ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 29 Maret 2025
Agama sebagai Variabel Budaya dan Psikologis
Oleh:
Subhan El Hafiz, Fakultas Psikologi, Universitas Prof. Dr. Uhamka
Eko A Meinarno, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Agama merupakan salah satu obyek kajian dalam ilmu pengetahuan. Namun, agama sebagai objek ilmu pengetahuan ternyata dapat dimaknai berbeda oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan. Menariknya, perbedaan itu bukan berarti ada konsep yang berbeda tentang agama, tetapi harus dimaknai bahwa agama merupakan objek kajian yang kompleks dan memiliki banyak dimensi. Artinya, agama tidak hanya menjadi ranah Teologi (Ilmu Ketuhanan), tapi juga objek kajian logos-logos yang lain.
Dalam antropologi, misalnya, agama (atau disebut sistem keyakinan) termasuk tujuh unsur kebudayaan (Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 1991). Sedangkan dalam sosiologi, tokoh seperti E Durkheim memberi definisi dan penjelasan tentang agama, yaitu kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, dan yang terlarang agar tetap suci. Beliau menambahkan bahwa dalam agama kepercayaan dan praktek yang ada dalam satu dan komunitas moral yang sama yang disebut gereja, menyatukan semua yang menjadi bagiannya (Durkheim, 2003[1912]). Perlu menjadi perhatian, kata “gereja” bukanlah merujuk pada tempat ibadah, tapi komunitas moral yang terdiri dari penganut yang isinya adalah orang awam, para pendeta atau pemuka agama (Durkheim, 2003[1912]). Lebih jauh mengenai definisi yang diajukan oleh Durkheim, definisi tersebut memberi dua area dalam agama yakni praktek yang terkait sakral dan tingkah laku ritual yang dilakukan oleh anggota dari agama itu. Keduanya tidak terpisahkan. Mengenai kesakralan, wujudnya berupa keyakinan-keyakinan, dan pola-pola khusus (ritual) pemujaan (Meinarno, Widianto, & Halida, 2015). Mengenai tingkah lakunya dapat berupa arahan hidup, penjelasan kisah-kisah yang berisi baik dan buruk, organisasi sosial, dan kemungkinan pengalaman yang melampaui realita (Langley, 1996). Beberapa contoh catatan untuk dua area tadi adalah perjalanan diri mencapai kesempurnaan yang terekam dalam relief-relief suci Borobudur (Langley, 1996), atau kisah penghakiman atas individu oleh para dewa (Langley, 1996) agar individu tidak berbuat dosa.
Agama sebagai Objek Kajian Psikologi
Psikologi merupakan salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang juga menjadikan agama sebagai objek kajiannya. Hal ini karena agama acapkali dihubungkan dengan sikap dan tingkah laku sosial (Hamali, 2011). Harapan yang muncul jika agama menjadi landasan bersikap dan bertingkah laku adalah sikap dan tingkah laku menjadi sejalan dengan humanitarian (Allport dalam Paloutzian, 1996) karena agama diyakini memiliki dasar yang humanis. Namun pada kenyataannya ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa tidak selamanya hubungan ketaatan memiliki hubungan yang positif.
Sebaliknya, hubungan agama dengan kebaikan juga terbukti negatif. Misalnya, temuan Allport dan Kramer pada tahun 1946 (dalam Burris, Batson, Altstaedten, & Stephens, 1994) menunjukkan bahwa pelajar beragama Kristen Protestan dan Katolik lebih berprasangka terhadap golongan Afro-Amerika daripada anak-anak yang tidak berafiliasi dengan agama tertentu. Peneliti lainnya, Kirkpatrick (1949 dalam Burris, Batson, Altstaedten, & Stephens, 1994) menemukan bahwa orang yang religius lebih bersikap menghukum terhadap pada pelaku kriminalitas, perempuan pekerja seks, pecandu obat-obatan dan para pasien psikiater dibandingkan dengan orang yang tidak religius. Stouffer (1955 dalam Burris, Batson, Altstaedten, & Stephens, 1994), seorang peneliti tentang agama juga menemukan pola sikap tidak toleran terhadap golongan nonkonformis, kaum sosialis dan komunis pada sampel jemaat gereja di Amerika Serikat. Pemahaman agama juga pada kondisi tertentu dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan secara sosial dalam konteks bernegara dan berbangsa (El Hafiz, 2019).
Di sisi lain, sebagaimana disebutkan sebelumnya, keyakinan bahwa agama bermanfaat bagi manusia juga terbukti benar. Misalnya, orang beragama terbukti lebih berpotensi melakukan aktivitas prososial dan bersikap altruis. Peran religiusitas dalam meningkatkan prososial dan perilaku altruisme bahkan terbukti bukan sebagai bentuk hiprokasi moral (Saroglou dkk., 2005). Agama juga terbukti meningkatkan kesehatan mental (Mochon dkk., 2011) dan menurunkan potensi perilaku tidak etis (Aydemir & Egilmez, 2010; Kirchmaier, Prüfer, & Trautmann, 2018).
