ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 31 April 2025
Memeluk Diri dan Merayakan Hidup: Unconditional Positive Regard Sebagai Pelita Dalam Menavigasi Krisis Identitas
Oleh:
Kieyra Tiroi Serefina Siregar*
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
*Pemenang PsychoPaper Psychology Village 16 Tingkat Mahasiswa yang diadakan oleh Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Proses pencarian makna hidup yang seakan tersembunyi, pembentukan identitas diri yang belum terdefinisi, serta upaya untuk seutuhnya menerima diri seringkali terasa seperti perjalanan yang penuh ambiguitas. Sementara itu, manusia secara alamiah cenderung mencari rasa aman dalam kehidupan mereka (Wanless, 2016), tetapi ketidakpastian yang menyertai perjalanan ini justru sering kali bertentangan dengan kebutuhan tersebut (Song et al., 2023). Perasaan ini kerap dialami oleh individu berusia 18 hingga 29 tahun yang sedang melewati tahapan emerging adulthood (dewasa awal), yaitu masa transisi dari remaja menuju dewasa (Arini, 2021). Di tengah-tengah perjalanan penuh ambiguitas ini, muncul permasalahan yang sering dialami oleh individu, yaitu ketidakstabilan identitas (Schulenberg et al., 2004; Becht et al., 2021). Selain itu, mereka juga dihadapkan pada berbagai tekanan sosial, seperti ekspektasi untuk mencapai kemandirian finansial, membangun karier, serta menjalin hubungan yang stabil (Becht et al., 2021). Alhasil, banyak individu yang merasa terus-menerus kurang dalam memenuhi ekspektasi masyarakat dan mengalami tekanan untuk segera menemukan arah hidup yang jelas. Tekanan ini akhirnya bermuara pada pergulatan batin yang sering kali dialami oleh individu dewasa awal, seperti tingkat stres yang tinggi (Tang et al., 2018), gangguan kecemasan (Arnett et al., 2014; Matud et al., 2020), dan tingkat kepuasan diri yang rendah (Cunong & Sandjaja, 2023).
Kondisi-kondisi ini sejalan dengan teori psikososial Erik Erikson, yang menyatakan bahwa individu pada tahap perkembangan dewasa awal berada dalam krisis identitas, yaitu konflik antara identity versus role confusion (Papalia & Martorell, 2020). Pada tahap ini, individu mengalami pergulatan untuk meneguhkan identitasnya dalam masyarakat. Teori ini juga didukung oleh penelitian yang menyoroti karakteristik emerging adulthood sebagai periode eksplorasi identitas, eksperimen dalam hidup, serta ketidakstabilan akibat transisi yang sedang dialami (Spišáková & Ráczová, 2020). Berdasarkan kedua pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu yang berada di tahap perkembangan emerging adulthood sedang berada di periode krisis yang menuntut mereka untuk melakukan eksplorasi diri.
Namun, di tengah-tengah periode krisis ini, individu dapat menciptakan pelitanya sendiri untuk menerangi jalan kehidupannya. Guna mengatasi hal tersebut, konsep unconditional positive regard atau cinta tak bersyarat dapat menjadi salah satu solusi. Konsep tersebut merupakan konsep psikologi humanistik milik Carl Rogers yang dapat membantu individu memandang hidupnya dengan kacamata yang lebih positif. Bagaimana bisa konsep ini menjadi pelita di dalam krisis identitas seseorang? Unconditional positive regard sebagai konsep, sangat menekankan pada kasih sayang dan penerimaan diri manusia seutuhnya—bahwa semua manusia layak dicinta dan diterima, tidak peduli baik buruknya (Ginter et al., 2018). Seringkali, individu belum bisa untuk menerima “ketidaksempurnaan” diri karena hal tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi sosial (Abharini et al., 2023). Dengan adanya unconditional positive regard, individu diajak untuk mengasihi diri dengan bersahabat—bukan mengubur—“ketidaksempurnaan” diri. Bentuk kasih sayang ini diimplementasikan guna mencapai kongruensi—yang kemudian berkontribusi dalam proses pembentukan identitas—sebagai tanda individu yang sehat secara psikologis menurut Rogers. Dengan individu yang mengimplementasikan prinsip unconditional positive regard, mereka akan lebih mungkin untuk mencapai kongruensi diri dan memiliki kesejahteraan mental yang lebih baik, serta melihat berbagai hal dengan sudut pandang yang lebih positif (Farber et al., 2018). Selain itu, mereka juga akan memiliki persepsi bahwa ketidakstabilan identitas ini bukan hal yang serta-merta buruk, tetapi menjadi suatu proses hidup esensial yang harus dilewati (Sitorus & Rahmatulloh, 2024).
