ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 36 Juni 2025
Peran Komunitas dalam Menolong Individu yang Terdampak Konflik Bersenjata di Indonesia
Oleh:
Alvin Harkat Djati, Erinna Ivana, Hanna Zachra Rozheptiana, Marlina Bhekti Hatmanto, Monica Susana Piscessia, Veronica Artha Dwijayanti
Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan
Konflik bersenjata dapat menyebabkan trauma yang mendalam dan memengaruhi kesejahteraan mental individu (James dan Gilliland (2017) dan berdampak pada komunitas. Dalam konteks Indonesia, berbagai peristiwa konflik di beberapa wilayah telah menunjukkan bahwa intervensi yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan untuk meminimalkan dampak psikososialnya. Oleh karena itu, peran komunitas dalam menolong individu yang terdampak menjadi sangat penting guna menciptakan dukungan yang holistik dan berkelanjutan.
Konflik bersenjata dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan stres pascatrauma (PTSD), kecemasan, dan depresi. Trauma ini tidak hanya berdampak pada orang yang mengalaminya tetapi juga menyebar kedalam komunitas, hal ini akan menciptakan siklus ketidakstabilan yang sulit diputus. Ketika seseorang mengalami trauma akibat konflik bersenjata, efeknya dapat mempengaruhi hubungan sosial, pola asuh terhadap anaknya, dan bahkan tatanan struktur sosial masyarakat secara menyeluruh (Van der Kolk, 2015). Trauma yang tidak ditangani dapat diwariskan secara transgenerasional di mana anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang mengalami stres pascatrauma (PTSD) akan cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi serta kesulitan dalam mengembangkan keterampilan sosial (social skill) yang sehat (Roth & Neuner, 2014)
Selain itu, komunitas yang terdampak konflik bersenjata juga sering mengalami disintegrasi komunitas sosial yang sebelumnya berfungsi sebagai sistem pendukung. Kehilangan rasa aman dalam suatu komunitas dapat menyebabkan reaksi fisiologis yang berkelanjutan, seperti peningkatan kadar kortisol dan aktivasi sistem syaraf simpatik yang berlangsung terus-menerus, yang berkontribusi kepada masalah kesehatan mental dan fisik dalam jangka panjang (Van der Kolk, 2015). Ketika komunitas tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri, trauma dapat tertanam dalam budaya dan norma sosial, yang pada akhirnya akan mempersulit upaya rekonstruksi kehidupan pascakonflik.
Dalam konteks Indonesia, komunitas di daerah konflik seperti Aceh dan Poso sering kali mengembangkan mekanisme koping berbasis kolektif, seperti praktik keagamaan, ritual budaya, dan kelompok dukungan sebaya. Salah satu contohnya adalah mekanisme koping berbasis kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Poso melalui pembentukan Forum Siwagilemba, yang bertujuan untuk menyatukan komunitas dan menciptakan perdamaian sejati. Forum ini berakar pada filosofi lokal, di mana Siwagi berarti penopang, dan lembah melambangkan Poso sebagai tempat hidup bagi semua warganya (Cangara, 2013). Selain itu, masyarakat Poso juga menghidupkan kembali nilai kearifan lokal sintuwu maroso, yang menekankan gotong royong, solidaritas, dan kebersamaan tanpa memandang latar belakang agama. Nilai ini tidak hanya memperkuat kohesi sosial, tetapi juga berfungsi sebagai modal sosial yang mendukung ketertiban dan kesejahteraan komunitas pascakonflik (Cangara, 2013). Namun, perubahan sosial dan perkembangan zaman menyebabkan nilai ini semakin memudar, sehingga diperlukan upaya kolektif untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, di daerah lain seperti Halmahera Utara, rekonsiliasi pascakonflik juga dilakukan melalui pendekatan budaya dengan membentuk Forum Kerukunan dan Komunikasi Antar Umat Beragama. Forum ini berperan dalam menyelesaikan konflik dengan menggunakan sumpah sakral sebagai bentuk komitmen perdamaian. Selain itu, masyarakat setempat memanfaatkan nilai budaya hibualamo, yang berarti "rumah besar," sebagai simbol persatuan dan integrasi sosial warga dengan latar belakang agama yang berbeda. Dalam konteks konflik bernuansa agama, pendekatan berbasis budaya seperti hibualamo terbukti lebih efektif dalam mempersatukan masyarakat dibandingkan pendekatan berbasis dalil agama, yang terkadang justru memperdalam perbedaan (Cangara, 2013).
Mekanisme koping berbasis kolektif ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi trauma akibat konflik bersenjata, komunitas tidak hanya mengandalkan individu tetapi juga nilai sosial dan budaya sebagai alat untuk memulihkan diri serta membangun kembali kehidupan pascakonflik. Namun, selain mekanisme budaya dan sosial yang berkembang secara organik dalam komunitas, peran aktif komunitas dalam memberikan dukungan langsung kepada individu yang terdampak juga menjadi faktor penting dalam proses pemulihan.
Komunitas memiliki peran penting dalam membantu individu yang terdampak konflik melalui beberapa mekanisme, di antaranya dukungan emosional dan psikologis, penyediaan bantuan kemanusiaan, pemberdayaan ekonomi, serta pendidikan dan kesadaran. Menurut Wright (2011), dukungan sosial merupakan faktor penting dalam membantu individu yang mengalami trauma. Komunitas dapat menyediakan kelompok dukungan untuk membantu korban berbagi pengalaman dan mengelola emosi. Inisiatif seperti kelompok trauma healing berbasis komunitas dapat membantu individu merasa didengar dan dipahami, sangat penting dalam pemulihan trauma. Selain itu, lembaga seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan organisasi internasional seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memiliki peran dalam memberikan bantuan kemanusiaan, mencakup penyediaan makanan, tempat tinggal sementara, serta layanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh para korban konflik.
Namun, agar upaya berbasis komunitas ini dapat berjalan dengan efektif diperlukan dukungan kebijakan serta alokasi sumber daya yang memadai. Pemerintah dan organisasi terkait memiliki peran penting dalam memperkuat inisiatif pemulihan pasca konflik dengan membangun pusat rehabilitasi trauma yang mudah diakses oleh masyarakat yang terdampak. Selain itu, pelatihan bagi tenaga pendamping, seperti konselor komunitas dan pekerja sosial (social worker) menjadi langkah krusial untuk memastikan individu yang mengalami trauma dapat mendapatkan bantuan sesuai dengan kebutuhan. Dengan adanya sinergi antara komunitas, pemerintah dan organisasi kemanusiaan, upaya pemulihan dapat berjalan lebih optimal dan memberikan dampak jangka panjang bagi para penyintas konflik.
Referensi:
Cangara, S. (2013). Rekonsiliasi Masyarakat Pasca Konflik. SOCIUS: Jurnal Sosiologi, 13(2), 40-47
James, R. K., & Gilliland, B. E. (2017). Crisis intervention strategies (8th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.
Roth, M., Neuner, F., & Elbert, T. (2014). Transgenerational consequences of PTSD: risk factors for the mental health of children whose mothers have been exposed to the Rwandan genocide. International journal of mental health systems, 8(1), 12. https://doi.org/10.1186/1752-4458-8-12
Van der Kolk, B. (2015). The body keeps the score. New York, NY: Penguin Books.
Wright, H. N. (2011). The complete guide to crisis & trauma counseling: What to do and say when it matters most!. Bloomington, MN: Bethany House Publishers.
