ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 25 Januari 2025
Rendang Daging yang Menyatukan Rasa Kebangsaan
Oleh:
Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Di tahun 2024, tersebar luas cuplikan video di kanal Youtube.com mengenai aksi sepihak kelompok yang merazia/menggerebek rumah makan yang menjual menu dari Minangkabau, tapi dengan pemilik bukan dari suku bangsa Minangkabau (https://www.youtube.com/watch?v=AWoch6dUcyE). Hal ini menimbulkan polemik, yang akar masalahnya adalah harga makanan, tapi karena aksi ini mengangkat sentimen kesukuan, maka yang respon masyarakat menjadi cenderung sentimen balik negatif. Ini yang dalam bahasa resmi dikategorikan sebagai isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Sebagai pembanding, beberapa tahun lalu, seorang koki internasional bernama Gordon Ramsay melakukan kunjungan ke Indonesia. Secara khusus ia mendatangi Provinsi Sumatera Barat. Kedatangannya untuk membuat salah satu makanan terenak di dunia (nomor 11 dalam https://www.kompas.com/food/read/2021/05/03/112700875/50-makanan-terbaik-di-dunia-2021-versi-cnn-rendang-urutan-berapa-?page=all; Rahman, 2020), yakni rendang daging (selanjutnya akan ditulis rendang). Video Ramsay dan Wongso, ramai diperbincangkan. Secara umum hal ini menjadi hal yang membanggakan. Adegan memasak Ramsay dan Wongso memberikan perspektif baru tentang kebanggaan kelompok. Di saat Ramsay memasak rendang, kita melihat kuliner kita dihargai oleh jago masak tingkat dunia. Dampaknya, di media sosial atau setidaknya grup WA berseliweran pesan tentang rasa kebanggaan terhadap rendang.
Mengapa Dibandingkan?
Dalam kanal National Geographic, diperlihatkan bahwa Ramsay memasak rendang daging tidak sendirian (https://www.youtube.com/watch?v=ied7EVlADgA). Dia bersama orang Indonesia bersuku bangsa Tionghoa, William Wongso (https://id.wikipedia.org/wiki/William_Wongso). Wongso adalah ahli kuliner Indoesia yang bereputasi internasional. Merujuk temuan itu, terlihat bahwa keduanya tidak berasal dari suku bangsa Minangkabau. Salah satu mereka bahkan bukan orang Indonesia (Ramsay). Mereka hadir di video tersebut adalah kesamaan kecintaan pada resep masakan, khususnya rendang yang secara sejarah adalah kekayaan budaya dari Minagkabau. Saat itu para pemirsa tidak mempersoalkan siapa yang memasaknya. Mereka antusias dengan dikenalnya rendang sebagai makanan nasional yang diperlihatkan secara internasional (video pembuatan rendang tentu tidak cuma satu di muka bumi ini). Masyarakat antusias bahwa cita rasa nasionalnya dibuat oleh tangan orang luar negeri (Ramsay dan National Geographic). Dalam kurun waktu yang berdekatan, juga rendang dinyatakan sebagai makanan terenak di dunia. Masyarakat bangga, dan tidak memusingkan asal-muasal makanan itu. Yang mereka tahu, bahwa makanan sehari-hari mereka menjadi makanan terenak di dunia. Dan itu milik Indonesia.
Dari Masakan Suku Bangsa Menjadi Masakan (Identitas) Nasional
Rendang mau tidak mau, saat ini adalah masakan yang menjadi milik Indonesia. Hal ini terlihat dari kebanggaan yang muncul. Kebanggaan ini tidak terbatas pada orang berlatar suku bangsa Minangkabau, tapi juga yang lainnya. Padahal sejarah mencatat rendang ini memang produk budaya dari Minangkabau (Rahman, 2020, 2023; Febriyanti, 2012 dalam Wachyuni, 2023).
Jika memang rendang terbatas pada kebudayaan Minangkabau, maka rendang adalah bagian dari identitas sosial Minangkabau atau dengan kata lain sebagai bagian dari identitas etnis. Namun yang menjadi perhatian adalah gempita orang Indonesia terhadap video masak rendang menimbulkan pertanyaan apakah memang rendang telah berpindah posisi menjadi identitas kelompok sosial yang lebih luas, yakni identitas nasional Indonesia?