Pelita unconditional positive regard dapat dinyalakan dengan upaya konkret yang dimulai dari masing-masing individu dalam mengasihi dan menerima diri seutuh-utuhnya. Upaya pertama yang bisa dilakukan individu adalah dengan memberikan positive self-talk (memberikan afirmasi positif kepada diri sendiri). Kata-kata seperti, “Saya layak dihargai terlepas dari kekurangan saya” dan “Segala proses hidup saya layak untuk dirayakan” adalah beberapa contoh afirmasi positif yang dapat diucapkan individu kepada dirinya setiap hari, tiap kali mencapai suatu pencapaian, atau bahkan ketika baru saja menghadapi kegagalan. Upaya ini menekankan bahwa individu sebagai entitas adalah berharga dan layak untuk dirayakan di segala fase hidupnya (Kross et al., 2014). Upaya kedua yang bisa dilakukan individu adalah dengan membuat gratitude journal, yaitu buku catatan yang berisi hal-hal dalam hidup yang disyukuri dan catatan pelajaran dari setiap pengalaman sulit/kegagalan yang dihadapi. Dengan mencantumkan hal-hal ini dalam suatu catatan pribadi, individu dapat tetap memiliki pandangan hidup yang optimis (Jans-Beken et al., 2019). Jika upaya-upaya ini terlaksana dengan baik, individu dapat memiliki kesejahteraan mental dan kepuasan diri yang lebih baik (Dinardinata et al., 2023), serta dapat menerima diri secara holistik (Sitorus & Rahmatulloh, 2024).
Lebih lanjut, individu yang sudah menerima dirinya akan lebih mudah untuk bisa menjalin hubungan baik dengan orang lain. Hal ini dikarenakan penerimaan diri yang positif memungkinkan individu untuk membangun rasa percaya diri, empati, dan keterbukaan dengan orang lain (Klussman et al., 2022). Alhasil, tidak hanya menerima cinta dari diri sendiri, individu juga nantinya akan menerima unconditional positive regard dari orang-orang di sekelilingnya (Kahana et al., 2021). Selain menerima, individu juga bisa meneruskan cinta yang sudah mereka miliki terhadap dirinya kepada orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan individu yang sudah bisa menerima “ketidaksempurnaan” diri akan lebih bisa untuk berempati dan menerima “ketidaksempurnaan” orang di sekitarnya (Zhang et al., 2019). Dengan demikian, akan tercipta siklus timbal balik unconditional positive regard dan komunitas yang aman bagi individu dewasa awal untuk menjadi dirinya sendiri (Inagaki & Orehek, 2017). Namun, bukan tidak mungkin bagi individu yang belum bisa sepenuhnya mencintai diri untuk menerima cinta dari sekelilingnya. Faktanya, dukungan sosial tak bersyarat dari sekitar juga bisa berperan sebagai faktor pendukung bagi seorang individu untuk dapat perlahan menerima dirinya dan mencapai kesejahteraan mental yang lebih baik (Liu et al., 2021).
Dalam melewati tahapan perkembangan emerging adulthood yang terasa membingungkan, terkadang kaki sulit melangkah karena tidak tahu apa yang menunggu di depan sana. Ekspektasi sosial juga senantiasa menekan, membatasi individu untuk bereksplorasi dan menghambat penerimaan diri. Namun dengan implementasi unconditional positive regard yang dimulai dari diri sendiri dan menyeruak ke sekitar, timbul secercah cahaya yang dapat menjadi pelita untuk menavigasi diri dalam gelapnya krisis identitas. Setiap insan layak untuk diterima dan diselebrasikan perjalanan hidupnya. Peluk diri dan rayakan hidup. Masa depan sungguh ada dan tali-tali kehidupan akan terurai pada waktunya.
Referensi:
Abharini, A., Rusmana, N., & Budiman, N. (2023). The development of self-acceptance in adolescents: Descriptive study of grade XI high school students in Subang. G-COUNS: Jurnal Bimbingan dan Konseling, 8(1), 506–518. https://doi.org/10.31316/gcouns.v8i01.5512
Arini, D. (2021). Emerging Adulthood : Pengembangan Teori Erikson Mengenai Teori Psikososial Pada Abad 21. Jurnal Ilmiah Psyche. https://doi.org/10.33557/JPSYCHE.V15I01.1377.
