ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 30 Maret 2025

#KaburAjaDulu: Pelarian atau Satu-Satunya Pilihan?

 Oleh:

Putri Sahira Bastari dan Ellyana Dwi Farisandy

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

Tagar #KaburAjaDulu belakangan ini viral di media sosial, mulai dari X (sebelumnya twitter), instagram, hingga Tiktok. Tagar ini mencerminkan keresahan, frustrasi, dan kekecewaan masyarakatterutama anak mudamengenai masa depan mereka di Indonesia. Saat ini, generasi muda dihadapkan oleh berbagai ketidakpastian dan tantangan nyata, mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, rendahnya upah, hingga minimnya kesejahteraan di negeri ini. Dalam kondisi seperti ini, muncul sebuah dilema: Apakah pindah keluar negeri merupakan bentuk pelarian dari segala tantangan yang ada atau sebenarnya merupakan pilihan yang realistis untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik

Tantangan Anak Muda di Indonesia

Badan Pusat Statistik (2024) mengungkapkan bahwa 20,31% anak muda usia 15-24 tahun termasuk dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training). Artinya, mereka sedang tidak sekolah, bekerja, dan/ataupun mengikuti pelatihan. Tingginya persentase ini menunjukkan bahwa banyak anak muda yang mengalami kesulitan dalam transisinya dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, tingkat pengangguran anak muda jauh lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar kerja yang tersedia tidak cukup untuk menyerap tenaga kerja yang baru. Selain itu, mereka yang akhirnya berhasil memperoleh pekerjaan harus dihadapkan pada tantangan baru, yakni tingginya biaya hidup terutama di kota-kota besar.

Ironisnya, gaji yang diterima seringkali tidak selaras dengan beban hidup yang harus ditanggung. Biaya transportasi, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari kian mengalami peningkatan, sementara Upah Minimum Regional (UMR) di banyak daerah masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Banyak anak muda yang baru mulai bekerja harus berjuang hanya untuk bertahan, tanpa adanya kesempatan untuk menabung. Bahkan dengan bekerja sekeras mungkin, mereka masih tetap kesulitan untuk mencapai standar hidup yang layak. Tantangan ini juga semakin diperparah dengan adanya fenomena sandwich generation—dimana anak muda harus menopang kehidupan orang tua bahkan keluarga mereka karena faktor ekonomi. Akibatnya, sebagian besar pendapatan yang diperoleh habis untuk keluarga alih-alih untuk meningkatkan kesejahteraan diri.

Ditengah beban ekonomi yang semakin berat, anak muda juga dihadapkan pada ketidakstabilan sosial dan politik di Indonesia. Kepercayaan terhadap pemerintah terus mengalami penurunan, ditambah kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat ‘kecil’. Ketika anak muda mencoba bersuara, suara mereka kerap dibungkam, seolah itu adalah ancaman bagi para penguasa. Alih-alih menjadi bagian dari bangsa ini, banyak anak muda yang justru merasa terasing di negeri sendiri.

Perspektif Psikologi: Escapism or Adaptive Coping Mechanism?

Dalam psikologi, eskapisme atau pelarian adalah mekanisme di mana individu mengalihkan diri dari masalah tanpa berusaha menyelesaikannya (NeuroLaunch Team, 2024). Sebaliknya, adaptive coping mechanism adalah strategi yang digunakan individu untuk menghadapi masalah dan mengelola stresor (sumber stres) secara konstruktif, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis (Adaptive and Maladaptive Coping Mechanisms, n.d.). Keduanya merupakan respons terhadap stres, tetapi dengan pendekatan yang berbeda—eskapisme lebih berorientasi pada penghindaran, sedangkan adaptive coping berfokus pada penyelesaian masalah.

Tagar #KaburAjaDulu mencerminkan fenomena di mana banyak anak muda merasa frustrasi dengan tantangan hidup yang mereka hadapi dan memilih untuk meninggalkan negeri sendiri, berharap kehidupan di luar negeri akan lebih baik. Jika keputusan ini diambil tanpa perencanaan yang matang—sekadar untuk melarikan diri dari tekanan—maka ini dapat dikategorikan sebagai eskapisme. Namun, jika keputusan untuk pindah dibuat berdasarkan pertimbangan yang rasional, seperti mencari peluang kerja yang lebih baik, kebijakan yang lebih mendukung kesejahteraan individu, lingkungan yang lebih suportif, atau keinginan untuk memperluas pengalaman, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai adaptive coping mechanism, yakni  problem-focused coping (strategi coping yang berorientasi pada pemecahan masalah).

So, apakah keputusan untuk "kabur" merupakan bentuk eskapisme atau justru strategi coping yang adaptif bergantung pada niat, perencanaan, dan kesiapan individu dalam menghadapi tantangan baru.

Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan?

