ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 34 Mei 2025
Menumbuhkan Self-esteem pada Anak Usia Dini
Oleh:
Jocelin Vania & Penny Handayani
Pendidikan Profesi Fakultas Psikologi Univesitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Duh anakku sebenarnya bisa nari. Pas gladi resik bisa kok. Tapi kenapa pas lomba, dia malah nanggis-nanggis dan ga mau naek panggung? Kenapa sih dia ga pede banget kalo tampil? Padahal dia bisa kok pas latihan.
Berkenalan dengan Konsep Dasar Self-esteem Anak
Mungkin anda pernah berada pada posisi sebagai orangtua, atau bahkan anak pada adegan di atas. Dinamika psikologis apakah yang terjadi? Mari kita bahas lebih dalam.
Passer dan Smith (2001) berpendapat bahwa memandang harga diri dari penilaian positif dan negatif individu yaitu self-esteem (harga diri). Harga diri adalah suatu hasil penilaian evaluasi diri anak yang dari kemampuan diri sendiri. Jadi dapat disimpulkan harga diri adalah hasil evaluasi dari kemampuan diri sendiri, harga diri disebut juga sebagai gambaran diri. Harga diri adalah suatu komponen evaluasi yang melihat sejauh mana seorang anak menilai diri anak secara positif atau negatif dalam menjalin hubungan dengan orang lain, harga diri merupakan hasil evaluasi diri sendiri sebagai seorang individu manusia (Ross & Steward, 2011).
Menurut Rosenberg (dalam Nizilani, 2024), self-esteem adalah konsep dimensi yang mempersepsikan seseorang terhadap dirinya sendiri dan mulai terbentuk sejak anak berusia lima tahun. Anak yang memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya akan tumbuh menjadi anak yang optimis, berani menghadapi tantangan, menghargai diri sendiri dan dapat mengendalikan emosi. Apabila anak memiliki pandangan yang negatif terhadap dirinya, anak akan merasa lebih rendah dari orang lain, menjauhkan diri dari lingkungan, menghindari tantangan dan bahkan dapat merusak kesehatan mental (Ezdha & Sari, 2019). Santrock (2002) menyatakan anak akan memiliki self-esteem yang tinggi karena mereka mengetahui cara untuk mencapai tujuan hidup, anak memiliki perilaku yang diterima oleh masyarakat, dan dapat berkompetisi dalam beberapa kemampuan penting bagi diri anak.
Branden (2001) mengatakan self-esteem mempunyai dua komponen yaitu, perasaan kompetensi pribadi dan perasaan nilai pribadi yang termasuk antara kepercayaan diri (self-confidence) dan penghormatan diri (self-respect). Self-esteem yang sehat tidak didasarkan pada prestise, status dan keturunan. Koswara (1991) membagi kebutuhan akan harga diri menjadi dua bagian, yaitu penghormatan akan penghargaan dari diri sendiri dan penghargaan dari orang lain. Penghargaan dari diri sendiri meliputi hasrat untuk memperoleh kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, adekuasi, kemandirian, dan kebebasan. Sementara penghargaan dari orang lain adalah prestasi.
Harga diri anak terbentuk seiring dengan pengalaman dan perkembangan yang diperoleh anak dari interaksinya dengan lingkungan. Setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, akan mempengaruhi tingkat harga diri anak. Memiliki harga diri yang tinggi merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dicapai oleh anak (Hurlock, 1999). Penilaian yang positif dan tidak realistis terhadap diri muncul karena anak memiliki kesulitan untuk membedakan harapan dengan kompetensi aktual; anak belum mampu menggeneralisasi diri ideal yang berbeda dari diri nyata; anak jarang terlibat pada perbandingan sosial, yaitu bagaimana anak membandingkan diri dengan orang lain; dan ketidakmampuan untuk mengenali sifat-sifat yang berlawanan. Penilaian diri anak kecil juga merefleksikan ketidakmampuan untuk mengenali atau memahami bahwa mereka dapat memiliki sifat-sifat yang berlawanan, seperti baik dan buruk. Dalam hal ini pemberian bantuan kepada anak yang dilakukan secara berkesinambungan, anak dapat memahami dirinya sehingga mampu mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar (Yusuf & Nurihsan, 2005).