Becht, A. I., Nelemans, S. A., Branje, S. J. T., Vollebergh, W. A. M., & Meeus, W. H. J. (2021). Daily identity dynamics in adolescence shaping identity in emerging adulthood: An 11-year longitudinal study on continuity in development. Journal of Youth and Adolescence, 50(8), 1616–1633. https://doi.org/10.1007/s10964-020-01370-3
Cunong, K. H. A., & Sandjaja, M. (2023). Life satisfaction of emerging adulthood in Indonesia: In the shadow of affluenza. Psikostudia: Jurnal Psikologi, 12(2), http://dx.doi.org/10.30872/psikostudia.v12i2.10319
Dinardinata, A., Fatmasari, A. E., & Indrawati, E. S. (2023). Psychological well-being of emerging adults in relation to their parents during the COVID-19 pandemic. Jurnal Psikologi, 22(2), 88–101.
Farber, B. A., Suzuki, J. Y., & Lynch, D. A. (2018). Positive regard and psychotherapy outcome: A meta-analytic review. Psychotherapy, 55(4), 411–423. https://doi.org/10.1037/pst0000171
Ginter, E. J., Roysircar, G., & Gerstein, L. H. (2018). Theories and applications of counseling and psychotherapy: Relevance across cultures and settings. SAGE Publications. https://doi.org/10.4135/9781506353838
Inagaki, T.K., & Orehek, E. (2017). On the Benefits of Giving Social Support. Current Directions in Psychological Science, 26, 109 - 113.
Jans-Beken, L., Jacobs, N., Janssens, M., Peeters, S., Reijnders, J., Lechner, L., & Lataster, J. (2019). Gratitude and health: An updated review. The Journal of Positive Psychology, 14(5), 675–688. https://doi.org/10.1080/17439760.2019.1651888
Kahana, E., Bhatta, T. R., Kahana, B., & Lekhak, N. (2021). Loving Others: The Impact of Compassionate Love on Later-Life Psychological Well-being. The journals of gerontology. Series B, Psychological sciences and social sciences, 76(2), 391–402. https://doi.org/10.1093/geronb/gbaa188
Klussman, K., Curtin, N., Langer, J., & Nichols, A. L. (2022). The Importance of Awareness, Acceptance, and Alignment With the Self: A Framework for Understanding Self-Connection. Europe's journal of psychology, 18(1), 120–131. https://doi.org/10.5964/ejop.3707
Kross, E., Bruehlman-Senecal, E., Park, J., Burson, A., Dougherty, A., Shablack, H., Bremner, R., Moser, J., & Ayduk, O. (2014). Self-talk as a regulatory mechanism: How you do it matters. Journal of Personality and Social Psychology, 106(2), 304–324. https://doi.org/10.1037/a0035173
Liu, Q., Jiang, M., Li, S., & Yang, Y. (2021). Social support, resilience, and self-esteem protect against common mental health problems in early adolescence: A nonrecursive analysis from a two-year longitudinal study. Medicine, 100(4), e24334. https://doi.org/10.1097/MD.0000000000024334
Matud, M. P., Díaz, A., Bethencourt, J. M., & Ibáñez, I. (2020). Stress and Psychological Distress in Emerging Adulthood: A Gender Analysis. Journal of clinical medicine, 9(9), 2859. https://doi.org/10.3390/jcm9092859
Papalia, D. E., & Martorell, G. (2020). Experience Human Development (14th ed.). McGraw-Hill Education.
Sitorus, Y. R. P., & Rahmatulloh, A. R. (2024). The journey to adulthood: A study of the relationship between self-acceptance and quarter-life crisis in emerging adulthood. International Conference on Psychology UMBY, 460-465.
Song, J., Kang, S., & Ryff, C.D. (2023). Unpacking Psychological Vulnerabilities in Deaths of Despair. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20.
Spišáková, D., & Ráczová, B. (2020). Emerging adulthood features: An overview of the research in approaches and perspectives in goals area. Človek a Spoločnosť, 23. https://doi.org/10.31577/cas.2020.01.565.
Tang, F., Byrne, M., & Qin, P. (2018). Psychological distress and risk for suicidal behavior among university students in contemporary China. Journal of affective disorders, 228, 101-108.
Wanless, S. B. (2016). The Role of Psychological Safety in Human Development. Research in Human Development, 13(1), 6–14. https://doi.org/10.1080/15427609.2016.1141283
Zhang, J., Chen, S., & Shakur, T. (2019). From Me to You: Self-Compassion Predicts Acceptance of Own and Others’ Imperfections. Personality and Social Psychology Bulletin, 46, 228 - 242. https://doi.org/10.1177/0146167219853846.
