ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 36 Juni 2025

Ketika Rumah Tak Lagi Aman: Bagaimana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Membekas pada Jiwa Anak?

Oleh:

Dea Astra Angga, Jessica Sek, Muhammad Alfi Liendarto Wicaksono,
Natasha Naftali Tisakri, Natalia Haes, Sylvia Kurniawan

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 Membangun keluarga yang harmonis dan penuh kasih merupakan harapan dari setiap pasangan. Keluarga yang hangat akan memberikan rasa aman bagi anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik. Namun, bagi sebagian orang, rumah justru menjadi tempat yang penuh ancaman akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT tidak hanya menyebabkan luka fisik, tetapi juga meninggalkan trauma emosional yang mendalam, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga tersebut (Maulia et al., 2023). Trauma ini memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental mereka dalam jangka panjang.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan bahwa pada tahun 2024, ditemukan terdapat 19.626 kasus kekerasan terhadap anak, di mana sebagian besar terjadi dalam rumah tangga (SIMFONI-PPA, 2024). Tingginya angka kekerasan terhadap anak di Indonesia mencerminkan urgensi untuk memberikan prevensi dan intervensi terhadap KDRT. Berdasarkan Pasal 1 No 1 Undang-Undang No. 23 pada tahun 2024, KDRT dijelaskan sebagai segala perbuatan yang mengakibatkan kesengsaraan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman dalam lingkup rumah tangga (Pemerintahan Indonesia, 2004).

Dampak buruk kekerasan rumah tangga terhadap wanita sering dibahas, namun masih belum banyak diskusi yang membahas mengenai dampaknya terhadap anak-anak yang menyaksikan kekerasan terhadap pengasuh mereka. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga disebut sebagai korban sekunder. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan tidak hanya mengalami trauma, tetapi juga berisiko mengembangkan pola perilaku destruktif. Mereka lebih rentan mengeksternalisasi perilaku negatif, seperti berkelahi, melakukan perundungan, berbohong atau menipu, serta menginternalisasi masalah psikologis, seperti kecemasan dan depresi. Selain itu, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga cenderung melihat kekerasan sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik dan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menggunakannya di masa depan (Ferrara et al., 2021).

Beberapa studi menemukan bahwa dampak dari menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga sangat luas (Nguyen & Larsen, 2011). Menyaksikan berbagai bentuk kekerasan emosional dan fisik dalam rumah tangga dapat mengakibatkan anak-anak terpapar dengan dampak emosional, perilaku, fisik, sosial, dan kognitif. Dalam jangka pendek, masalah-masalah yang dapat muncul mencakup gangguan depresi, masalah perilaku, flashback, insomnia, dan lainnya. Masalah kognitif seperti masalah akademis, dan menyelesaikan masalah melalui kekerasan. Dalam jangka panjang, pengalaman ini dapat berkontribusi kepada masalah-masalah perkembangan seperti gejala yang berkaitan dengan trauma dan rendah diri pada perempuan, dan gejala yang berkaitan dengan trauma pada lelaki. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga juga berdampak terhadap kesehatan mental seperti kecemasan, trauma, ketakutan, serta rasa kurang percaya diri (Nurfaizah, 2023).

Pencegahan kekerasan dan dampaknya terhadap anak memerlukan pendekatan yang holistis dan terintegrasi, melibatkan keluarga, sekolah, tenaga kesehatan, komunitas, dan pemerintah. Diperlukan mekanisme pelaporan yang lebih mudah diakses dan menjamin anonimitas pelapor, serta pelatihan bagi tenaga kesehatan, guru, dan pekerja sosial agar mampu mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan secara lebih efektif. Kampanye edukasi yang berkelanjutan juga harus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak kekerasan terhadap kesehatan mental anak. Selain itu, penegakan hukum yang lebih proaktif dan koordinasi antara lembaga perlindungan anak, aparat hukum, serta instansi pendidikan dan kesehatan perlu diperkuat agar intervensi dapat dilakukan lebih cepat dan efektif (Fitriani & Suherman, 2024).

Dokter dan dokter anak dapat dilatih untuk mengenali tanda-tanda KDRT dan dapat merujuk kepada bantuan yang diperlukan (Ferrara et al., 2021). Dokter anak dapat dilatih untuk memberikan edukasi psikologis tentang metode disiplin yang tidak melibatkan kekerasan, seperti "time-out" atau mencabut hak istimewa. Pasangan juga perlu diberikan pemahaman mengenai dampak buruk konflik dan kekerasan terhadap perkembangan anak. Skrining kekerasan dalam keluarga dapat dilakukan secara rutin, khususnya dengan perempuan, melalui pendekatan yang pribadi, menggunakan pertanyaan yang terbuka dan tidak menghakimi. Keluarga yang mengalami KDRT dapat mempertimbangkan untuk mengikuti konseling keluarga untuk mengurangi tindak kekerasan dan meningkatkan hubungan pernikahan (Babaheidarian et al., 2021).

Tindakan preventif lain yang dapat dilakukan adalah memeriksa keberadaan senjata di rumah. Keberadaan senjata meningkatkan risiko kejadian negatif, seperti kekerasan psikologis, pemaksaan seksual, atau kekerasan terhadap perempuan (Ferrara et al., 2021). Anak-anak perlu diajarkan untuk menjauh dari senjata jika menemukannya, tidak menyentuhnya, dan segera melapor kepada orang dewasa.

Kekerasan dalam bentuk apa pun tentu tidak dapat ditoleransi dan memiliki dampak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi sumber kecemasan dan ketakutan, maka perlu segera dilakukan tindak preventif dan pengamanan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung, serta mendapatkan perlindungan optimal dari segala bentuk kekerasan.

Referensi:

Babaheidarian, F., Masoumi, S. Z., Sangestani, G., & Roshanaei, G. (2021). The effect of family-based counseling on domestic violence in pregnant women referring to health centers in Sahneh City, Iran, 2018. Annals of General Psychiatry, 20(1). https://doi.org/10.1186/s12991-021-00332-8

Ferrara, P., Franceschini, G., Corsello, G., Mestrovic, J., Giardino, I., Vural, M., Pop, T. L., Namazova-Baranova, L., Somekh, E., Indrio, F., & Pettoello-Mantovani, M. (2021). Children witnessing domestic and family violence: A widespread occurrence during the coronavirus disease 2019 (covid-19) pandemic. The Journal of Pediatrics, 235. https://doi.org/10.1016/j.jpeds.2021.04.071

Fitriani, N., Suherman, A. (2024) Pengaruh Kekerasan Terhadap Kesehatan Psikologis Anak. (2024). Jurnal Kajian Hukum Dan Kebijakan Publik | E-ISSN : 3031-8882 , 2(1), 239-259. https://doi.org/10.62379/rn20nz94

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2024). Ringkasan Kekerasan. SIMFONI-PPA. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Maulia, S. T., Anderson, I., & Purnama, M. (2023). Analisis faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Bhineka Tunggal Ika: Kajian Teori dan Praktik Pendidikan PKN, 10(1), 77–86.

Nguyen, T., & Larsen, S. (2011). Domestic violence is child abuse: Prevalence of witnessing parental violence. Journal of Indian Association for Child and Adolescent Mental Health, 7(4), 107–122. https://doi.org/10.1177/0973134220110402

Nurfaizah, I. (2023). Dampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kesehatan mental anak. The 4th Conference on Islamic and Socio-Cultural Studies (CISS), 19, 95–103.

Pemerintah Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Lembaran RI Tahun 2004, No. 23. Jakarta.