ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 26 Januari 2025
Stress Dengan Gejala Insomnia Pada Mahasiswa
Oleh:
Kurnia Rosalia Astuti & Egi Prawita
Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Stress merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Setiap orang, mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga orang lanjut usia, dapat mengalami stress dalam berbagai bentuk dan tingkat keparahan yang berbeda-beda, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindari stress. Jika tidak ditangani dengan baik, stress dapat berdampak negatif pada kehidupan seseorang. Akumulasi stress terjadi ketika seseorang tidak mampu menangani atau mengelola stress dengan baik (Sujianto, Kandou, 2015). Stress adalah ketidak mampuan untuk mengatasi bahaya secara mental, fisik, emosional dan spiritual. Stress dapat mempengaruhi kesehatan fisikk seseorang (Wulandari, Hadiati, 2017). Dari segi psikologis, stress dapat bermanifestasi sebagai frustasi, kekecewaan, depresi, rasa bersalah, kebingungan, ketakutan akan ketidak berdayaan, kecemasan (anxiety), kurangnya motivasi dan kecemasan (Zurrahmi, Hardianti, 2021). Stress juga dapat terjadi pada siswa yang banyak mendapatkan tekanan, misalnya berupa tugas yang banyak, hal ini merupakan faktor stress yang dapat menyebabkan stress pada siswa dan memicu insomnia. Desmita, 2010 (Lubis, Ramadhani dan Rasyid, 2021). Di Indonesia, frekuensi pelajar mengalami stress sebanyak 217 peserta menunjukkan bahwa 23,91% peserta mengalami depresi, 69,74% mengalami kecemasan, 43,17% mengalami stress ringan hingga berat, dan 92,25% peserta mengalami kualitas tidur yang buruk (Purna, 2020). Mahasiswa yang tidak mampu mengatasi atau mengelola stress akan mempengaruhi pada pikiran, perasaan, reaksi fisik, dan perilakunya. Secara kognitif, mahasiswa sering mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi ketika belajar, menghafal materi, dan mencari materi pembelajaran. Mereka juga sering berpikir negatif terhdap diri sendiri dan lingkungannya. Secara emosional, mereka mungkin merasa cemas, sensitife, sedih, marah dan frustasi. Dampak perilaku yang mungkin terjadi termasuk kehancuran, penghindaran, pertengkaran, penundaan tugas sekolah, kemalasan, dan krivitas berlebihan dan berisiko untuk bersenang-senang.
Gejala yang paling sering terjadi pada gangguan tidur seseorang ada empat macam, seperti hypersomnia, insomnia, parasomnia, dan gangguan waktu tidur sampai bangun seseorang. Empat gejala tersebut yang paling sering dialami oleh seseorang yaitu insomnia. Gejala insomnia secara umum yaitu seseorang yang mengalami kesulitan untuk memulai tidur, sering terbangun pada malam hari atau juga ditengah tengah saat kita tertidur. Orang yang menderita insomnia bisa cepat terbangun lalu sulit untuk tidur Kembali (Wulandari, Hadiati, and Titis As, 2017) insomnia diartikan sebagai sulitnya seseorang untuk tertidur hingga tertidur Kembali. Sekitar 30% penduduk dunia menderita insomnia (Adheya, 2019). Dalam penelitiannya (Saswati dan Maulani, 2020) menemukan bahwa 33 responden memiliki koefisien korelasi sebesar 0,850 untuk hubungan tingkat stress dengan insomnia yang berati terdapat hubungan yang kuat antara tingkat stress dengan insomnia. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan terkait dengan Tingkat stress dengan gejala insomnia pada mahasiswa. Ketegangan dan tekanan merupakan arti dari kata stress yang berasal dari bahasa Latin “Stringere”. Menurut Nur dan Mugi, (2021) reaksi tubuh terhadap perubahan yang membutuhkan respon, regulasi, atau adaptasi fisik, psikologis, dan emosional disebut stress. Stress dapat muncul akibat situasi, kondisi, dan pemikiran uang menyebabkan frustasi, kemarahan, kegugupan, dan kecemasan. Stress adalah respon non-spesifik dari tubuh terhadap segala tuntutan, baik respon positif maupun negatif (Musabiq & Karimah, 2018). Menurut Abdulghani (dalam Gamayanti, 2018) mengatakan bahwa stress dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Stress dapat memberikan dampak positif apabila tekanan yang diberikan tidak melebihi toleransi terhadap stress atau keterampilan dan bakaat. Dampak positif stress pada siswa anatara lain tantangan pengembangan diri dan menumbuhkan kreativitas. Dampak negatif dari dtres dapat berupa sulitnya perhatian (konsentrasi) selama perkuliahan, termasuk memantau proses pengurusan skripsi dengan dosen pembimbing, menurunnya minat terhadap hal-hal yang biasa, menurunnya motivasi bahkan mempengaruhi perilaku pada saat adaptasi.
