ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 44 Oktober 2025

Dari Identitas Sosial ke Solidaritas Kolektif:

Analisis Psikologi Sosial pada Demonstrasi Agustus 2025

 

Oleh:

Sekhina Debora Pridya Lumaya & Teguh Lesmana

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Protes ini terutama ditujukan kepada DPR/DPRD oleh para massa. Hal ini dipicu oleh fungsi lembaga legislatif yang seharusnya menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, tetapi dalam praktiknya sering dianggap lebih mementingkan kepentingan elit politik maupun golongan tertentu. Kekecewaan semakin memuncak ketika DPR/DPRD dinilai gagal menyuarakan aspirasi rakyat, justru menambah beban dengan kebijakan atau tunjangan yang tidak relevan dengan kondisi masyarakat. Sehingga demonstrasi massal yang berlangsung merupakan bentuk ketidakpuasan sosial warga Indonesia. Perasaan ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat merupakan fenomena psikologi sosial yang disebut dengan relative deprivation. Relative deprivation adalah perasaan seseorang yang timbul karena adanya kesenjangan antara kenyataan dengan harapan individu (Sedang Aberle, 1962)

Fenomena demonstrasi yang berlangsung sering kali dikaitkan hanya dalam ranah politik namun demonstrasi juga merupakan fenomena psikologi sosial. Melalui demonstrasi yang sedang hangat terjadi di bulan Agustus 2025, masyarakat di Indonesia berhasil  kompak bersatu memperjuangkan keadilan. Baik massa buruh maupun mahasiswa yang melakukan demonstrasi, masing-masing memiliki identitas sosial yang berbeda. Tetapi kali ini masyarakat Indonesia berhasil menunjukkan solidaritas kolektif di antara keberagaman latar belakang yang ada. Maka dari itu bagaimana identitas sosial memengaruhi terbentuknya solidaritas kolektif dalam aksi demonstrasi Agustus?

 

Apa yang terjadi dengan identitas sosial pada masing-masing massa yang mengikuti demonstrasi? Setiap identitas sosial mencerminkan posisi strategis dari berbagai elemen kelompok. Para Mahasiswa tampil sebagai agen perubahan (agents of change) dimana mereka berani mengekspresikan penolakan terhadap elit politik dan menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, pendidikan yang tidak komersil, serta reformasi politik dan HAM. Ratusan mahasiswa kemudian menyatukan identitas sosial mereka dengan membentuk Gerakan Bersama Masyarakat (Gemarak), sebagai representasi suara rakyat. Buruh pada demonstrasi menegaskan identitas sosial sebagai pejuang keadilan ekonomi Indonesia. Mereka memperjuangkan penghapusan outsourcing, penolakan upah murah, kenaikan upah minimum (8,5–10,5%), reformasi pajak, pembentukan satgas PHK, dan pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan baru tanpa Omnibus Law.

 

Tidak hanya Mahasiswa dan Buruh yang melakukan demonstrasi namun pengemudi ojek online juga ikut bergabung dalam momentum solidaritas setelah kejadian kematian Affan Kurniawan. Hal ini menyulut kemarahan nasional yang merupakan bentuk emotional contagion, hingga tidak hanya ojek online namun semua masyarakat ikut marah dan menegakkan keadilan bagi Affan Kurniawan. Emotional contagion merupakan peniruan dan menyinkronkan emosi orang lain bisa dalam bentuk ekspresi, vokalisasi, postur, dan gerakan dengan orang yang kita perhatikan sehingga menyatu secara emotional. Secara singkat emotional contagion berarti penularan emosi. Sehingga kemarahan dan kekecewaan masyarakat akan kematian Affan Kurniawan menyebar. Sikap kesatuan solidaritas yang timbul dari berbagai kelompok ini diperkuat oleh musuh bersama yaitu Lembaga legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak bertanggung jawab dan elit politik yang abadi. Energi kolektif ini akhirnya mempertegas karakter common enemy (DPR) sebagai perekat identitas sosial dalam aksi demonstrasi.

