ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 44 Oktober 2025
Langkah Tenang di Jalur Sunyi:
Efek Pendakian Gunung Terhadap Kesejahteraan Psikologis
Oleh:
Zakki Ali Hakim
Prodi Psikologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Kesehatan mental menjadi salah satu masalah utama di Indonesia ataupun dunia. Menurut laporan dari WHO dan berbagai studi epidemiologis, menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun belakangan terjadi peningkatan signifikan pada kasus-kasus gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, terutama pada kalangan usia produktif. Tentunya hal ini memicu implikasi serius, tidak hanya pada kualitas hidup saja, tetapi juga pada produktivitas sosial dan ekonomi individu secara menyeluruh. Layanan sistem kesehatan mental yang terbatas dan pendekatan yang condong kepada medisentris menjadi tantangan dan hambatan bagi kebutuhan kesejahteraan mental masyarakat Indonesia.
Berbagai pendekatan alternatif muncul untuk menjadi respon atas permasalahan pendekatan yang menjadi tantangan dan hambatan, salah satu pendekatannya yang mendapat atensi dan antusias tinggi adalah keterhubungan manusia dengan alam. Aktivitas-aktivitas outdoor seperti mendaki gunung, bukan lagi hanya sebatas kegiatan rekreatif, tetapi menyimpan potensi terapeutik mendalam dalam kegiatannya. Studi menunjukkan bahwa keterlibatan individu dengan alam secara aktif dapat memberikan penurunan pada kadar hormon stres kortisol dan dapat meningkatkan suasana hati secara signifikan (Bratman dkk., 2015).
Alam dianggap menjadi salah satu sumber kesehatan mental, penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara manusia dengan alam memberikan beragam keuntungan psikologis, seperti mengurangi stress, meningkatkan mood, dan kesejahteraan mental. Seperti studi yang dilakukan oleh Bratman dkk. yang menunjukkan bahwa dengan berjalan kaki di alam bebas dan hijau, dapat mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Konteks alam dalam hal ini, lebih cocok pada pegunungan dengan keterbukaan alam dan banyaknya pepohonan serta tumbuhan hijau, memberikan nuansa kedamaian dan kesejukan yang jauh dari kebisingan (Bratman dkk., 2019)
Konsep ini sejalan dengan teori “Biophilia” yang dikembangkan oleh Wilson tahun 1984 (Wilson, 1984), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk merasa berhubungan dengan alam. Menurutnya, alam memberikan rasa nyaman yang sangat dalam karena secara evolusi yang terjadi pada diri kita adalah beradaptasi untuk dapat hidup di lingkungan yang alami. Oleh sebab itu, ketika manusia berada di pegunungan atau tempat alami lainnya secara tidak sadar mereka merasakan kedamaian yang memberikan keseimbangan psikologis mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Wosko & Lindberg juga memperkuat bahwa keterhubungan ekologis memiliki korelasi positif terhadap peningkatan makna hidup dan kepuasan batin, tentu penelitian ini memperkuat pendekatan terapi alternatif berbasis alam termasuk aktivitas di pegunungan (Wolsko & Lindberg, 2013). Hal ini dapat menjadi solusi psikologis yang relevan di Indonesia
Namun sayangnya, pendekatan seperti ini yang berbasis alam masih belum banyak dimanfaatkan, masih banyak masyarakat yang memilih untuk menggunakan pendekatan lain yang lebih praktis dan dengan risiko yang kecil, dan pendekatan ini belum tentu cocok bagi semua kalangan yang memiliki latar belakang beragam. Namun, potensi pemanfaatan yang sangat besar dapat terlihat, terutama dalam masyarakat yang berada dekat dengan pegunungan, hal ini dapat menjadi langkah awal untuk memberikan edukasi masyarakat dan pelatihan kesehatan mental untuk pengintegrasian yang lebih efektif.
Secara menyeluruh aktivitas di alam bebas dan pegunungan tidak hanya selalu melibatkan tantangan fisik, namun juga memberikan dampak signifikan bagi kesehatan mental, seperti pemulihan dan ketentraman bagi psikis dan batin, memperkuat dan menstabilkan emosional, serta menghubungkan manusia dengan aspek-aspek eksistensial dalam kehidupannya. Dalam kondisi dunia yang semakin renggang dengan alam dan penuh dengan kebisingan serta tekanan perkotaan, pendekatan ini hadir sebagai potensi besar dan solusi alternatif bagi kesejahteraan dan kesehatan mental masyarakat.
Referensi
Bratman, G. N., Anderson, C. B., Berman, M. G., Cochran, B., De Vries, S., Flanders, J., Folke, C., Frumkin, H., Gross, J. J., Hartig, T., Kahn, P. H., Kuo, M., Lawler, J. J., Levin, P. S., Lindahl, T., Meyer-Lindenberg, A., Mitchell, R., Ouyang, Z., Roe, J., … Daily, G. C. (2019). Nature and mental health: An ecosystem service perspective. Science Advances, 5(7), eaax0903. https://doi.org/10.1126/sciadv.aax0903
Bratman, G. N., Hamilton, J. P., Hahn, K. S., Daily, G. C., & Gross, J. J. (2015). Nature experience reduces rumination and subgenual prefrontal cortex activation. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(28), 8567–8572. https://doi.org/10.1073/pnas.1510459112
Wilson, E. O. (1984). Biophilia. Harvard University Press.
Wolsko, C., & Lindberg, K. (2013). Experiencing Connection With Nature: The Matrix of Psychological Well-Being, Mindfulness, and Outdoor Recreation.