Salah satu faktor yang mempengaruhi self-esteem adalah peran orang tua berupa dukungan, kehangatan, harapan, modeling dan pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap harga diri seseorang. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuh konsep diri yang positif (Ezdha & Sari, 2019). Menurut Coppersmith (1967) hubungan orang tua anak dapat diwujudkan dalam bentuk penerimaan, demokratis dan latihan kebebasan. Setiap pola asuh berpengaruh pada perkembangan anak termasuk self-esteem anak.
Menurut Branden (2005), terdapat dua aspek yang dapat menghambat perkembangan self-esteem anak, yaitu perasaan takut dan perasaan bersalah. Perasaan takut muncul saat anak tidak mampu menghadapi kehidupan dengan penuh keberanian, sehingga anak hidup dalam ketakutan. Sementara untuk perasaan bersalah, mencakup perasaan bersalah karena melanggar nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam diri oleh orang yang menguasainya, yaitu seseorang yang dianggap berharga atau ditakuti, seperti kepada orang tua
Tinggi Rendah Self-esteem Anak
Menurut Dewi (2015), tinggi atau rendahnya self-esteem anak bergantung pada empat faktor berikut:
- Penerimaan dari Significant Other: Significant other adalah orang yang dianggap penting atau signifikan oleh anak. Orang tua adalah significant other utama yang mempengaruhi self-esteem anak melalui pengasuhan. Orang tua perlu memberikan cinta, penerimaan, rasa hormat, pola pengasuhan yang sesuai, pujian/kritik yang tepat, dan harapan yang realistis.
- Pengalaman Keberhasilan: Pengalaman keberhasilan yang bermakna bagi anak meningkatkan harga diri. Kriteria keberhasilan meliputi kemampuan mempengaruhi orang lain, memberi perhatian, mengikuti standar moral, dan meraih pencapaian sesuai usia.
- Nilai dan Aspirasi: Harga diri dipengaruhi oleh nilai yang anak berikan pada suatu bidang. Pencapaian di bidang yang dianggap penting berdampak besar pada harga diri.
- Cara Merespons Hambatan: Sikap anak saat menghadapi kesulitan dan kegagalan memengaruhi harga diri. Upaya mengatasi kegagalan penting untuk menghindari perasaan tidak berdaya yang terjadi kepada anak.
Meningkatkan Self-esteem Anak
Susan Harter (dalam Dewi, 2015), menyatakan bahwa harga diri anak-anak dapat ditingkatkan dengan prinsip-prinsip berikut:
- Mengidentifikasi penyebab rendahnya self-esteem dan bidang-bidang kompetensi yang penting bagi anak. Harga diri anak akan tinggi bila mereka memiliki kompetensi dalam bidang-bidang yang dianggapnya penting bagi dirinya.
- Dukungan emosional dan persetujuan sosial. Sumber dukungan emosional utama yaitu keluarga sangat mempengaruhi harga diri anak. Dukungan alternatif dalam bentuk konfirmasi dari orang lain, guru dan orang dewasa signifikan lainnya, juga dapat mempengaruhi harga diri anak.
- Peningkatan prestasi dengan mengajarkan keterampilan nyata pada anak-anak sering berhasil meningkatkan prestasi dan dengan demikian meningkatkan harga diri anak.
- Berikan anak kesempatan untuk menghadapi masalah, maka anak-anak akan bersikap dan bertindak realistis, jujur, dan tidak defensif. Hal ini akan menghasilkan pemikiran evaluasi diri yang lebih menguntungkan, yang menghasilkan self-generated approval, yang akan menaikkan harga dirinya.
Tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan self-esteem yang harus dimiliki oleh individu pada masa perkembangan anak-anak usia early childhood (usia 0-6 tahun) sebagaimana dikemukakan oleh Coopersmith, yang didasarkan kepada empat konsep inti harga diri yaitu, saya sebagai pribadi (I am a person), saya sebagai pemimpi (I am a dreamer), saya sebagai pemenang (I am a champion), dan saya sebagai teman (I am a friend). Oleh karena itu, oleh Dewi (2015), tugas-tugas perkembangan tersebut diuraikan sebagai berikut.
