ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 31 April 2025

Compassion sebagai Strategi dalam Mengatasi Kondisi Self-Esteem pada Masa Emerging Adulthood

Oleh:

Maryam Kaaria Wafa*

 SMAIT Asy-Syukriyyah

*Pemenang PsychoPaper Psychology Village 16 Tingkat SMA/K yang diadakan oleh Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan 

Memasuki usia 18 tahun, individu dihadapi dengan fase transisi dari masa remaja menuju dewasa. Tahap ini dinamakan emerging adulthood. Arnett menjelaskan bahwa emerging adulthood ada di rentang usia 18-29 tahun sebagai masa peralihan, pada kondisi ini individu sudah melewatkan masa remaja namun belum dapat dikatakan masuk ke dalam kategori usia dewasa (Nugraha, 2023). Menurut Petrescu et al. (Lekatompessy et al., 2023), pada fase ini individu mulai mengeksplorasi perannya di kehidupan, menelaah jati diri masing-masing.  Memasuki masa emerging adulthood artinya tiap-tiap individu harus melewati sebuah jembatan antara kehidupan remaja menuju kedewasaan, sehingga dengan ditinggalkannya masa remaja maka mental individu sudah harus siap menerima tanggung jawab yang lebih besar di masa dewasa mendatang.

Individu di masa emerging adulthood umumnya mulai memasuki fase krisis khususnya ketika harus beradaptasi dengan tantangan sosial (Arini, 2021). Pada fase ini, banyak dari orang-orang di usia tersebut kesulitan dalam menentukan tujuan hidupnya termasuk juga dalam pembentukan identitas. Pada masa ini, individu banyak menerima pertanyaan terkait rancangan masa depannya seperti ingin menjadi seperti apa atau mengapa memilih jalan itu untuk ditempuh. Memasuki usia menuju dewasa, individu di usia ini seakan memiliki beban yang mendorongnya untuk mengikuti standar sosial sebab dilatarbelakangi oleh ketidaksiapan menerima kritik dari lingkungan sekitar. Individu mulai mematok standar dengan mempertanyakan kepada diri sendiri capaian apa yang sudah mereka dapat jika mereka mengikuti kemauannya sendiri. Individu yang tidak siap menghadapi tantangan pada fase ini akan mulai mengalami krisis emosional, seperti ragu terhadap diri sendiri (Masluchah et al., 2022). Kondisi krisis emosional tersebut selanjutnya akan memberi impak kepada kondisi self-esteem yang lemah.

Istilah self-esteem mengacu kepada bagaimana seseorang membentuk keyakinan tentang kemampuan serta tentang cara mereka dalam menerka pendapat lingkungan terkait nilai mereka (Rouault et al., 2022). Tinggi rendahnya self-esteem seseorang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidupnya. Ketika individu bertemu dengan kondisi krisis emosional, kepercayaan diri akan dengan mudah memudar karena munculnya rasa tidak pernah puas sebab mereka sibuk mengejar standar yang tinggi. Jika upaya yang dilakukan tidak sepadan dengan validasi yang ia dapat dari lingkungannya, harga diri yang terluka akan membawa pandangan negatif kepada diri sendiri, kondisi ini disebut low self-esteem. Low self-esteem berkaitan erat dengan keputusasaan, ketidakpercayaan diri, kecemasan, dan munculnya kebiasaan baru menyalahkan diri sendiri. Low self-esteem membutuhkan perhatian lebih dari individu dan lingkungan sosialnya, karena rendahnya self-esteem akan membawa kerentanan terhadap psikisnya (Tanoko, 2021).

Salah satu aspek yang dapat mempengaruhi dan memperburuk situasi low self-esteem pada emerging adults adalah kesepian, baik secara sosial maupun secara emosional. Masa emerging adulthood penuh dengan eksplorasi melewati banyak dinamika, individu dengan rentang usia ini membutuhkan relasi yang luas agar dapat bertahan di kehidupan beranjak dewasa. Namun relasi yang terbentuk pada masa ini umumnya lebih banyak terbentuk untuk kebutuhan mutualisme, sedikit yang dapat memenuhi kebutuhan emosional individu. Faktor umumnya adalah orang-orang di masa ini lebih menaruh fokus terhadap tujuan realistis yang terlihat secara materi, sementara kondisi yang tidak terlihat secara materi seperti kesehatan mental lebih banyak dikesampingkan. Masih banyak yang acuh pada kondisi pokok ini sehingga menimbulkan rasa kesepian yang dibuktikan oleh penelitian Williams & Braun pada 2019 (dalam Permana & Astuti, 2021) bahwa usia remaja serta dewasa muda memiliki persentase kesepian terbesar dibandingkan dengan fase usia lainnya. Kesepian pada masalah ini melibatkan spekulasi bahwa orang sekitar sulit memahaminya sehingga membuat individu merasa tidak bernilai (Permana & Astuti, 2021).

