ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 39 Agustus 2025
Perbedaan Pria dari Budaya Individualis dan Kolektivis dalam Memaknai Rasa Sakit dan Akses terhadap Konseling
Oleh:
Putu Ayu Khausiki Parwati Putri, Yohanes Kartika Herdiyanto, Ni Made Diah Saraswati
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Akses layanan kesehatan, khususnya konseling psikologis, menunjukkan kesenjangan gender dan budaya yang signifikan (Johnson, 2023). Meskipun pria lebih enggan mencari bantuan profesional secara global, tren berbeda muncul di negara dengan budaya individualis dan kolektivis. Misalnya, Amerika Serikat terdapat peningkatan jumlah pria yang mengakses konseling (Vankar, 2024). Sebaliknya, di negara kolektivis seperti Jepang dan Tiongkok, stigma sosial masih kuat dengan sedikit populasi yang mencari pengobatan meskipun prevalensi gangguan mental tinggi (WifiTalents, 2025; Shi et al., 2020). Konteks budaya ini memengaruhi cara pria memahami dan mengekspresikan sakit, yang memengaruhi keputusan dalam mencari layanan konseling.
Rendahnya akses konseling oleh pria menjadi problematika di setiap negara. Di negara dengan budaya individualis seperti Amerika Serikat, proporsi pria yang menerima konseling mulai meningkat antara tahun 2002-2023 (Ford, 2024). Di Inggris, terjadi peningkatan klien pria, walau masih lebih sedikit dibandingkan wanita (BACP, 2023). Dalam artikel The Guardian (Bawden, 2025) melaporkan peningkatan kunjungan pria ke layanan kesehatan mental, seperti self‑referral untuk terapi bicara. Pria individualis lebih terbuka mengekspresikan rasa sakit dan mencari bantuan profesional, diperkuat dengan budaya yang memperbolehkan ekspresi emosi.
Namun, berbeda dengan negara-negara yang berbudaya kolektivis. Pria kolektivis cenderung menekan ekspresi sakit karena takut dianggap lemah, mengganggu harapan sosial, atau untuk menjaga keharmonisan interpersonal (Liu et al., 2024). Hampir 68,8% orang Jepang menunda mencari perawatan karena ingin mengatasi masalahnya sendiri dan 63,9% individu melaporkan rendahnya kebutuhan untuk perawatan kesehatan mental (Seven, 2023). Akses layanan di negara kolektivis, seperti Tiongkok dan Jepang berkisar antara 6-13% dari populasi yang benar-benar membutuhkan, jauh lebih rendah dibandingkan negara individualis seperti AS sebesar 13%. Dalam artikel Antara News (Nasution, 2025), hanya 2,6% remaja yang mengalami masalah emosional dan perilaku yang mengakses layanan konseling. CNA (Rayda, 2023) mencatat bahwa kurang dari 3% orang depresi di Indonesia mendapat bantuan profesional. Angka tersebut sangat rendah, menunjukkan adanya hambatan sosial, stigma, dan norma maskulinitas tradisional yang masih dianut setiap budaya.
Ini menunjukkan sulitnya pria dalam menyelesaikan masalah karena stigma dan tekanan kultural. Akibatnya, akses terhadap layanan konseling dipengaruhi oleh stigma gender dan budaya yang memberi tekanan pada ketahanan fisik dan emosional pria, sehingga pria kolektivis sering menghadapi kesulitan untuk mengakses konseling.
Melzack dan Wall (1965) mengemukakan peran faktor psikologis dalam mengaktifkan atau menutup gerbang nyeri. Ini menjadi salah satu teori pertama yang menggabungkan aspek mental dalam pengalaman rasa sakit. Rasa sakit tidak hanya merupakan sinyal langsung dari cedera, tetapi dikendalikan secara neurologis di sumsum tulang belakang. Rangsangan sensorik lain, seperti sentuhan atau tekanan, dapat menutup gerbang tersebut dan mengurangi persepsi nyeri.
Konsep Individualisme-Kolektivisme (Triandis, 2018), budaya kolektivis menekankan pentingnya menjaga keharmonisan sosial, mengorbankan diri untuk kelompok, dan mempertahankan hubungan interpersonal. Sebaliknya, budaya individualis mengutamakan kemandirian, ekspresi diri, dan pencapaian pribadi. Sejalan dengan aspek Individualisme vs. Kolektivisme Hofstede (2010). Identitas diri dalam budaya kolektivis dibentuk oleh hubungan sosial, sehingga individu cenderung menghindari perilaku yang mengganggu citra sosial, seperti mengungkapkan rasa sakit. Karena norma sosial yang menuntut untuk tampak kuat dan tidak membebani orang lain, individu kolektivis seringkali tidak menunjukkan penderitaan emosional (Triandis et al., 1988). Namun, budaya individualis lebih cenderung mengidentifikasi, menyatakan, dan bertindak atas rasa sakit, memandang penerimaan rasa sakit dan meminta bantuan sebagai pemenuhan kesejahteraan diri.
