ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 24 Desember 2024
Kesalehan Sosial Wujud Unggul dari Religiositas
Oleh:
Abu Bakar Fahmi1 & Eko A. Meinarno2
1Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. hamka
2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Salah satu narasi yang terus diulang untuk mengasah empati pada sesama adalah cerita Gadis Penjual Korek Api karya Hans Christian Andersen. Dalam ceritanya, ada gadis kecil yang miskin, menjual korek api di pinggir jalan. Saat itu malam Natal. Banyak orang bersuka cita. Berpakaian indah, bersenda gurau, membawa hadiah dan lainnya. Gadis ini menjual kotak korek api. Namun tidak ada yang membelinya. Semua sibuk dan terjebak dalam suasana suka cita. Semakin malam, cuaca makin dingin dan salju perlahan turun. Gadis ini mendekati restoran yang memiliki kaca yang lebar. Ia melihat orang-orang makan dan minum, sementara dia kedinginan dan kelaparan. Tidak ada orang menggubrisnya. Malam makin gelap, suasana makin dingin. Gadis ini butuh kehangatan, maka dia beranikan diri menyalakan korek api yang dia belum satu kotak pun terjual.
Sebatang menyala, dia senang. Batang kedua dia mulai merasa ada kehangatan. Batang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Tak terasa tinggal satu dua batang yang tersisa. Saat itu mulai ia melihat seakan ada ibunya (yang telah wafat) menghampirinya. Ia sangat senang dan bahagia. Namun saat korek padam, ibunya hilang. Tinggal sebatang, maka dia dengan hati-hati menyalakannya. Benar ibunya ada. Kali ini si Ibu tidak hanya menghampiri, tapi memeluknya dengan hangat dan mengajaknya pergi. Tentu gadis kecil ini mau. Esok paginya orang-orang berkerumun di sebuah trotoar. Mereka mengerumuni sosok tubuh yang membeku. Walau sosok itu sudah tidak bernyawa, semua tertegun, sosok itu seakan hangat dan bibirnya tersenyum. Si gadis kecil telah wafat.
Refleksi Psikologis
Kisah gadis kecil ini kami duga masih menjadi isu utama dalam kehidupan nyata. Namun, mungkin ada pesan universal Andersen yang perlu diingat. Kesukacitaan kita terhadap suasana religius jangan sampai meninggalkan semangat untuk berbagi terhadap sesama. Bisa jadi, bukan kesukacitaan kita pribadi yang diminta oleh Tuhan, tapi kita diminta untuk membuat kaum papa bersuka cita lebih dulu, baru diri kita. Kita perhatikan orang sekitar lebih dulu, baru diri kita. Kenyangkan tetangga-tetangga kita dulu, baru kemudian kita bisa bersuka cita. Jangan ada anak-anak kecil yang bernasib seperti gadis kecil tadi.
Konsep mengutamakan orang lain atas diri sendiri menjadi penting bagi manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Dalam kerangka pikir agama, menjadi hal penting dan didorong (Nasr, 2004; Rassool, 2021), bahkan ditekankan menjadi syarat keimanan dan bagian dari ciri-ciri orang yang bertakwa (Rassool, 2021) dalam agama Islam.
Ide dasar dari si gadis penjual korek api adalah ketika banyak orang yang mementingkan keceriaan diri sendiri sementara di sekitar kita terjadi kemiskinan. Christian Andersen, dan Tolstoy pujangga dan sastrawan besar Eropa (utara-timur, bukan barat) mengemukakan dengan narasi apik tentang kesalehan sosial. Mereka mampu memberikan gambaran tentang kesalehan sosial tidak dalam konsep, tapi sudah berani menyindir manusia yang diagung-agungkan nilai kemanusiaan, tapi ketika “tidak melihat ketidakberdayaan” maka ketidakberdayaan itu dianggap tidak ada. Dengan kata lain sindiran sosial yang dibangun, betapa orang mengutamakan ritual-ritual, daripada masalah sosial yang nyata di lingkungannya.
Religiositas: Hanya Variabel atau Tingkah Laku
Bagasra (2021) merangkum sejumlah penelitian yang berupaya mengukur secara empiris peran religiositas dalam membangun bentuk-bentuk normatif spiritualitas keterlibatan sosial (socially engaged spirituality) dalam populasi masyarakat muslim. Ditemukan adanya peran penting agama dalam meningkatkan perilaku prososial. Ditemukan pula tingginya tingkat perilaku filantropi keagamaan di kalangan umat Islam di Belanda. Penelitian lain juga menunjukkan agama sebagai motivator bagi keterlibatan dalam aktivisme sosial, politik, dan lingkungan di kalangan masyarakat muslim.
