ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 31 April 2025
Belas Kasih yang Memberontak:
Ketidakselarasan Idealisme dan Realitas di Masa Emerging Adulthood
Oleh:
Aqeela Salwa Ridwan*
SMA Negeri 1 Pontianak
*Pemenang PsychoPaper Psychology Village 16 Tingkat SMA/K yang diadakan oleh Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Seseorang berdiri di depan tank militer. Tidak bersenjata, tidak berteriak, hanya kehadirannya yang menolak tunduk. Dunia tidak mengingat dia karena kekerasannya, melainkan keberanian untuk memberontak. Pemberontakkan tersebutlah yang lahir dari cinta dan kepedulian (CNN, 2019). Pemberontakan adalah tindakan kekerasan, setidaknya itulah yang sebagian masyarakat pikirkan. Diwarnai oleh amarah, darah, raungan, ataupun suara megafon yang menggelegar. Namun, apakah alasan di balik pemberontakan itu semua? Mungkinkah bila seseorang melawan sistem yang menindas dengan cinta dan kepedulian yang membara?
Compassion, atau dikenal dengan rasa belas kasih adalah respon manusia dalam mengatasi penderitaan dan kebutuhan seseorang melalui pemahaman dan tindakan empati (Malenfant, et al. 2022). Setidaknya, terdapat lima komponen dalam compassion, yaitu: menyadari penderitaan seseorang; memvalidasi penderitaan; keterlibatan emosional terhadap penderitaan (simpati, empati, dan kepedulian); memahami tekanan dan kesulitan dalam penderitaan; hingga memiliki motivasi untuk bertindak meringankan penderitaan (Gilbert & Gordon, 2023). Kelima komponen tersebut telah mencakup arti-arti penting dalam pendefinisian makna compassion. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa compassion adalah dorongan untuk memahami dan merespons penderitaan dengan empati dan tindakan nyata. Kelembutan menjadi kata yang terbesit dalam pikiran ketika memikirkan tentang compassion (belas kasih). Namun, pada kenyataannya belas kasih tidak selalu hadir dalam bentuk kelembutan. Compassion mampu menjadi alasan untuk perlawanan, bukan sekedar rasa iba tetapi dorongan untuk bertindak melawan ketidakadilan. Seiring dengan perkembangan individu, compassion terbentuk melalui pengalaman dan perubahan yang dialami seseorang. Masa emerging adulthood menjadi titik krusial dalam perkembangan compassion sebagai dorongan perlawanan. Emerging adulthood adalah fase kehidupan yang dialami oleh individu dewasa awal pada usia 18 hingga 25 tahun, di mana terjadi transformasi diri dari remaja menjadi orang dewasa (Hochberg & Konner, 2020). Sebagian besar individu pada masa emerging adulthood mengalami perubahan pola pikir, tingkah laku, dan kondisi kesehatan mental (Pasingiri, et al., 2022)
Berbagai perubahan dalam masa emerging adulthood dimulai dari meninggalkan rumah dan keluarga terdekat, bekerja, mengambil tanggung jawab sebagai orang dewasa, hingga berinteraksi langsung dengan perubahan kehidupan sosial sebagai bagian dari masyarakat (Arslan, et al., 2021). Hal tersebut telah menjerumuskan individu pada sebuah fase eksplorasi diri yang unik, di mana individu kini memiliki kebebasan dalam menilai dan mengevaluasi moralitas yang dimilikinya dengan kehidupan sosial (Sutanto & Muttaqin, 2021). Tidak seperti dunia remaja, di mana sebagian besar bergantung pada orang terdekat dan memiliki ruang interaksi yang kecil. Namun, moralitas yang dahulunya hanya sebatas hitam dan putih ataupun benar dan salah, kini menjadi lebih rumit karena kesadaran akan kompleksitas dunia. Nilai-nilai dan pemikiran yang selama ini tertanam mulai dikacaukan oleh keadaan dunia nyata. Terjadilah situasi di mana adanya ketidakselarasan antara idealisme para individu emerging adulthood dengan kehidupan dewasa yang baru saja mereka jalani.