Menurut Musadinur, (2016) stress dapat terjadi dikarenakan adanya beberapa faktor, yaitu:
Lingkungan
Beberapa pemicu stress lingkungan antara lain:
- Sikap lingkungan sebagai mana kita ketahui, lingkungan mempunyai dampak positif dan negatif terhadap perilaku manusia menurut pola pikir kelompok sosial. Hal ini dapat mengarahkan individu untuk selalu berperilaku positif sesuai dengan pendapat masyarakat di lingkungannya.
- Tuntutan dan sikap keluarga, misalnya tuntutan untuk memilih mata kuliah sesuai keinginan orang tua, perjodohan, yang bertentangan dengan keinginan individu dan dapat memberikan tekanan pada individu.
- Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), perlunya selalu up to date dan menjadi yang pertama mengetahui hal-hal baru. Persyaratan ini dapat menimbulkan rasa malu yang besar jika dianggap tidak dipatuhi.
Diri sendiri: Diri sendiri mencakup faktor-faktor berikut:
- Kebutuhan psikologis, yaitu keinginan yang ingin dicapi seseorang.
- Proses pengenalan diri, yaitu tuntutan individu untuk terus melakukan sesuatu yang diinginkannya sesuai dengan perkembangannya.
Pikiran: Pikiran adalah penilaian individu terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap dirinya sendiri serta persepsi individu terhadap lingkungan.
Sehubungan dengan bagaimana masyarakat menilai dirinya sendiri dan bagaimana perubahan dapat dilakukan. Menurut Hernawati (dalam Barseli, Ifdil, dan Nikmarijal, 2017), seseorang yang mengalami stress mempunyai gejala emosional dan fisik seperti:
Gelaja emosional
Orang yang terkena dampak stress akademik secara emosional dapt merasakan cemas, khawatir, dan sedih. tuntutan akademis, dan mereka mungkin juga merasa bahwa mereka memiliki harga diri yang rendah atau bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan tugas akademis mereka. Bagain ini menguraikan teori-teori relevan yang melatarbelakangi topik penelitian dan mengulas beberapa penelitian terdahulu yang penting serta memberikan acuan dan landasan bagi penelitian ini. Jika suatu hipotesis ada, maka hipotesis tersebut dapat dinyatakan tanpa menyatakannya dan tidak harus dipertanyakan.
Gejala fisik: Gejala fisik stress akademik antara lain kepala, pusing, gangguan tidur, insomnia, nyeri punggung, diare, kelelahan, dan kurangnya motivasi belajar.
Gejala emosi: Depresi, ketidaksabaran, kemurungan, kecemasan, kegelisahaan, mudah menangis, gelisah, panik, dan perilaku impulsif.
Gejala perilaku: Gejala perilaku meliputi perilaku agresif, ketidakpedulian, kurang perhatian, menyalahkan orang lain, melamun, mondar-mandir, dan perubahan perilaku sosial.
Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Gangguan tidur ini biasanya terjadi pada orang dewasa (Fatimah, 2016). Insomnia secara umum di definisikan sebagai perasaan subjektif dari tidur yang singkat dan tidur yang tidak memuaskan. Insomnia di tandai dengan keluhan sulit tidur, tetap tidur, bangun terlalu dini atau kurang tidur (Nicholson, 2017). Insomnia mengacu pada persepsi bahwa seseorang kurang tidur atau kualitas tidurnya buruk meskipun sudah cukup tidur, sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman saat tidur atau setelah bangun tidur. Sebenarnya insomnia bukanlah sebuah penyakit. Insomnia terkadang hanya merupakan gejala penyakit fisik, seperti kelelahan, kurang tidur, atau ketidak seimbangan emosi. (Buysse Daniel J, 2005) dalam (Zain, 2016).
Menurut Surgawa dan Nikado, (2019) ada beberapa faktor resiko terjadinya insomnia. Faktor-faktor berikut meliputi:
Emosi : Emosi yang tidak stabil menyebabkan insomnia. Upaya untuk menekan emosi, kecemasan dan depresi dapat menyebabkan insomnia.
Usia: Orang yang berusia diatas 50 tahun lebih rentan mengalami insomnia disbandingkan orang yang lebih muda.
Kebiasaan buruk: Kebiasaan buruk yang terlalu banyak dilakukan dapat menyebabkan insomnia. Kebiasaan buruknya antara lain konsumsi kafein, tidur berlebihan, merokok sebelum tidur, dan stress kronis.
Faktor lingkungan: Lingkungan yang bising, suhu ekstrim, dan perubahan lingkungan dapat menyebabkan insomnia.
Depresi: Depresi juga memicu insomnia. Depresi juga membuar anda ingin tidur sepanjang waktu. Dengan cara ini, penderita depresi bisa melepaskan beban hidupnya. Dengan demikian, depresi dapat menyebabkan insomnia dan sebaliknya. Gejala insomnia antara lain sulit tidur atau tidur nyenyak, rasa lelah saat bangun tidur dan kurang tenaga, sering merasa belum tidur sama sekali, sakit kepala di pagi hari, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, mata merah, dan kurang tidur di siang hari mengurangi konsentrasi dan meningkatkan stress dalam belajar (Oryza, 2016).