Sejumlah penelitian korelasional di Indonesia menemukan peran religiositas bagi perilaku prososial. Hasil penelitian menemukan bahwa tingginya religiositas berhubungan dengan tingginya perilaku prososial, anara lain pada remaja (Genisa et al., 2021), pelajar (Safrilsyah et al., 2020), guru (Muryadi & Matulessy, 2012), relawan COVID-19 (Rubiantari & Hazim, 2023), dan perawat di rumah sakit (Dwi Haryati, 2013).
Jika Memang Tingkah Laku, Apa Wujud dari Religiositas?
Pesan dari kisah gadis kecil karya Andersen di atas, bahwa kita seharusnya tidak boleh luput dari perhatian kepada orang yang membutuhkan di sekitar kita, meskipun dalam suasana keceriaan beragama, erat kaitannya dengan konsep yang disebut dengan altruisme. Altruisme menurut pandangan psikologi sosial merupakan motif atau dorongan yang memunculkan tingkah laku yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Batson, 2011). Meskipun psikologi sosial memandang altruisme sebagai motif, ilmuwan psikologi evolusioner dan psikologi perkembangan memandang altruisme sebagai tingkah laku (Fahmi, 2020).
Sejumlah penelitian menunjukkan adanya peran religiositas terhadap altruisme. Sejumlah aspek dalam agama berpengaruh bagi pemeluknya dalam menampilkan sejumlah jenis altruisme, baik altruisme yang berbasis kekerabatan maupun altruisme dalam masyarakat yang lebih kompleks (Saroglou, 2013). Tindakan altruisme pada pemeluk agama ditunjukkan dengan perilaku menolong kepada orang yang tidak dikenal atau asing. Sebuah penelitian yang menganalisis data dari 126 negara di dunia menemukan bahwa orang-orang yang religius, pemeluk agama minoritas di negaranya, dan orang-orang di negara-negara dengan agama yang beragam lebih cenderung membantu orang asing (Bennett & Einolf, 2017). Temuan ini menentang anggapan bahwa orang-orang yang beragama hanya membantu anggota komunitas agama mereka sendiri atau hanya membantu melalui jejaring sosial mereka sendiri. Penelitian yang melibatkan responden muslim usia dewasa awal di Iran menunjukkan bahwa religiositas dapat memprediksi perilaku altruisme (Zarghi & Bolghan-Abadi, 2021).
Namun, jika aspek situasional dipertimbangkan, memiliki pemahaman agama dalam diri seseorang tidak serta merta membuat dirinya menampilkan tingkah laku altruisme. Penelitian klasik yang dilakukan oleh Darley dan Batson (1973) pada siswa seminari menunjukkan hal ini. Dalam penelitian tersebut, subjek diminta menuju ke gedung lain di kampus untuk memberikan ceramah. Dalam dalam perjalanan subjek berpapasan dengan seseorang yang lusuh dan terkulai di suatu gang. Sebagian subjek diberi tahu bahwa mereka akan memberikan ceramah singkat tentang perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati, sedangkan subjek yang lain diberi tahu bahwa mereka akan memberikan ceramah tentang topik yang tidak terkait dengan menolong (dalam hal ini, topik tentang apa pekerjaan yang menarik dan efektif bagi siswa seminari). Beberapa subjek diminta untuk bergegas ke gedung lain, sedangkan yang lain tidak diminta untuk bergegas. Subjek yang memiliki pemahaman agama dalam pikiran mereka, yakni tentang perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati, tidak lebih mungkin untuk berhenti dan memberi bantuan kepada orang yang butuh pertolongan. Dalam penelitian ini, variabel situasi, yakni waktu, justru memiliki dampak signifikan. Subjek yang terburu-buru secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk berhenti dan membantu daripada subjek yang tidak terburu-buru.
Dalam menanggapi penelitian klasik ini, Preston et al. (2014) menyimpulkan bahwa efek pengaktifan konsep keagamaan pada perilaku altruisme terjadi dalam interaksi yang tidak langsung. Menurutnya, hubungan antara agama dan perilaku altruisme kemungkinan besar muncul dari sejumlah mekanisme kognitif dan sosial yang berbeda-beda. Beberapa mekanismenya antara lain (Preston et al., 2014): niat prososial (konsep agama meningkatkan niat prososial sehingga memunculkan tingkah laku altruisme), kerja sama (mengaktivasi konsep agama meningkatkan orang untuk bekerja sama dan menolong), perilaku anti-sosial yang rendah (paparan konsep agama dapat menurunkan perilaku mencontek), dan moral komunal (penekanan pada jenis moral berupa kesetiaan kelompok, rasa hormat terhadap otoritas, dan kemurnian yang ada dalam sistem agama membuat individu melakukan tindakan altruisme).
