ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 30 Maret 2025

 Quiet Quitting: Ketika Karyawan Memilih Bertahan Tanpa Antusiasme

 Oleh:

Fitri Elsani Naibaho

Magister Psikologi Sains, Universitas Sumatera Utara

 

Dunia kerja terus mengalami perubahan signifikan seiring dengan perkembangan teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial. Salah satu fenomena yang kini menjadi sorotan adalah "quiet quitting." Istilah ini merujuk pada pekerja yang hanya menjalankan tugas minimum sesuai kontrak kerja tanpa upaya ekstra untuk mendapatkan promosi, kenaikan gaji, atau pengakuan tambahan di tempat kerja. Pevec mengatakan karyawan merupakan elemen krusial dalam setiap organisasi karena mereka dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang signifikan, terutama ketika mereka merasa termotivasi dan terlibat dalam pekerjaan mereka (Sholihah et al., 2023). Menurut UU No 13 tahun 2003 pasal 1 Ketenagakerjaan yaitu karyawan merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan tujuan menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau bermasyarakat (Kementerian Perindustrian, 2003).

Fenomena Baru di Dunia Kerja

Perubahan sosial dan ekonomi telah membawa tren baru dalam dunia kerja, salah satunya adalah fenomena quiet quitting. Konsep ini menggambarkan karyawan yang tetap bekerja tetapi hanya menjalankan tugas minimum tanpa inisiatif atau usaha ekstra. Selain itu, artikel Wall Street Journal melaporkan bahwa sekitar 50% karyawan di Amerika Serikat telah membatasi komitmen mereka terhadap pekerjaan. Namun, gerakan "quiet quitting" juga dapat dijelaskan sebagai upaya semakin banyak karyawan untuk mengkomunikasikan kepada pengusaha bahwa lingkungan tempat kerja tidak lagi sehat bagi karyawan dan perlu diubah (Mahand & Caldwell, 2023).

Fenomena ini semakin marak terutama sejak pandemi Covid-19, di mana keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi perhatian utama para pekerja. Berdasarkan survei Bain & Company, 58% pekerja dari 10 negara utama menyatakan perlunya menyeimbangkan kembali pekerjaan dan kehidupan. Menurut survei World Value, generasi muda kini lebih mengutamakan kehidupan pribadi dibandingkan karier, yang berkontribusi pada meningkatnya tren quiet quitting. Konsep ini menyebar luas melalui video TikTok pada tahun 2022 oleh seorang insinyur TI muda, Zaidle Peppelin, yang mendapat 3,5 juta tampilan dalam 14 hari (Tae, Kim Kwang. Lee Hye Won, 2023).

Penyebab dan Dampak Quiet Quitting

  1. Terdapat beberapa faktor utama yang mendorong fenomena quiet quitting (Mahand & Caldwell, 2023):
  2. Kurangnya pengembangan karier – Karyawan kehilangan motivasi jika tidak ada peluang pertumbuhan yang jelas.
  3. Minimnya apresiasi – Pemimpin yang kurang empati menciptakan budaya kerja yang tidak sehat.
  4. Rasa berputus asa – Tidak dilibatkan dalam keputusan membuat karyawan merasa diabaikan.
  5. Kurangnya otonomi – Karyawan lebih puas dan produktif jika diberi kebebasan dalam bekerja.
  6. Penurunan kepercayaan – Hilangnya kepercayaan pada pemimpin menurunkan keterlibatan karyawan.

Dampak dari quiet quitting tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga organisasi secara keseluruhan. Produktivitas menurun, semangat kerja berkurang, dan perusahaan dapat mengalami kesulitan dalam mempertahankan talenta terbaiknya.

Strategi Mengatasi Quiet Quitting

Organisasi dapat mengurangi quiet quitting dengan strategi berikut (Mahand & Caldwell, 2023):

  • Meningkatkan Keterlibatan Karyawan – Menciptakan lingkungan kerja yang suportif dan memberikan kesempatan pengembangan karier dapat meningkatkan keterlibatan karyawan.
  • Menjaga Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi – Menyediakan fleksibilitas dalam pekerjaan dapat membantu karyawan merasa lebih dihargai.
  • Mengapresiasi Kinerja Karyawan – Pengakuan terhadap kontribusi karyawan akan meningkatkan motivasi dan loyalitas.