Menurut Santoso (Sarah, 2018) mahasiswa adalah orang-orang yang belajar di universitas, institute, atau akademi Pendidikan tinggi. Secara etimologis, mahasiswa terdiri dari dua kata, yaitu “maha” dan “siswa”. Maha artinya sangat agung dan sakti, sedangkan siswa artinya murid atau pelajar. Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa, yang digarapkan mampu bersaing dan mengharumkan nama bangsa, serta mampu menyatukan dan mengkomunikasikan gagasan dan hati nuraninya demu kemajuan bangsa. Dalam Masyarakat, mahasiswa juga dianggap cerdas atau ilmuwan. Selain itu, mahasiswa merupakan sumber daya yang sangat berharga. Harapan besar negara terhadap mahasiswa adalah menjadi pengikut yang sangat setia terhadap kemajuan bangsa khususnta dalam dunia Pendidikan (Sarah, 2018).
Kesimpulannya, stress merupakan bagian integral dari kehidupan manusia yang dapat menyerang individu di segala usia dan menimbulkan berbagai dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Akumulasi stress dapat berdampat buruk pada kesehatan fisik, kesejahteraan mental, dan kinerja akademik, khususnya si kalangan mahasiswa. Stress dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, seperti kecemasan, depresi, dan insomnia, dan sangat penting untuk mengatasi dan mengelola stress secara efektif untuk mencegah konsekuensi buruk.
Referensi:
Adheya, P., Denny, J. R., & Ika, F. (2019). Pengaruh Sikap Higiene Tidur terhadap Kejadian Insomnia pada Mahasiswa Universitas Mulawarman. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 2(4), 458–466.
Barseli, M., Ifdil, I. Dan Nikmarijal, N. (2017) “Konsep Stres Akademik Siswa,” Jurnal Konseling Dan Pendidikan, 5(3), Hal. 143–148.
Fatimah, Miharja, E., & Damaiyanti, M. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Sebelum Praktek Klinik Di Rumah Sakit Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa D-Iii Keperawatan Semester Ii Stikes Muhammadiyah Samarinda.
Gamayanti, W., Mahardianisa, M., & Syafei, I. (2018). Self Disclosure dan Tingkat Stres pada Mahasiswa yang sedang Mengerjakan Skripsi. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(1), 115–130.
Lubis, H., Ramadhani, A. Dan Rasyid, M. (2021) “Stres Akademik Mahasiswa Dalam Melaksanakan Kuliah Daring Selama Masa Pandemi Covid 19,” Psikostudia : Jurnal Psikologi, 10(1), Hal. 31.
Musradinur. (2016). Stres Dan Cara Mengatasinya Dalam Perspektif Psikologi. JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 183.
Musabiq, S., & Karimah, I. (2018). Gambaran Stress dan Dampaknya Pada Mahasiswa. Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 20(2), 74.
Nicholson, A. N., & Marks, J. (2017). Transient Insomnia. Insomnia, 29–36.
Nur,L. Dan Mugi, H. (2021) “Tinjauan Literatur Mengenai Stres Dalam Organisasi,” Ilmu Manajemen, 18(1), Hal. 20–30.
Nofrida, Saswati, and Maulana. 2020. “Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKES Harapan Ibu, Jambi 2020; 2: 336–43.
Oryza, W. (2016). Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa Tingkat Akhir Div Bidan Pendidik Reguler Dalam Penyusunan Skripsi Di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Aisyiyah Yogyakarta, 1(1), 1–208.
Purna, R.S. (2020) “Strategi Coping Stress Saat Kuliah Daring Pada Mahasiswa Psikologi Angkatan 2019 Universitas Andalas,” Jurnal Psikologi Tabularasa.
Ranti, N. B. P., Boekoesoe, L., & Ahmad, Z. F. (2022). Kebiasaan Konsumsi Kopi, Penggunaan Gadget, Stress dan Hubungannya dengan Kejadian Insomnia pada Mahasiswa. Jambura Journal of Epidemiology, 1(1), 20–28.
Sarah, H. (2018). Konsep Mahasiswa. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699
Saswati, N., & Maulani. (2020). Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa Prodi Keperawatan. Malahayati Nursing Journal, 2(2), 336–343.
Surgawa, E., & Nikado, H. (2019). Tingkat Insomnia Mahasiswa Tahap Sarjana dan Tahap Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Sujiato M, Kandou GD, Tucunan AAT. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Stress pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. JIKMU. 2015
Wulandari, F.E., Hadiati, T. (2017) “Hubungan Antara Tingkat Stres Dengan Tingkat Insomnia Mahasiswa/I Angkatan 2012/2013 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Medical.
Zain, N. Binti (2016) “Apa Itu Insomnia,” Jurnal Keperawatan, Hal. 7–14.
Zurrahmi, Z.R., Hardianti, S. (2021) “Hubungan Tingkat Stres Dengan Kualitas Tidur Pada Mahasiswa Akhir S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Pahlawan Tuanku.