ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 21 November 2024

 

Strategi Manajemen Stres pada Anak Pasca

Perceraian Orang Tua

 

Oleh:

Listiya Ismi Amaliya, Yrinne Naara Cheny Age

Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

 

Bayangkan seorang anak usia Sekolah Dasar yang tadinya memiliki orang tua  lengkap dan hidup bersama dalam satu rumah dengan bahagia, namun secara tiba tiba dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa orang tuanya tidak lagi tinggal bersama. Apa yang akan anak usia tersebut rasakan? Apa yang dapat terjadi dengan aspek aspek dalam perkembangannya? Perceraian: Guncangan dalam Kehidupan Anak. Perceraian tidak hanya tentang dua orang dewasa yang memutuskan untuk berpisah. Perceraian adalah peristiwa yang berdampak pada seluruh anggota  keluarga, terutama anak-anak. Perceraian orang tua berdampak luas pada kehidupan anak, meliputi aspek pendidikan, kehidupan sosial, emosional, kesehatan, harga diri, tempat bernaung, keamanan, dan lain-lain (Bah, 2019). Perceraian dapat  menyebabkan anak-anak usia sekolah (6-11 tahun) menghadapi perasaan  ditinggalkan, rasa bersalah, dan kemarahan yang diekspresikan melalui perilaku  agresif atau penarikan diri, cemas dan depresi (Broadwell, 2023)

 

Penelitian Anderson (2014) menemukan bahwa perceraian orang tua  meningkatkan risiko masalah penyesuaian diri dan kesehatan mental (seperti kecemasan dan depresi) hingga usia dewasa. Amato dan Sobolewski (2001) menyatakan bahwa perceraian orang tua berhubungan dengan kesejahteraan psikologis yang lebih rendah di usia dewasa, termasuk ketidakbahagiaan, kurangnya  kepuasan hidup, lemahnya self-control, serta gejala kecemasan dan depresi. Hal ini  menunjukkan bahwa perceraian orang tua berdampak jangka panjang pada kesejahteraan psikologis anak. Risiko masalah penyesuaian diri dan kesehatan mental pada individu dari keluarga bercerai menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan bagi mereka. Orang tua tentu memiliki tanggung jawab penuh atas pengasuhan anak mereka meski telah berpisah.

 

Perceraian orang tua membuat anak berhadapan dengan berbagai perubahan  dalam hidupnya. Anak berupaya menyesuaikan diri dengan peraturan dan rutinitas  yang baru, adanya perubahan finansial atau bahkan standar hidup, konflik orang tua  mengenai hak asuh serta sulitnya mengatur kembali hubungan antara kedua orang  tua dan anak (Zartler, 2021). Perceraian mengakibatkan adanya perubahan sikap dari orang tua, seperti ketidakpedulian terhadap perkembangan anak, tidak mementingkan  pendidikan anak, bahkan anak dapat menumbuhkan kebencian, dendam, dan amarah  pada orang tuanya, sehingga terjadi konflik batin, menderita, tekanan, rasa tidak aman  dan malu, serta bersalah (Sukmawati & Oktora, 2021). Lalu, apa yang bisa dilakukan  orang tua untuk membantu anak mengatasi segala tantangan dalam hidupnya?

 

Solusi Menghadapi Guncangan. Untuk mengatasi dan menekan dampak-dampak negatif, strategi manajemen stres yang efektif sangat penting dilakukan. Melalui beberapa tinjauan penelitian,  Pedro-Carroll (2011) menawarkan beberapa cara yang dapat orang tua lakukan sebagai upaya mengatasi stres pada anak pasca perceraian, yaitu Pola Asuh Efektif. Orang tua perlu menunjukkan cintanya melalui kata-kata, sentuhan fisik, dan menghabiskan waktu bersama. Pendisiplinan yang efektif melibatkan penetapan batasan jelas, pemantauan perilaku, dan penegakan  aturan konsisten. Komunikasi terbuka, rutinitas keluarga, dan membantu anak  mengembangkan keterampilan mereka sendiri juga penting. Selain itu, orang  tua dapat membantu anak memahami bahwa perceraian adalah masalah orang  dewasa dan bukan kesalahan mereka. Kualitas Hubungan. Hubungan orang tua dan anak yang berkualitas dapat  dilakukan dengan berbagai cara, seperti meluangkan waktu bersama, memberi  penguatan atas kelebihannya, mendengarkan tanpa menghakimi dan menanggapi dengan empati serta menegaskan cinta yang abadi dan tanpa  syarat bagi anak-anak mereka.