Teori Display Rules oleh Ekman dan Friesen (dalam Carlson, 1987), menekankan bahwa meskipun ekspresi emosi bersifat universal, setiap budaya menerapkan display rules yang mengatur kapan dan seberapa intens seseorang menunjukkan emosinya, termasuk rasa sakit. Dengan menggunakan Display Rule Assessment Inventory, Matsumoto et al. (1998, 2008), menemukan bahwa ekspresi emosi, termasuk rasa sakit, lebih diterima, bahkan dihargai sebagai kejujuran dan upaya mendapatkan solusi medis pada negara-negara individualis. Sedangkan di budaya kolektivis, aturan sosial mengharuskan penahanan ekspresi agar menjaga keharmonisan grup. Rasa sakit cenderung ditahan, karena ekspresi nyeri dianggap mengganggu keharmonisan dan menunjukkan kelemahan.
Budaya tidak hanya membentuk nilai-nilai sosial, tetapi juga berperan dalam menentukan bagaimana individu, khususnya pria, memaknai rasa sakit dan mengambil keputusan untuk mengakses layanan konseling. Dalam budaya kolektivis seperti Jepang, China, dan Indonesia, struktur sosial menciptakan tekanan agar pria menahan ekspresi emosional (Field, 2024). Berakar pada display rules, yaitu norma budaya yang menentukan pola perilaku emosional yang sesuai dan dapat ditampilkan secara sosial (Ekman, 1971). Rasa sakit, khususnya psikologis, sering dianggap sebagai bentuk kelemahan dan merusak citra diri. Akibatnya, banyak pria kolektivis tidak mengakses konseling walaupun mengalami tekanan mental. Data dari Tiongkok menunjukkan hanya 15,7% orang dengan gangguan mental pernah mengakses layanan profesional (Yin et al., 2019), dan karena stigma membuat dua pertiga orang dengan gangguan mental di Jepang tidak pernah mencari bantuan (Ando et al., 2013; Kanehara et al., 2015).
Sebaliknya, budaya individualis seperti di Amerika Serikat, Kanada, atau Inggris, menempatkan kebebasan berekspresi dan kepentingan individu sebagai nilai utama. Dalam budaya ini, mengakui kondisi mental tidak dilihat sebagai kelemahan, melainkan sebagai langkah sadar untuk menjaga kesejahteraan pribadi. Pria individualis cenderung memiliki ruang untuk menunjukkan rasa sakit, termasuk mencari layanan konseling. Data CDC (2021) yang menunjukkan peningkatan signifikan dari 13,1% menjadi 17,8% hanya dalam dua tahun, pada pria usia 18–44 tahun dalam mengakses layanan konseling di AS. Survei BACP (2023) mencatat bahwa 60% terapis di Inggris mengungkapkan adanya peningkatan klien pria, menandakan adanya pergeseran paradigma maskulinitas dan perawatan diri.
Dalam Gate Control Theory (Melzack & Wall, 1965), menjelaskan bahwa emosional dan kognitif juga berpengaruh pada persepsi rasa sakit. Dalam budaya kolektivis, dorongan untuk menahan dan menyembunyikan penderitaan menyebabkan "gerbang" neurologis terhadap rasa sakit tertutup. Budaya kolektivis mendorong proses internalisasi nyeri, yang membuat pria jarang menyuarakan kondisi emosionalnya secara terbuka. Sementara budaya individualis, menerapkan pengakuan emosi dan dukungan sosial yang membuka “gerbang”, sehingga memungkinkan ekspresi dan pengolahan rasa sakit menjadi lebih terbuka dan adaptif.
Kedua karakteristik budaya ini secara tidak langsung membentuk pemikiran pria tentang rasa sakit dan mencari bantuan. Tekanan untuk menjaga citra diri dan loyalitas terhadap norma sosial membuat pria kolektivis enggan mencari bantuan, walau dibutuhkan. Sebaliknya, budaya individualis memberikan dukungan sosial dan legitimasi untuk tindakan tersebut. Oleh karena itu, perspektif rasa sakit yang dibentuk oleh nilai budaya berkontribusi terhadap perbedaan akses layanan konseling pada pria. Budaya juga membantu mengurangi hambatan yang memungkinkan pria mendapatkan dukungan tanpa merasa malu atau khawatir akan stigmatisasi.
Maka dari itu, penting untuk menanamkan kesadaran bahwa laki-laki berhak dan patut mencari bantuan saat menghadapi tekanan psikologis. Konseling bukanlah bentuk kelemahan, melainkan langkah untuk menjaga kesehatan mental. Layanan ini berguna dalam mengelola rasa sakit dan membangun keterampilan regulasi emosi. Maka dari itu, menghapus stigma gender terhadap pengekspresian rasa sakit dan akses layanan konseling merupakan langkah krusial dalam mendukung kesehatan mental pria, terutama dalam masyarakat dengan nilai-nilai kolektivis.