Konsep perlawanan dari compassion lahir dari persimpangan ini. Individu pada masa emerging adulthood meninggalkan dunia remaja yang penuh idealisme dan memasuki dunia dewasa yang sarat. Compassion yang dulunya begitu murni, diuji oleh bentrokan realita dengan idealisme yang dipegang. Dalam proses tersebut, compassion berkembang menjadi empati yang berpotensi menjadi pemantik keberanian untuk melawan sistem opresif. Titik inilah menimbulkan pertanyaan besar: “Apakah individu akan mempertahankan compassion yang dimilikinya atau menyerah pada realitas pragmatisme?” Ketidaksesuaian idealisme yang dipegang dari dunia remaja menuju dunia dewasa menjadikan emerging adulthood sebagai periode kritis pencarian identitas diri (Becht, et al., 2021). Hal ini sejalan oleh teori Erikson, di mana individu mulai membentuk pemahaman tentang “Siapakah aku?” dalam konteks sosial. Hal ini menyebabkan terjadinya dilema moralitas, akankah individu mempertahankan idealisme yang dimiliki sejak remaja atau menyesuaikan diri dengan kenyataan dunia dewasa (Putri & Arbi, 2023).
Perlawanan yang timbul akibat perbedaan moralitas yang terjadi pada masa emerging adulthood didukung oleh teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan moral pada individu manusia terdiri atas 3 fase, yaitu: pre-konvensional, konvensional, dan post-konvensional (Nainggolan & Naibaho, 2022). Salah satu fase perkembangan moral yang sesuai dengan masa emerging adulthood adalah fase post-konvensional. Dalam fase ini, individu akan menimbang suatu tindakan berdasarkan norma sosial yang berlaku dan nalurinya pribadi (Wahidah & Maemonah, 2020). Dengan demikian, pada fase ini individu tidak menerima norma sosial begitu saja, melainkan mulai mempertanyakan dan menentang sistem bila tidak sesuai dengan prinsip moralitas yang dimilikinya.
Dalam konteks perkembangan moral, compassion tidak hanya sebagai nilai pasif terhadap penderitaan, melainkan berkembang menjadi aksi sosial. Compassion menjadi sebuah dorongan untuk bertindak melawan ketidakadilan dan memperjuangkan keadilan. Fenomena ini selaras dengan teori-teori psikologis yang kemudian melahirkan gerakan sosial menuntut perubahan. Perlawanan yang didasari oleh compassion dapat dijelaskan melalui beberapa teori psikologi:
- Moral Outrage & Collective Action, rasa iba yang berpadu dengan kemarahan terhadap ketidakadilan dan memicu penuntutan (Pauls, et al., 2022). Hal ini terjadi ketika individu menyadari adanya penderitaan akibat sistem yang menindas. Penyadaran tersebut mendorong individu melakukan perlawanan demi perubahan yang adil.
- Teori Prosocial Behavior oleh Batson, teori ini lebih berfokus pada tingkat empati. Individu dengan rasa empati yang tinggi akan melakukan tindakan prososial, yakni mengurangi penderitaan individu yang menderita (Pfattheicer, et al., 2022). Compassion (belas kasih) dalam teori ini menjadi pemicu utama untuk terlibat dalam aksi sosial.
- Post-Traumatic Growth, dalam beberapa kasus individu mengalami pengalaman traumatis. Pengalaman traumatis tersebutlah yang menjadi pemantik seseorang untuk mengembangkan compassion yang lebih kuat untuk melawan ketidakadilan. Individu dalam teori ini mengalami dan/atau menyaksikan secara langsung penderitaan. Para korban berubah menjadi aktivis untuk merubah kesedihannya menjadi langkah perubahan (Bateson, 2024).