 

Memahami Emosi. Untuk memahami emosi, orang tua dapat membantu anak  mengidentifikasi dan menyatakan perasaannya sebagai cara mengelola emosi  dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan. Meluangkan waktu  berinteraksi personal, mendengarkan dengan empati, memperhatikan isyarat  nonverbal, dan merefleksikan pemahaman tentang perasaan anak-anak. Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan tidak menghakimi, anak  terdorong untuk lebih terbuka dalam berbagi perasaannya, sehingga  meningkatkan pemahaman antara keduanya. Menghindari Konflik dengan Pasangan. Masing-masing orang tua tidak saling memusuhi dan menyalahkan. Mengubah hubungan dengan pasangan  menjadi mitra pengasuhan yang saling menghormati, menetapkan batasan dan  aturan dasar yang jelas, dan dalam kasus konflik tinggi, menerapkan  pengasuhan paralel dengan kontak terbatas. Rencana pengasuhan yang efektif harus disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan anak dan fleksibel  terhadap perubahan keadaan.

 

Membangun Ketahanan. Peran orang tua sangat penting dalam manajemen stres anak, terutama setelah perceraian karena usia kanak-kanak pertengahan masih perlu dukungan penuh dari kedua orang tua. Kedua orang tua harus berusaha menjaga komunikasi  positif demi kepentingan anak, sehingga konsistensi dalam pengasuhan dan aturan antara dua rumah tangga dapat tercipta, membuat anak merasa aman dan stabil. Namun, dalam beberapa kondisi, bantuan profesional juga diperlukan, seperti ketika  anak menunjukkan tanda-tanda stres berlebihan (depresi, kecemasan akut, atau perubahan perilaku ekstrem). Terapi yang sesuai, seperti terapi bermain atau terapi kognitif-perilaku yang disesuaikan untuk anak-anak dapat sangat membantu.

 

Setiap anak adalah unik dan memerlukan pendekatan yang berbeda dalam  mengelola stres pasca perceraian. Fleksibilitas, kesabaran, dan cinta yang konsisten  adalah kunci dalam membantu anak-anak menghadapi masa-masa sulit. Dengan  strategi yang tepat dan dukungan yang memadai, anak-anak tidak hanya bertahan  dari pengalaman perceraian orang tua, tetapi juga belajar mengarungi kehidupan  dengan lebih baik. Mereka bisa tumbuh menjadi individu yang tangguh dan adaptif,  dan siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan.

 

Referensi:

Amato, P. R., & Sobolewski, J. M. (2001). The effects of divorce and marital discord  on adult children’s psychological well-being. American Sociological Review66(6), 900–921. https://doi.org/10.2307/3088878

Anderson, J. (2014). The impact of family structure on the health of children: Effects  of divorce. The Linacre Quarterly, 81(4), 378–387.  https://doi.org/10.1179/0024363914Z.00000000087

Bah, M. Y. (2019). Divorce and its negative impacts on children. Science World Journal  of Pediatrics, 1(1), 1–20.

Broadwell, L. (2023). How divorce affects children, age by age. Parents.com.  https://www.parents.com/parenting/divorce/coping/age-by-age-guide-to-what children understand-about-divorce/

Pedro-Carroll, J. L. (2011). How parents can help children cope with  separation/divorce. Encyclopedia on early childhood development, 17–23.

Sukmawati, B., & Oktora, N. Dela. (2021). Dampak perceraian orang tua bagi  psikologis anak. SETARA: Jurnal Studi Gender dan Anak, 3(2), 24–34.  https://doi.org/10.32332/jsga.v3i2.3801

 

Zartler, U. (2021). Children and parents after separation. In Research Handbook on  the Sociology of the Family (hal. 300–313). Edward Elgar Publishing.  https://doi.org/10.4337/9781788975544.00029