 

Demonstrasi tidak akan jauh dengan kata kerusuhan dan agresi karena pasti terdapat perilaku-perilaku menyimpang yang pada akhirnya merugikan pihak masyarakat atau pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya deindividuasi yang berarti anonimitas (kehilangan kesadaran diri, identitas individu, dan rasa tanggung jawab) dalam kerumunan yang memicu agresivitas. Perilaku-perilaku menyimpang yang didapat di antaranya perusakan fasilitas publik, pembakaran gedung negara, penjarahan simbol elite, hingga bentrok fisik dengan aparat yang menimbulkan korban jiwa. Dalam psikologi sosial, tindakan-tindakan tersebut termasuk bentuk agresi yang terbagi menjadi dua jenis yaitu hostile aggression dan instrumental aggression. Hostile aggression adalah agresi yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti/ melukai orang lain. Hostile aggression terdapat pada korban jiwa dan bentrok massa dengan aparat keamanan (lempar batu, molotov, pemukulan, dan perilaku lainnya yang serupa). Sedangkan instrumental aggression adalah agresi yang dilakukan bukan sekedar melukai tapi mencapai tujuan lain. Sehingga bisa di artikan agresi digunakan sebagai instrument untuk mencapai sasaran. instrumental aggression ini bisa kita dapati pada aksi pembakaran gedung DPRD, perusakan halte, atau penyerangan rumah pejabat. Meskipun tampak emosional namun tindakan tersebut diarahkan untuk memberikan tekanan politik dan kekerasan pada aksi tersebut dijadikan sebagai “alat” untuk mencapai tujuan.

 

Aksi demonstrasi besar yang terjadi di Indonesia pada Agustus 2025 bukan sekedar isu politik, tapi juga fenomena psikologi massa. Sebagai mahasiswa psikologi, kita memiliki peran penting untuk membantu menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana berbagai tindakan muncul dalam demonstrasi melalui kerangka teori psikologi. Pemahaman psikologi menjadi krusial dalam meredakan konflik sosial di Indonesia, termasuk dengan menelaah bagaimana framing effect dan media sosial berperan. Framing berita maupun viralnya video tertentu seperti joget anggota DPR atau tewasnya pengemudi ojek online dapat memperkuat emosi massa dan memengaruhi dinamika solidaritas kolektif dalam aksi tersebut. Karena itu, penting bagi kita sebagai warga negara Indonesia untuk bijak dalam menggunakan media sosial; apa yang kita terima dan kita bagikan harus sesuai dengan fakta, dipertimbangkan dampaknya terhadap kondisi sosial, serta menghindari penyebaran hoaks yang justru dapat memperkeruh keadaan. Tetaplah menjadi penerus bangsa yang bijak dan membangun menuju Indonesia yang lebih baik.

Referensi:

Bayat, A. (2015). Collective identity and protest tactics in Yogyakarta under the post-Suharto regime. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/283776451_Collective_Identity_and_Protest_Tactics_in_Yogyakarta_Under_The_Post-Suharto_Regime

Syafiq, M. (2018). Relative deprivation: Ketidakpuasan sosial dan implikasinya dalam tindakan kolektif. Jurnal Psikologi Sosial Indonesia, 16(1), 45–58. https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/6971/5432

Faisal, A. (2025, August 28). Momentum pengesahan UU perampasan aset. Detik.com. https://news.detik.com/kolom/d-8092632/momentum-pengesahan-uu-perampasan-aset

DetikJabar. (2025, August 27). Lini masa demo Agustus 2025: Dari joget DPR hingga rumah Sahroni dijarah. Detik.com. https://www.detik.com/jabar/berita/d-8088075/lini-masa-demo-agustus-2025-dari-joget-dpr-hingga-rumah-sahroni-dijarah

Khoiriyah, S. (2022). Agresi dalam perspektif psikologi sosial (Skripsi, IAIN Kediri). IAIN Kediri Institutional Repository. https://etheses.iainkediri.ac.id/7298/3/933407518_bab2.pdf

Palo Alto University. (2023). The evolution of deindividuation. Concept Blog. https://concept.paloaltou.edu/resources/business-of-practice-blog/the-evolution-of-deindividuation