Emerging adulthood, merujuk pada dunia dewasa awal yang penuh tuntutan dan ketidakpastian. Terjadi bentrokan antara ketidaksesuaian pemikiran ideal dengan kondisi kehidupan. Bentrokan tersebut membawa keputusasaan pada individu, hingga akhirnya menumbuhkan compassion untuk memahami penderitaan. Namun, compassion tidak berhenti sebagai empati pasif. Esensinya seperti bahan bakar, menuntun individu untuk aksi yang lebih berani. Adanya compassion menjadi dorongan untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang luntur akibat kompleksitas kehidupan nyata. Contoh nyata perlawanan yang didasari oleh belas kasih ditunjukkan dengan aktivisme sosial seperti gerakan menentang diskriminasi, aktivis hak asasi manusia, aktivis lingkungan, gerakan feminisme, dan sebagainya. Semua bentuk perlawanan itu, sebagian besar datang dari individu emerging adulthood, membuat mereka sebagai penggerak perubahan terhadap sistem yang opresif. Tidak dapat dimungkiri bahwa perlawanan yang anarkis mampu memperburuk situasi ketidakadilan yang ada. Oleh sebab itu, perlawanan harus didasari compassion (belas kasih) untuk mendapatkan keadilan yang diperjuangkan, keadilan yang mengubah kondisi keputusasaan menuju kesejahteraan.
Referensi:
Arslan, İ. B., Lucassen, N., Van Lier, P. A., De Haan, A. D., & Prinzie, P. (2021). Early childhood internalizing problems, externalizing problems and their co-occurrence and (mal)adaptive functioning in emerging adulthood: A 16-year follow-up study. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 56(2), 193-206. https://doi.org/10.1007/s00127-020-01959-w
Bateson, R. (2024). Finding meaning in politics: When victims become activists. Perspectives on Politics, 1–20. https://doi.org/10.1017/S1537592724000872
Becht, A. I., Nelemans, S. A., Branje, S. J., Vollebergh, W. A., & Meeus, W. H. (2021). Daily identity dynamics in adolescence shaping identity in emerging adulthood: An 11-year longitudinal study on continuity in development. Journal of Youth and Adolescence, 50(1), 1-18. https://doi.org/10.1007/s10964-020-01370-3
CNN. (2019, May). Tiananmen Square’s ‘Tank Man’. CNN. https://edition.cnn.com/interactive/2019/05/world/tiananmen-square-tank-man-cnnphotos/
Gilbert, P., & Van Gordon, W. (2023). Compassion as a skill: A comparison of contemplative and evolution-based approaches. Mindfulness, 14(10), 2395-2416. https://doi.org/10.1007/s12671-023-02173-w
Hochberg, Z., & Konner, M. (2020). Emerging adulthood, a pre-adult life-history stage. Frontiers in Endocrinology, 10, 918. https://doi.org/10.3389/fendo.2019.00918
Malenfant, S., Jaggi, P., Hayden, K. A., & Sinclair, S. (2022). Compassion in healthcare: An updated scoping review of the literature. BMC Palliative Care, 21(1), 80. https://doi.org/10.1186/s12904-022-00942-3
Nainggolan, M. M., & Naibaho, L. (2022). The integration of Kohlberg moral development theory with education character. Technium Social Sciences Journal, 31, 203-213.
Pasinringi, M. A. A., Vanessa, A. A., & Sandy, G. (2022). The relationship between social support and mental health degrees in emerging adulthood of students. Golden Ratio of Social Science and Education, 2(1), 12-23. https://doi.org/10.52970/grsse.v2i1.162
Pauls, I. L., Shuman, E., van Zomeren, M., Saguy, T., & Halperin, E. (2022). Does crossing a moral line justify collective means? Explaining how a perceived moral violation triggers normative and nonnormative forms of collective action. European Journal of Social Psychology, 52(1), 105-123. https://doi.org/10.1002/ejsp.2818
Pfattheicher, S., Nielsen, Y. A., & Thielmann, I. (2022). Prosocial behavior and altruism: A review of concepts and definitions. Current Opinion in Psychology, 44, 124-129. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2021.08.021
Putri, R. A., & Arbi, D. K. A. (2023). Hubungan antara dukungan sosial dengan ide bunuh diri pada emerging adult. Blantika: Multidisciplinary Journal, 2(1), 89-98.
Wahidah, A. F. N. M., & Maemonah, M. (2020). Moral thought of early childhood in perspective Lawrence Kohlberg. Golden Age: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(1), 28-37. https://doi.org/10.29313/ga:jpaud.v4i1.5991