Dalam mengatasi masalah low self-esteem dibutuhkan seseorang yang bisa merepresentasikan compassion dengan baik, yaitu membuka pemikiran yang luas untuk memahami masalah lawan bicaranya sehingga menumbuhkan rasa empati dan simpati yang tinggi (Desiningrum et al., 2020). Secara Bahasa, compassion dapat diartikan sebagai kasih sayang maka dari itu orang yang memiliki compassion dinilai mampu memenuhi kebutuhan afektif. Compassion membantu kita untuk menanamkan kepekaan pada masalah yang terjadi pada orang-orang di sekitar kita sehingga akan muncul perasaan mengasihi dan keinginan untuk membantu. Berkaca dari masalah utama low self-esteem yang muncul salah satunya karena krisis emosional, compassion dapat menjadi mediator yang sempurna. Individu pada masa emerging adulthood membutuhkan belas kasih, aksi dan kata-kata yang mampu menjelaskan bahwa eksistensinya sangat bernilai di kehidupan. Compassion dapat memenuhi kebutuhan validasi individu pada masa emerging adulthood, meningkatkan rasa kepedulian, keinginan untuk mengurangi beban lawan bicara tanpa melewati batas. Sementara compassion kepada diri sendiri artinya kita berbelas kasih kepada diri sendiri, meliputi kebutuhan untuk mengapresiasi diri sendiri dan menanamkan self love. Self-compassion berperan dalam koping dengan fokus emosional seperti mengurangi menyalahkan diri dan mulai menanamkan pemahaman tentang pentingnya penerimaan diri (Amanda et al., 2021). Kebutuhan compassion akan terpenuhi jika individu memulainya dari self-compassion. Kasih sayang untuk orang lain dan diri sendiri harus seimbang untuk menciptakan self-esteem yang baik. Semakin tinggi tingkat self-compassion, maka akan semakin kuat juga self-esteem yang dimiliki individu.

Masa emerging adulthood merupakan waktu yang tepat untuk pembentukan identitas diri, di masa inilah individu merancang sendiri jalan apa yang ingin ditempuhnya. Ketika individu memasuki tahap ini, ia akan memaksa kondisi emosional remaja yang dibawanya untuk beradaptasi dengan kehidupan awal dewasa, tentu emosi remaja tidak akan selaras dengan beban dewasa. Masa yang membutuhkan kemandirian ini akan berjalan beriringan dengan kondisi self-esteem masing-masing individu. Self-esteem yang kuat pada masa emerging adulthood akan membantu membangun karakter yang kuat dan matang ketika memasuki usia dewasa. Kepercayaan diri yang kuat berasal dari compassion yang terpenuhi dengan baik. Compassion menjadi solusi dalam mengatasi krisis emosional remaja yang baru memasuki masa peralihan, membantu mengatasi keputusasaan yang dapat terjadi di tengah adaptasi. Belas kasih menjadi kebutuhan primer dalam mempertahankan kesejahteraan mental, namun pada kenyataannya masih banyak emerging adults  yang kekurangan hal tersebut sehingga self-esteem mereka akan melemah (low self-esteem). Oleh karena itu, masyarakat perlu tanamkan compassion dalam kehidupan sehari-hari sehingga prevalensi kesehatan mental khususnya di Indonesia ini akan menunjukkan grafik yang positif. Kesejahteraan mental akan menciptakan lingkungan yang sehat dan mendukung berkembangnya kualitas generasi bangsa.

Daftar Pustaka:

Aditya, D. N. (2023). Kesejahteraan Subjektif pada Emerging Adulthood Ditinjau  dari Self Compassion dan Religiusitas pada Remaja Akhir. Psyche 165 Journal, 16(3), 189-194. https://doi.org/10.35134/jpsy165.v16i3.269

Diana, P. A. (2021). Emerging Adulthood: Pengembangan Teori Erikson Mengenai Teori Psikososial Pada Abad 21. Jurnal Ilmiah PSYCHE, 15(1), 11-20. https://doi.org/10.33557/jpsyche.v15i01.1377

Dinie, R. D., Fendy, S., & Dewi, R. S. (2020). Compassion pada Pengasuhan Anak dengan Autism Spectrum Disorder. Buletin Psikologi, 28(1), 45-58. 10.22146/buletinpsikologi.45926

Jennifer, A., Roswiyani, R., & Heryanti, S. (2021). The Relationship of Self-Compassion and Stress Among Emerging Adults Experiencing Early Adult Crisis. Advances in Health Sciences Research, 41, 170-177. 10.2991/ahsr.k.211130.029

Luluk, M., Wardatul, M., & Uti, L. (2022). Konsep Diri Dalam Menghadapi Quarter Life Crisis. IDEA: Jurnal Psikologi, 6(1), 13-28. https://doi.org/10.32492/idea.v6il.6102

Marion, R., Geert-Jan, W., Stephen, M. F., & Raymond, J. D. (2022). Low self-esteem and the formation of global self-performance estimates in emerging adulthood. Translational Psychoatry, 1-10. https://doi.org/10.1038/s41398-022-02031-8

Muhammad, Z. P., & Meilina, F. A. (2021). Gambaran Kesepian pada Emerging Adulthood. Proyeksi, 16(2), 133-142. https://dx.doi.org/10.30659/jp.16.2.133-142

Sheila, M. T. (2021). BENARKAH ADA HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DENGAN DEPRESI? SEBUAH STUDI META ANALISIS. Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 23(1), 35-45. http://dx.doi.org/10.26486/psikologi.v23i1.1346

Shella, K. L., Cempaka, P. D., & Christina, R. W. (2023). Resiliensi pada Emerging Adulthood Ditinjau dari Dukungan Sosial. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(4), 477-481. https://dx.doi.org/10.30872/psikoborneo.v11i4.12335