Pribadi: saya sebagai pribadi (I am a person): Mengenal dimensi-dimensi fisik dari diri yang mampu diamati secara objektif. Perbedaan diri dengan orang lain. Dimulai dari opini tentang diri. Mengenal apakah diri penting atau berharga bagi orang tua.
Pemimpi: saya sebagai pemimpi (I am a dreamer): Bekerja untuk meraih tujuan sederhana (membangun menara dengan balok-balok, membuat gambar atau lukisan). Mengembangkan imajinasi atau kemampuan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan. Mengembangkan sikap positif atau negatif terhadap sesuatu yang umum dan masa depan yang tidak spesifik misalnya mengatakan pada ibunya, “kalau nanti aku besar aku ingin jadi yang terbaik dimata allah dan bunda...”.
Pemenang: saya sebagai pemenang (I am a champion): Merasa bangga membuat sesuatu daripada produk yang sudah jadi (menyukai menggambar, membangun daripada hasil akhirnya). Mengungkap kemampuan yang dimiliki oleh tubuh. Menekuni tugas yang cukup sulit secara moderat. Bertahan melawan serangan fisik dari teman sebaya; melindungi apa yang dimiliki, seperti mainan. Terkadang melawan tuntutan orang tua.
Teman: saya sebagai teman (I am a friend): Mempelajari keterampilan interaksi sosial dengan teman sebaya. Memberikan dan menerima afeksi fisik dari orang tua. Mulai membentuk hati nurani. Memberikan respon dengan sikap yang positif terhadap kesedihan orang lain. Menunjukkan kelembutan terhadap hewan peliharaan, memperlihatkan tanggung jawab dan pemeliharaannya. Ini terlihat ketika masa peka terhadap perkembangan yang lebih lanjut istilahnya sudah mengenal teman sebaya.
Pengembangan self-esteem berasal dari keyakinan inti diri sendiri sebagai pribadi. Self-esteem bukan bawaan dari genetik orang tua. Oleh karena itu, pentingnya peran orang tua untuk memahami keunikan, kebutuhan, bakat, dan sifat anak yang berbeda-beda. Sehingga, orang tua dan guru memiliki tanggung jawab besar untuk dapat memenuhi kebutuhan self-esteem anak, melalui pemberian kasih sayang yang tulus sesuai apa yang dibutuhkan oleh anak sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat, yang didalamnya terkandung perasaan self-esteem yang stabil dan mantap.
Daftar Pustaka:
Branden, N. (2001). The psychology of self-esteem. Bantam.
Dewi, N. (2015). Pengembangan Harga Diri Anak Usia Dini. Jurnal Studi Islam, 2(2), 151-163.
Ezdha, A., & Widya A. (2019). Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Self Esteem Anak Usia Prasekolah Di TK Negeri Pembina Lll Pekanbaru. Jurnal Ilmu Keperawatan, 8, 42–51.
Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga.
Koswara, E. (1991). Teori-teori kepribadian. Eresco.
Maria, I., & Ria N. (2017). Pengaruh Pola Asuh dan Bullying Terhadap Harga Diri (Self Esteem) Pada Anak Kelompok B TK di Kota Pekanbaru. Educhild, 6(1).
Niziliani, S. (2024). Peran Self-Esteem Terhadap Perilaku Cyberbullying Pada Dewasa Awal: Moral Disengagement Sebagai Moderator. Liberosis: Jurnal Psikologi dan Bimbingan Konseling, 1-10.
Passer, M. W., & Smith, R. E. (2001). Psychology: Frontiers and applications. McGraw-Hill Companies.
Ross, D., & Steward, C. (2011). Social development. Jhon Wiley and Sons.
Ross, S.M. (2017). Obesity and metabolic syndrome: A complementary and integrative health approach. Holistic Nursing Practice, 5, 348–352.
Santrock, J. (2002). Life-span development. McGraw-Hill Companies.
Yusuf, S., & Nurihsan, J. (2005). Landasan bimbingan dan konseling. RosdaKarya.
