ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 31 April 2025

 

Tekanan Teman Sebaya, Emosi, dan Perilaku Agresif Remaja

Oleh:

Meyga Putri Clarisa1, Zaldhi Yusuf Akbar2, Dina Syakina3

1Program Studi Sarjana Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

2Program Studi Karawitan, Institut Seni Budaya Indonesia Bandung

3Program Studi Sarjana Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Kekerasan di kalangan remaja semakin sering muncul di pemberitaan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lebih dari 37 ribu kasus kekerasan pada anak antara tahun 2011 hingga 2019 (KPAI, 2020). Kasus perundungan siswi SMP Purworejo pada 2020, yang viral karena korban dipukul dan ditendang di dalam kelas (Wismabrata, 2020), hanyalah salah satu contoh nyata betapa seriusnya masalah ini.

Remaja dan Tekanan Lingkungan

Masa remaja adalah fase transisi penuh perubahan—fisik, emosi, maupun sosial. Pada tahap ini, pengaruh teman sebaya menjadi sangat kuat. Menurut Santrock (2011), konformitas terhadap teman sebaya mencapai puncaknya di awal remaja, bahkan bisa mendorong perilaku negatif seperti mencuri atau vandalisme.

Myers (2012) menyebut konformitas sebagai perubahan perilaku akibat tekanan kelompok. Itu sebabnya, ketika kelompok melakukan tindakan agresif, remaja sering kali ikut-ikutan karena takut ditolak. Penelitian Raviyoga & Marheni (2019) juga menemukan bahwa konformitas teman sebaya berhubungan erat dengan agresivitas remaja.

Emosi yang Tak Terkelola

Selain pengaruh teman sebaya, faktor lain yang sangat berperan adalah kemampuan mengatur emosi atau regulasi emosi. Muawanah, Suroso, & Pratikto (2012) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan menahan dan mengelola perasaan seperti marah, sedih, atau dendam.

Ketika regulasi emosi lemah, remaja cenderung menyalurkan perasaan negatif melalui perilaku agresif (Yunalia & Etika, 2020). Sebaliknya, penelitian Syahadat (2013) menunjukkan bahwa latihan regulasi emosi dapat membantu remaja mengubah pikiran negatif menjadi positif sehingga perilaku agresif dapat ditekan.

Temuan di Sekolah

Penelitian di SMP Negeri 2 Kalimanah menunjukkan bahwa siswa yang cenderung mengikuti tekanan teman sebaya lebih mudah terlibat perilaku agresif. Sebaliknya, siswa yang mampu mengatur emosinya dengan baik cenderung tidak mudah terprovokasi.

Dengan kata lain, semakin kuat pengaruh kelompok dan semakin lemah kontrol emosi, semakin tinggi risiko munculnya perilaku agresif. Temuan ini sejalan dengan teori Goleman (2016) tentang pentingnya kecerdasan emosional dalam mencegah kenakalan remaja.

Peran Guru dan Orang Tua

Fenomena ini menegaskan bahwa guru, konselor, dan orang tua memegang peran penting.

  1. Di sekolah, guru bisa membentuk kelompok sebaya yang positif serta memberikan bimbingan keterampilan sosial.
  2. Dalam konseling, siswa dapat dilatih mengelola emosi—seperti cara menenangkan diri saat marah.
  3. Di rumah, orang tua diharapkan peka terhadap kondisi emosional anak dan menciptakan lingkungan keluarga yang hangat dan bebas dari kekerasan (Gunarsa & Gunarsa, 2008).

Menatap ke Depan

Remaja memang sedang mencari jati diri, sehingga wajar mereka rentan terhadap pengaruh kelompok. Namun, dengan dukungan lingkungan yang tepat, mereka dapat belajar mengelola emosi dan berani menolak tekanan negatif.

Mencegah perilaku agresif bukan hanya soal melarang berkelahi, melainkan membekali remaja dengan keterampilan hidup: mengendalikan emosi, memilih teman dengan bijak, dan membangun rasa percaya diri tanpa harus menyakiti orang lain.

Referensi:

Baron, R. A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial jilid 2 (Edisi ke-10, Ratna Djuwita, dkk., Penerj.). Erlangga.

Davidoff, L. L. (2007). Psikologi: Suatu pengantar jilid 2. Erlangga.

Goleman, D. (2016). Emotional intelligence. PT Gramedia Pustaka Utama.

Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. D. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja (Cet. ke-15). BPK Gunung Mulia.

Muawanah, L. B., Suroso, & Pratikto, H. (2012). Kematangan emosi, konsep diri, dan kenakalan remaja. Jurnal Persona, 1(1), 1–10.

Myers, D. G. (2012). Psikologi sosial jilid 2. Salemba Humanika.

Raviyoga, T. T., & Marheni, A. (2019). Hubungan kematangan emosi dan konformitas teman sebaya terhadap agresivitas remaja di SMAN 3 Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 6(1), 44–55.

Santrock, J. W. (2011). Life-span development: Perkembangan masa hidup (Edisi ke-13, N. I. Sallama, Ed.). Erlangga.

Syahadat, Y. M. (2013). Pelatihan regulasi emosi untuk menurunkan perilaku agresif pada anak. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 10(1), 19–36. https://doi.org/10.26555/humanitas.v10i1.326

Tim KPAI. (2020). Sejumlah kasus bullying sudah warnai catatan masalah anak di awal 2020. KPAI. https://www.kpai.go.id

Wismabrata, M. H. (2020, Februari 12). Tiga siswa SMP tersangka kasus perundungan di Purworejo tidak ditahan. Kompas.com. https://www.kompas.com

Yunalia, E. M., & Etika, A. N. (2020). Analisis perilaku agresif pada remaja di sekolah menengah pertama. Journal Health of Studies, 4(1), 38–45. https://doi.org/10.31101/jhes.1358