Ada indikasi rendang menjadi identitas nasional Indonesia. Video pembuatan rendang yang melibatkan William Wongso juga patut menjadi perhatian. Sepanjang penulis tahu, tidak ada komentar buruk atas kepiawaian dia memasak rendang. Saat video rendang tayang dan menyebar, tidak terdengar hembusan persepsi negatif terhadapnya. Ada kesan, bahwa kehadiran Wongso memang menjadi paket pemahaman rendang bukan masalah etnis, ini masalah bangsa (identitas nasional). Rasa kepemilikan rendang itu yang beberapa kali menimbulkan ketegangan antara Indonesia dan Malaysia (Rahman, 2020).
Berpindahnya identitas etnis sebagai identitas sosial yang kecil menuju identitas nasional yang lebih besar menarik untuk diperhatikan dalam konteks kebangsaan seperti Indonesia. Negara yang kebangsaannya justru dibangun melalui proses tidak alami (mungkin mirip dengan Amerika Serikat atau Uni Soviet dulu). Sebagai gambaran Amerika Serikat lahir dengan nama dari petualang Eropa, Amerigo Vespucci. Diambil kata “Amerigo” menjadi Amerika. Sementara Uni Soviet bukan dari nama bangsa di sana. Hal yang sama terjadi pada Indonesia yang lahir sebagai ide kebangsaan baru (Yosua & Meinarno, 2024).
Rendang diperkirakan muncul seiring dengan interaksi orang Nusantara dengan orang India. Diperkirakan bumbu rendang berasal dari bumbu kari yang dikenalkan orang India (Rahman, 2023; Wachyuni, 2023). Pada catatan kuliner dan sastra Kolonel Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, komandan militer dan residen di Padang (1824-1829), sering kali muncul bahasan mengenai kuliner yang dihanguskan dan masakan ini diduga adalah rendang (Febriyanti, 2012 dalam Wachyuni, 2023).
Seiring dengan masa penjajahan Belanda, rendang diam-diam ikut menyebar. Dalam tulisan Rahman (2020) disebutkan bahwa area penyebarannya keluar Sumatera Barat yakni Malaysia, Kalimantan bagian selatan, Jawa, dan Sunda. Bisa dibayangkan saat Sumpah Pemuda 1928, jangan-jangan makanan para tokoh pemuda salah satunya adalah rendang.
Rendang mudah menyebar karena sebagai produk budaya yang karena banyak aspek yang mendukungnya juga menyertainya. Kita dapat lihat dari aspek spasial dengan ketersediaan bahan makanan (alam tempat tinggal), distribusi, akses, dan pola konsumsi. Semua hal itu telah terlampaui, semua bumbu yang ada dalam rendang ada di semua tempat di Indonesia (termasuk orang Minangkabau), sampai konsumsi daging pun juga memadai. Dan hal terpenting adalah bahwa semua masyarakat di wilayah nusantara dapat menerimanya.
Pergerakan rendang ini dimungkinkan ketika yang mengirim (orang Minang) dan yang menerima (suku-suku bangsa lainnya) menganggap hal ini adalah hal yag jamak/lumrah. Penerimaan suku-suku bangsa ini dapat menjadi indikasi adanya kesiapan psikologis, yakni tidak menganggap rendang sebagai makanan “bukan produk suku bangsa kita”, tapi menjadi “ini makanan kita kan?”. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat kita mempunyai ciri berbhinneka sejak lama. Dan rendang seakan menjadi bagian dari frasa “tunggal ika” (“ini makanan kita kan?”), maka lengkaplah posisi rendang dalam kebangsaan kita saat ini.