Daftar Pustaka
Ando, S., Yamaguchi, S., Aoki, Y., & Thornicroft, G. (2013). Review of mental‐health‐related stigma in Japan. Psychiatry and clinical neurosciences, 67(7), 471-482.
BACP Mindometer. (2023). BACP Mindometer 2023. https://www.bacp.co.uk/about-us/about-bacp/bacp-mindometer-2023/. Diakses 22 Juni 2025.
Bawden, Anna. (2025). One in four young people in England have a mental health condition, NHS survey finds. https://www.theguardian.com/society/2025/jun/26/young-people-england-common-mental-health-conditions-nhs-survey. Diakses 22 Juni 2025.
Carlson, N.R. 1987. Psychology: The Science of Behavior. Penerjemah: Nurdjannah Taufiq. Allyn and Bacon Inc.: Boston.
Ekman, P. (1971). Universals and cultural differences in facial expressions of emotion. In Nebraska symposium on motivation. University of Nebraska Press.
Field, Barbara. (2024). Why Men Don't Get Mental Health Help When They Need It. https://www.verywellmind.com/exploring-the-stigma-of-men-and-mental-health-5510053. Diakses 21 Juni 2025.
Ford, Celia. (2024). Men are struggling. Here’s how your philanthropy can help. Vox: https://www.vox.com/future-perfect/388155/giving-tuesday-2024-men-issues-charities. Diakses 21 Juni 2025.
Hoftede, G., Hofstede, G. J., & Minkov, M. (2010). Cultures and organizations: software of the mind: intercultural cooperation and its importance for survival. McGraw-Hill.
Johnson, Barbara E. (2023). Gender differences in mental health. EBSCO: https://www.ebsco.com/research-starters/psychology/gender-differences-mental-health. Diakses 20 Juni 2025.
Kanehara, A., Umeda, M., Kawakami, N., & World Mental Health Japan Survey Group. (2015). Barriers to mental health care in J apan: Results from the World Mental Health J apan Survey. Psychiatry and clinical neurosciences.
Liu, L. J., Peng, H. L., Liang, W. P., & Lin, E. M. H. (2024). Pain Resilience and Coping Behaviors in Individuals in a Collectivist Social Context. In Healthcare (Vol. 12, No. 19, p. 1979). MDPI.
Matsumoto, D., Takeuchi, S., Andayani, S., Kouznetsova, N., & Krupp, D. (1998). The contribution of individualism vs. collectivism to cross‐national differences in display rules. Asian journal of social psychology, 1(2), 147-165.
Matsumoto, D., Yoo, S. H., & Nakagawa, S. (2008). Culture, emotion regulation, and adjustment. Journal of personality and social psychology, 94(6), 925.
Melzack, R., & Wall, P. D. (1965). Pain Mechanisms: A New Theory: A gate control system modulates sensory input from the skin before it evokes pain perception and response. Science, 150(3699), 971-979.
Nasution, Rahmad. (2025). Indonesians to get free mental health screening services: minister.https://en.antaranews.com/news/343458/indonesians-to-get-free-mental-health-screening-services-minister. Diakses 23 Juni 2025.
Rayda, Nivell. (2025). More Indonesians seeking online help for mental health issues amid social stigma and shortage of psychologists. https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-mental-health-more-seeking-help-psychologists-shortage-3788691. Diakses 23 Juni 2025.
Seven, Zuva. (2023). How Do Other Countries Deal With Mental Health?. https://www.verywellmind.com/how-do-other-countries-deal-with-mental-health-7556304. Diakses 21 Juni 2025.
Shi, W., Shen, Z., Wang, S., & Hall, B. J. (2020). Barriers to Professional Mental Health Help-Seeking Among Chinese Adults: A Systematic Review. Frontiers in psychiatry, 11, 442.
Terlizzi, E. P., & Schiller, J. S. (2022). Mental Health Treatment Among Adults Aged 18–44: United States, 2019–2021. https://www.cdc.gov/nchs/products/databriefs/db444.htm. Diakses 22 Juni 2025.
Triandis, H. C. (2018). Individualism and collectivism. Routledge.
Triandis, H. C., Bontempo, R., Villareal, M. J., Asai, M., & Lucca, N. (1988). Individualism and collectivism: Cross-cultural perspectives on self-ingroup relationships. Journal of personality and Social Psychology, 54(2), 323.
Vankar, Preeti. (2024). Mental health treatment or counseling among U.S. men 2002-2023.https://www.statista.com/statistics/673172/mental-health-treatment-counseling-past-year-us-men. Diakses 20 Juni 2025.
WifiTalents Team. (2025). Japan Mental Health Statistics. https://wifitalents.com/japan-mental-health-statistics/. Diakses 20 Juni 2025.
Yin, H., Wardenaar, K. J., Xu, G., Tian, H., & Schoevers, R. A. (2019). Help-seeking behaviors among Chinese people with mental disorders: a cross-sectional study. BMC psychiatry, 19, 1-12.