Penutup
Kisah gadis kecil penjual korek api mengajarkan kita untuk tidak lalai dalam menjalani peran religius, termasuk saat kita berada dalam suasana suka cita religius. Peran religius yang dimaksud adalah menampilkan kesalehan sosial dalam bentuk perilaku menolong kepada orang lain yang membutuhkan bantuan. Ada sejumlah mekanisme yang membuat orang religius memberikan bantuan, namun ada juga mekanisme yang menunjukkan sebaliknya: orang yang punya pemahaman agama gagal memberikan bantuan kepada orang lain yang ditemui di depan mata yang benar-benar membutuhkan bantuan. Memahami mekanisme kognitif dan sosial pada orang-orang religius dalam menunjukkan tingkah laku altruisme dapat memandu kita agar tidak ada gadis kecil-gadis kecil lain di sekitar kita yang merana karena tidak mendapatkan pertolongan.
Referensi:
Bagasra, A. (2021). Socially Engaged Islam: Applying Social Psychological Principles to Social Justice, Faith-Based Activism and Altruism in Muslim Communities (pp. 29–49). https://doi.org/10.1007/978-3-030-72606-5_2
Batson, C. D. (2011). Altruism in Humans. In Oxford University Press.
Bennett, M. R., & Einolf, C. J. (2017). Religion, Altruism, and Helping Strangers: A Multilevel Analysis of 126 Countries. Journal for the Scientific Study of Religion, 56(2), 323–341. https://doi.org/10.1111/jssr.12328
Darley, J. M., & Batson, C. D. (1973). “From Jerusalem to Jericho”: A study of situational and dispositional variables in helping behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 27(1), 100–108. https://doi.org/10.1037/h0034449
Dwi Haryati, T. (2013). Kematangan Emosi, Religiusitas Dan Perilaku Prososial Perawat Di Rumah Sakit. Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 2(2), 162–172. https://doi.org/10.30996/persona.v2i2.109
Fahmi, A. B. (2020). Perspektif tentang altruisme. Buletin KPIN, 6(04).
Genisa, O., Safaria, T., & Aulia. (2021). Perilaku Prososial Remaja di Tinjau dari Kecerdasan Emosional dan Religiusitas. Insight : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 17(2), 278–296. https://doi.org/10.32528/ins.v
Muryadi, & Matulessy, A. (2012). Religiusitas, Kecerdasan Emosi dan perilaku Prososial Guru. Jurnal Psikologi, 7(2), 544–561.
Nasr, S. H. (2004). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity Introduction to Islam. HarperOne.
Preston, J. L., Salomon, E., & Ritter, R. S. (2014). Religious prosociality: Personal, cognitive, and social factors. In Vassilis Saroglou (Ed.), Religion, Personality, and Social Behavior. Psychology Press. https://doi.org/10.4324/9780203125359
Rassool, G. H. (2021). Islamic psychology: Human behaviour and experience from an islamic perspective. In Islamic Psychology: Human Behaviour and Experience from an Islamic Perspective. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780429354762
Rubiantari, M., & Hazim, H. (2023). The Relationship Between Religiosity and Altruistic Behavior on Covid-19 Volunteers of Muhammadiyah Sidoarjo. Journal of Islamic and Muhammadiyah Studies, 5, 1–5. https://doi.org/10.21070/jims.v5i0.1572
Safrilsyah, S., Akmal, S., & Mahmud, S. (2020). Religiosity, the Use of Online Media, and the Youths’ Prosocial Behavior in Aceh. https://doi.org/10.4108/eai.1-10-2019.2291697
Saroglou, V. (2013). Religion, spirituality, and altruism. In K. I. Pargament, J. J. Exline, & J. W. Jones (Eds.), APA handbook of psychology, religion and spirituality (pp. 439–457). American Psychological Association. https://doi.org/10.4324/9781003357698-15
Zarghi, M., & Bolghan-Abadi, M. (2021). The Altruism Trait: The Role of Religiousness. Journal of Religion and Health, 60(2). https://doi.org/10.1007/s10943-019-00900-z