Keseharian Kita adalah Kebangsaaan Kita
Edensor (2002) melihat bahwa kebangsaan itu ada dalam keseharian kita. Banyak produk (atau bisa disebut juga sebagai material kebudayaan/artefak) yang awalnya dimiliki oleh satu suku bangsa yang mayoritas, menjadi produk kebudayaan nasional. Masih menurut Edensor, produk juga memberi ruang bagi masyarakat dalam membangun “mitos” darinya. Dicontohkan olehnya mengenai mobil buatan Inggris yang menunjukkan kompetensi dan keahlian/kepakaran dari orang Inggris dalam masalah teknik. Rendang muncul dalam keseharian kita pada berbagai acara-acara makan yang bersifat komunal (khitanan, lebaran, syukuran dan lainnya), atau individual (makan sendirian di rumah makan Minangkabau).
Rendang yang sering muncul di acara komunal memberikan ingatan tentang makanan bersama, tanpa membedakan siapa yang membuat dan yang memakannya. Rendang mengingatkan kita akan bumbu-bumbu atau rempah yang tumbuh di seluruh tanah Indonesia. Kriteria suatu masakan menjadi masakan nasional terjadi karena bahan-bahannya ada di seluruh daerah dan memiliki sejarah panjang hidup bersama dengan masyarakatnya (Ichijo, Johannes, & Ranta, 2019). Bumbu-bumbu juga membuat orang mengenang tanah airnya (Ju, Yoesoef, & Setyani, 2022). Rendang hadir dalam berbagai acara nasional menjadi wujud cita rasa nasional, tanpa embel-embel lain. Dan akhirnya rendang menjadi identik dengan keberadaan kebudayaan nasional yang dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai hasil dari penggabungan dan penyatuan berbagai kebudayaan daerah yang ada di Indonesia.
Penutup
Masyarakat tidak lagi melihat rendang semata makanan dari suku bangsa Minang. Masyarakat melihat rendang sebagai suatu hasil karya bersama dan milik dari masyarakat. Kontak kultural yang lama terjadi pada tingkat individu dan kelompok membuat berkurangnya ide “mereka”. Ini yang disebut sebagai kontak antarkelompok yang lama (longitudinal) (Simon, 2004). Kebangsaan Indonesia terbangun secara tanpa sengaja, dengan aktivitas sosial bersama (Tobing, 2018) yang dalam hal ini kerja Wongso dan Ramsay membuat orang Indonesia bangga terhadap rendang.
Tentu menjadi menyedihkan jika rendang yang ratusan tahun dikenal masyarakat nusantara, harus mengalami penurunan status sebagai makanan satu suku bangsa tertentu atau malah memicu polemik kebangsaan kita. Jika kebangsaan Indonesia dinamis seperti gerak tari Agnez (Meinarno, 2023), begitulah lidah kita menari karena menikmati rendang di meja makan kita. Selamat makan rendang.
Daftar Pustaka
Edensor, T. (2002). National identity, popular culture and everyday life. Berg. New York.
https://id.wikipedia.org/wiki/William_Wongso
https://www.youtube.com/watch?v=ied7EVlADgA
Ichijo, A., Johannes, J., Ranta, R (eds.). (2019). The emergence of national food. Bloomsbury.
Ju, R. J., Yoesoef, M., & Setyani, T. I. (2022). Makanan sebagai Representasi Nasionalisme dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori. Jurnal Kata, 6(2), 216-228.
Meinarno, E. A. (2023). Gejala Agnez Mo: Bhinneka Tunggal Ika yang Milenial. Buletin KPIN. Vol. 9 No. 02 Januari 2023. https://buletin.kpin.org/index.php/daftar-artikel/1201-gejala-agnez-mo-bhinneka-tunggal-ika-yang-milenial.
Rahman, F. (2020). Tracing the origins of rendang and its development. Journal of Ethnic Foods, 7(1), 28.
Rahman, F. (2023). Jejak rasa nusantara: Sejarah makanan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
Simon, B. (2004). Identity in modern society: A social psychological perspective. Blackwell publishing.
Tobing, E. (2018). Indonesian dream. Kompas. Jakarta.
Wachyuni, SS. (2023). Gastronomi Indonesia Sebagai Identitas Budaya dan Daya Tarik Wisata. Mata Kata Inspirasi. Yogyakarta.
Yosua, I., Meinarno, EA. (2024). Sumpah Pemuda dan Identitas Nasional. Buletin KPIN. Vol. 10 No. 20 Oktober 2024. https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1644-sumpah-pemuda-dan-identitas-nasional.