Tren quiet quitting menunjukkan perlunya organisasi untuk menyesuaikan kebijakan kerja agar tetap kompetitif dan mampu mempertahankan tenaga kerja terbaik. Dengan pendekatan yang tepat, fenomena ini dapat diminimalkan, menumbuhkan suasana kerja yang lebih kondusif dan efisien. Seiring memburuknya prospek ekonomi, sementara resign bukan pilihan dan kurang memungkinkan bagi banyak orang, alternatif quiet quitting ini kemungkinan akan menjadi semakin umum (Klotz, 2022).

Fenomena quiet quitting menjadi topik yang menarik perhatian secara global di berbagai industri dalam beberapa tahun terakhir. Tingginya jumlah karyawan yang berencana mencari peluang kerja baru dan terbuka terhadap peluang pekerjaan baru menunjukan tingginya quiet quitting intention (Sitorus & Rachmawati, 2024).  Quiet-quitting intention (QQ) adalah konsep baru yang berbeda dari turnover intention, yang mengacu pada kelelahan emosional atau fisik dari suatu pekerjaan, sehingga mendorong pemikiran untuk hanya melakukan pekerjaan dasar untuk memenuhi tanggung jawab dan tidak pernah melampauinya (Lu et al., 2023).

Dampak Quiet Quitting pada Organisasi

Fenomena ini memiliki dampak besar terhadap lingkungan kerja dan produktivitas perusahaan. Menurut penelitian, keterlibatan karyawan yang rendah dapat menyebabkan penurunan kinerja dan loyalitas. Studi menunjukkan bahwa quiet quitting dapat terjadi dalam rentang waktu tujuh hingga delapan bulan pertama masa kerja seorang karyawan. Jika tidak segera diatasi, keadaan ini dapat berkembang menjadi kebiasaan dalam organisasi dan berdampak pada rekan kerja lainnya (Ochis, 2024).

Fenomena quiet quitting bukanlah sekadar tren sesaat, tetapi cerminan dari perubahan besar dalam dunia kerja. Organisasi yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ini akan memiliki tenaga kerja yang lebih produktif dan berkomitmen dalam jangka panjang.

Referensi:

Kementerian Perindustrian. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 5 Ayat 1 tahun 2003) (Issue 1, pp. 1–23).

Klotz, A. C. and M. C. B. (2022). When Quiet Quitting Is Worse Than the Real Thing. Harvard Business Review. https://hbr.org/2022/09/when-quiet-quitting-is-worse-than-the-real-thing

Lu, M., Al Mamun, A., Chen, X., Yang, Q., & Masukujjaman, M. (2023). Quiet quitting during COVID-19: the role of psychological empowerment. Humanities and Social Sciences Communications, 10(1), 1–16. https://doi.org/10.1057/s41599-023-02012-2

Mahand, T., & Caldwell, C. (2023). Quiet Quitting – Causes and Opportunities. Business and Management Research, 12(1), 9. https://doi.org/10.5430/bmr.v12n1p9

Ochis, K. (2024). Generation Z and “Quiet Quitting”: Rethinking onboarding in an era of employee disengagement. Multidisciplinary Business Review, 17(1), 83–97. https://doi.org/10.35692/07183992.17.1.7

Sholihah, M., Syam, R., Rahmayani, L. I., Gaffar, S. B., Jalal, N. M. J., & Jufri, G. (2023). Psikoedukasi “Menuju Karyawan Yang Sami’Na Wa Atho’Na: Stop Quiet Quitting,” Pada Karyawan Sit Darul Fikri Makassar. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(November), 50–59.

Sitorus, M. G., & Rachmawati, R. (2024). Analysis of the Quiet Quitting Phenomenon with Work Engagement and Job Satisfaction as mediators , Study of Employees in Indonesia Banking Industry. 4(11), 10671–10693.

Tae, Kim Kwang. Lee Hye Won, S. Y. W. (2023). 다차원적 조용한 사직 척도 (mqqs) 타당화 연구 (A validation study of the Multidimensional Quiet Quitting Scale (MQQS)). Korean Journal of Industrial and Organizational Psychology, 36(4), 557–583. https://doi.org/https://doi.org/10.24230/kjiop.v36i4.557-583