Bagi Individu:

  1. Tentukan tujuan sebelum memutuskan "kabur".

Sebelum memutuskan untuk “kabur”, individu perlu menetapkan tujuan dari keinginan yang jelasapa motivasi untuk kabur? apakah karena faktor ekonomi, mencari kehidupan yang layak, atau karena rasa frustasi terhadap kondisi di Indonesia? Selain itu, tentukan berapa lama durasi untuk “kabur”apakah rencana ini bersifat sementara (5 sampai 10 tahun), jangka panjang (15 hingga 20 tahun), atau menetap selamanya? Pastikan semua aspek sudah ditentukan dengan matang. Mulailah dengan mengumpulkan informasi tentang negara tujuan seperti peluang kerja, sistem pendidikan, biaya hidup, dan budaya di negara tujuan yang dapat mempengaruhi keberlangsungan pun kesejahteraan hidup disana.

  1. Meningkatkan ketahanan psikologis & career adaptability.

Tak dapat dipungkiri, “kabur” ke tempat baru memerlukan adaptasi yang baik di mana individu perlu meningkatkan self-awareness dan regulasi emosi supaya dapat bertahan di tempat yang baru. Kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan dunia kerja di tempat baru juga diperlukan. Tingkatkan pengetahuan dan kemampuan dengan mengikuti kursus, pelatihan, dan membaca buku yang sekiranya relevan dengan bidang yang diminati, memanfaatkan media sosial untuk menjalin relasi dengan lingkup internasional, dan merancang rencana jangka pendek dan jangka panjang untuk pengelolaan diri dan karir. 

Bagi Masyarakat & Pemerintah:

Perubahan sistemik untuk kesejahteraan generasi mendatang.

Melihat fenomena tagar #KaburAjaDulu sebagai bentuk representasi rasa frustasi dan kekecewaan terhadap sistem yang dianggap tidak memberikan peluang yang cukup terutama bagi anak muda. Sebagai pemegang kebijakan, sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah untuk meredakan kekecewaan masyarakat. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan reformasi kebijakan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dengan frasa “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, kebijakan yang dibuat harus benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat, khususnya untuk anak muda yang menjadi pilar masa depan bangsa.

Kesimpulan

Fenomena #KaburAjaDulu mencerminkan banyaknya tantangan yang sedang dihadapi oleh anak muda di Indonesia, mulai dari tekanan ekonomi, sosial hingga politik. Keputusan untuk pindah ke luar negeri dapat dipahami sebagai eskapisme (pelarian) jika memang dilakukan tanpa perencanaan, atau sebagai strategi yang adaptif jika dilakukan dengan mempertimbangkan segala aspek untuk mencari kehidupan yang lebih layak.

Pilihan untuk “kabur” pun bertahan bukan sesuatu yang dapat dinilai sebagai “hitam-putih” atau “benar-salah”. Individu perlu untuk menyusun rencana, memahami segala tantangan yang dihadapi ketika berpindah ke luar negeri, dan memastikan bahwa keputusan tersebut sejalan dengan tujuan hidup mereka. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki peran besar untuk menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga anak muda tidak merasa ‘terpaksa’ dan merasa bahwa itu merupakan satu-satunya pilihan yang mereka harus ambil.

"May your choices reflect your hopes, not your fears."- Nelson Mandela. Penulis berharap bahwa keputusan besar untuk “kabur” ataupun bertahan seharusnya datang dari ‘harapan’, bukan dari ketakutan. <3

Referensi

Badan Pusat Statistik (2024). Persentase usia muda (15-24 Tahun) yang sedang tidak sekolah, bekerja atau mengikuti pelatihan (persen), 2024. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTE4NiMy/persentase-usia-muda--15-24-tahun--yang-sedang-tidak-sekolah--bekerja-atau-mengikuti-pelatihan--persen-.html

NeuroLaunch editorial team. (2024, Sep 15). Escapism in Psychology: Definition, Causes, and Implications. NeuroLaunch. https://neurolaunch.com/escapism-definition-in-psychology/#google_vignette

Adaptive and Maladaptive Coping Mechanisms. (n.d). Psychology. https://psychology.iresearchnet.com/health-psychology-research/coping/adaptive-and-maladaptive-coping-mechanisms/

Evans, O. G. (2023, Nov 9). Fight, Flight, Freeze, Or Fawn: How We Respond To Threats. SimplyPsychology. https://www.simplypsychology.org/fight-flight-freeze-fawn.html

Ly, V., Wang, K.S., Bhanji, J., Delgado, M. R. (2019). A Reward-Based Framework of Perceived Control. Frontiers in Neuroscience, 13-2019. https://doi.org/10.3389/fnins.2019.00065

Baratta, M. V., Seligman, M. E.P., Maier, S. F. (2023). From Helplessness to Controllability: Toward a Neuroscience of Resilience. Frontiers in Psychiatry, 14-2023. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2023.1170417