaitan antara 2 variabel. Hal ini dapat terlihat dari adanya kemungkinan yang kecil bahwa Parasocial Interaction terjadi karena kurangnya perhatian dari keluarga. Sesuai dengan respons kuesioner, dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata dari responden mempunyai hubungan keluarga yang harmonis dan parenting attachment yang sehat, yaitu orang tua yang bersedia aktif dalam kehidupan anaknya dan peduli akan kondisi psikologis sang anak. Hal ini mengurangi adanya dampak negatif atau berlebih yang dihasilkan oleh hubungan parasosial dengan idola kesukaan dan tidak menutup keterbukaan bersama keluarga sendiri. Tidak banyak responden yang menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk mengikuti aktivitas idola dan banyak pula dari responden yang memilih untuk tidak terlibat dalam pertengkaran dengan fans idola lainnya. Tindakan tersebut dipercaya merupakan hasil dari adanya dukungan serta didikan yang baik dari pihak orang tua/wali.

 

Referensi:

 

Cheung, Chau-kiu, dan Xiao D. Yue. (2012). Idol worship as compensation for parental absence. International Journal of Adolescence and Youth, 35-46. http://dx.doi.org/10.1080/02673843.2011.649399

Fachrosi, E., Fani, D. T., Lubis, R. F., Aritonang, N. B., Azizah, N., Saragih, D. R., & Malik, F. (2020). Dinamika fanatisme penggemar K-Pop pada komunitas BTS-Army Medan. Jurnal Diversita, 6(2), 194-201. https://doi.org/10.31289/diversita.v6i2.3782 Hartmann, T. (2016). Parasocial interaction, parasocial relationships, and well-being. In L. Reinecke & M. -B. Oliver (Eds.), The Routledge Handbook of Media Use and Well-Being. (pp. 131-144). Routledge.

Putri, O. F. (2019). Peran K-Pop terhadap siswa masa kini dan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. https://doi.org/10.31227/osf.io/cb7xu

Sutcliffe, J. (2002). Baby bonding–membentuk ikatan batin dengan bayi–berikan permulaan yang aman untuk kehidupan bayi anda. Tarumedia Restu Agung.

Triadanti. (2019, Feb 26). Jadi gaya hidup, benarkah fans K-Pop kaya raya atau cuma modal kuota?. IDN Times. https://www.idntimes.com/hype/entertainment/danti/jadi-gaya-hidup-benarkah-fans-k pop-kaya-raya-atau-cuma-modal-kuota?page=all

Vinney, C. (2022, Nov 21). What is a parasocial relationship?. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-a-parasocial-relationship-5210770

ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 10 Mei 2023

 

Maraknya Transgender Saat Ini, Sepuas itukah?

 

Oleh:

Abdul Khalim, Khalisa Fahira, & Silfa Srihaimi

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Transgender menjadi topik hangat dan semakin marak diperbincangkan, baik di dunia maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri masih menjadi polemik di tengah masyarakat yang beragama dan berbudaya karena hal tersebut belum mendapat penerimaan dari masyarakat terkait pertentangan konstruksi gender.

 

Transgender merupakan individu yang merasa dan berfikir dirinya berbeda dari sudut pandang mereka tentang kelamin yang telah ditetapkan, masuk dalam gangguan identitas jenis kelamin seperti seorang laki-laki yang mengubah dirinya menjadi seorang perempuan maupun sebaliknya (Ruhghea et al, 2014). Meskipun peran gender telah ditetapkan oleh sebuah budaya, penyimpangan identitas gender masih saja tetap terjadi. Hal tersebut terjadi karena individu mengidentifikasikan jenis yang berbeda dengan kuat namun cenderung menetap pada tubuh dengan jenis kelamin yang mereka miliki saat ini (Halgin & Whitbourne, 2010). Pengembangan identitas baru tersebut di tengah budaya masyarakat akan memunculkan konsekuensi sikap masyarakat seperti diskriminatif, pelecehan hingga kekerasan fisik yang membuat kehidupan mereka semakin sulit.

 

Kepuasan hidup merupakan sebuah kebutuhan yang sangat subjektif pada masing-masing individu yang berkeinginan untuk merubah diri, penghayatan pada suatu situasi, menikmati hidup dan perasaan gembira (Hurlock, 2004). Kepuasan terjadi melalui proses evaluasi kognitif dan afektif. Evaluasi kognitif terjadi ketika individu membuat penilaian kepuasan hidup berdasarkan bobot tiap domain dalam kehidupannya secara matang. Kemudian evalusi afektif terjadi ketika merasakan kesenangan dari domain tersebut (Ruhghea et al, 2014).

 

Maraknya transgender di Indonesia dengan banyaknya dari mereka yang belum mendapat pengakuan dari masyarakat menimbulkan pertanyaan tentang kepuasan hidup mereka.

 

Lantas, “Puaskah menjadi transgender di Indonesia?”

 

Pada lingkungan urban, semua subjek dapat diterima, tetapi tidak pada masyarakat luas. Namun, pada dasarnya mereka juga ingin diterima di masyarakat pada umumnya dengan jenis kelamin yang mereka yakini. 4 pria transgender di Banda Aceh menjadi transgender dengan harapan bisa diterima di masyarakat pada umumnya. Keempat pria itu adalah SU, BR, TKN, dan BM. Mereka memiliki perbedaan waktu dan peristiwa yang melatarbelakanginya menjadi transgender. SU merasakan dirinya berbeda pada saat duduk di bangku SMP, BR mulai mengalami perubahan karena memilki teman waria dan mulai mengikuti perubahan-perubahan yang dilakukan oleh teman transgendernya tersebut seperti pakaian dan tingkah lakunya. TKN berubah menjadi transgender karena pengaruh kakak perempuan dan lingkungannya yang dominan perempuan, sementara BM berubah karena sang ayah ingin memiliki anak perempuan dan terpaksa mengikuti keinginan ayahnya, namun ketika sudah nyaman dengan perubahan tersebut keluarga meminta untuk kembali menjadi anak laki-laki biasa, BM tidak berkenan dan akhirnya dikucilkan keluarganya.

 

Penerimaan sosial menjadi suatu kebutuhan bagi mereka, meskipun sampai saat ini mereka belum merasakan penerimaan sosial akan keberadaan mereka di tengah masyarakat. Keempatnya merasa diterima pada saat mereka berada di komunitas transgender, dimana satu sama lain dapat memberi dan menerima dukungan serta saling memahami kondisi masing-masing. Di saat itulah mereka merasa puas sebagai manusia dengan tanpa terbebani. Sejuah ini keempat transgender tersebut merasa puas dan bahagia dengan hidupnya meskipun masyarakat belum sepenuhnya menerima kondisi mereka saat ini. Mereka hidup bahagia dengan segala konsekuensi yang ada dan menikmati hidupnya. Ketika itu mereka menganggap dirinya penuh arti dan menerimanya dengan tulus, mereka hidup sebagai seorang transgender dan berkeinginan menjadi lebih baik untuk mencapai tujuan hidup mereka ke depan.

 

Referensi:

 

Helgin, R. P., & Whitbourne, S. K. (2010). Psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit Salemba.

Hurlock, E. B. (2004). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Waktu Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ruhghea, S., Mirza, Rachmatan, R. (2014). Studi Kualitatif Kepuasan Hidup Pria Transgender (Waria) di Banda Aceh. Jurnal Psikologi Undip, 13(1), 11-20