Namun demikian, temuan-temuan di atas, baik yang positif maupun negatif juga ternyata tidak diterima pada semua situasi dan karakter individu. Misalnya, walaupun agama berperan pada peningkatan prasangka, namun tidak terjadi pada orang beragama dengan karakter tertentu, atau perilaku menolong orang beragama juga tidak terbukti jika penerima pertolongan tidak diketahui. Artinya, dampak positif dan negatif dari agama masih perlu dikaji lebih jauh karena dampak positif maupun dampak negatif agama yang diteliti masih ditemukan hasil yang beragam.
Oleh karena itu, agama sebagai salah satu motivasi berperilaku perlu dikaji secara objektif dan netral. Objektifitas dan netralitas kajian agama atau dalam psikologi dikenal dengan kajian religiusitas (religiosity) perlu mengakui bahwa agama dapat berpengaruh negatif pada diri individu, di saat yang sama juga dapat berdampak positif pada diri orang beragama tersebut (Meinarno, 2009; El Hafiz, 2021). Dengan demikian, peneliti religiusitas di Indonesia disarankan untuk mengkaji secara netral tentang agama, yaitu apa dan bagaimana agama dapat berdampak positif bagi individu, dan pada kondisi apa agama berefek negatif.
Berbagai Konsep Agama yang dapat Dikaji di Psikologi
Dengan kebutuhan akan kajian religiusitas yang dijelaskan di atas, perlu juga dipahami bahwa religiusitas adalah konstruk yang besar. Dalam konstruk ini, ada banyak aspek, faktor, dan dimensi yang bisa menjadi variabel penelitian, selain variabel religusitas itu sendiri. Di antara variabel lainnya adalah orientasi religius, kelekatan pada Tuhan, supernatural punishment, divine forgiveness, coping religious, dan lain-lain.
Berbagai konsep tersebut mencoba memotret religiusitas seseorang dari berbagai dimensi. Beberapa sudah cukup lama berkembang seperti orientasi religius dan coping religius, dan beberapa lainnya baru mulai dikaji, seperti supernatural punishment dan divine forgiveness. Hal lain juga adalah memasukkan agama, dalam hal ini rumah ibadah sebagai bagian dari ntervensi kesehatan masyarakat (lihat Abu-Ras, Aboul-Enein, Almoayad, Benajiba, & Dodge, 2024). Maka dari itu, melalui tulisan ini kami mengajak mahasiswa dan peneliti bidang Psikologi Agama di Indonesia untuk mulai lebih sering melihat agama sebagai aspek penting dalam perilaku manusia. Untuk mendukung itu, tentunya diharapkan para peneliti mulai saling berbagi hasil penelitiannya melalui publikasi di Jurnal, salah satunya adalah Indonesia Journal for The Psychology of Religion (https://ijpr.k-pin.org/).
Daftar Pustaka
Abu-Ras, W., Aboul-Enein, B. H., Almoayad, F., Benajiba, N., & Dodge, E. (2024). Mosques and public health promotion: a scoping review of faith-driven health interventions. Health Education & Behavior, 51(5), 677-690.
Aydemir, M., & Egilmez, O. (2010). An important antecedent of ethical/unethical behavior: religiosity. Eurasian Journal of Business and Economics, 3(6), 71-84.
Burris, C. T., Batson, C. D., Altstaedten, M., & Stephens, K. (1994). "What a Friend...": Loneliness as a Motivator of Intrinsic Religion. Journal for the Scientific Study of Religion, 326-334.
Durkheim, E. (2003[1912]). Elementary forms of religius life. Terjemah oleh Inyiak Ridwan Muzir. IRCiSoD. Yogyakarta.
El Hafiz, S. (2019). Agama sebagai Bagian Konsep Diri Bangsa Indonesia. Dalam Psikologi Indonesia. Penyunting Subhan El Hafiz dan Eko A Meinarno. Rajawali Pers. Bogor.
El Hafiz, S. (2021). Neutrality in religiosity studies in Indonesia. Jurnal Psikologi Ulayat, 8(2), 148-152.
Hamali, S. (2011). Sikap keagamaan dan pola tingkah laku masyarakat madani. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 6(2), 77-100.
Kirchmaier, I., Prüfer, J., & Trautmann, S. T. (2018). Religion, moral attitudes and economic behavior. Journal of Economic Behavior & Organization, 148, 282-300.
Langley, M. (1996). Eyewitness Books: Religion. London, UK: Dorling Kindersley Ltd.
Meinarno, E. A. (2009). Gambaran Orientasi Relijius pada Masyarakat di Jakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi MIND SET, 1(01), 45-54.
Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. (2015). Manusia dalam kebudayaan dan masyarakat. Edisi kedua. Salemba Humanika. Jakarta.
Mochon, D., Norton, M. I., & Ariely, D. (2011). Who benefits from religion? Social Indicators Research, 101, 1-15.
Paloutzian, R. (1997). Invitation to psychology of religion. Allyn & Bacon.
Saroglou, V., Pichon, I., Trompette, L., Verschueren, M., & Dernelle, R. (2005). Prosocial behavior and religion: New evidence based on projective measures and peer ratings. Journal for the scientific study of religion, 44(3), 323-348.
