ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 16 Agustus 2024
Breaking the Stigma: Rape Trauma Syndrome
Oleh:
Nurul Adiningtyas
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Rape Trauma Syndrome atau Sindroma Trauma Kekerasan Seksual (RTS) telah diidentifikasi oleh Ann Wolbert Burgess dan Lynda Lytle Holmstrom (1974) di pertengahan tahun tujuh puluhan setelah mempelajari pola khas korban kekerasan seksual. RTS menggambarkan proses yang dilalui oleh penyintas (survivor) kekerasan seksual dalam menghadapi ketakutan yang dialami selama serangan seksual. Meskipun masing-masing penyintas memiliki pengalaman mereka sendiri, ada beberapa karakteristik umum yang mereka miliki. Karakteristik ini adalah hasil langsung dari rasa takut yang mendalam yang melekat dalam kekerasan seksual.\
RTS dicirikan oleh tiga fase, yaitu fase akut, fase penyesuaian diri, dan fase reorganisasi jangka panjang (Chivers-Wilson, 2006). Fase akut terjadi segera setelah penyerangan ketika korban berada dalam krisis dan mengalami berbagai macam reaksi emosional. Fase akut dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu setelah serangan. Ini merupakan respon terhadap gangguan total pada hidup penyintas dan kengerian akibat kekerasan seksual. Respon pada fase akut ini berbeda-beda pada setiap penyintas. Ada yang menangis, ada yang tertawa, ada yang benar-benar diam, dan ada pula yang melakukan rutinitasnya seperti biasa seakan tidak terjadi apa-apa.
Penting untuk diingat bahwa tidak ada cara yang “benar” atau “salah” dalam bereaksi setelah peristiwa kekerasan seksual. Terkadang stigma di masyarakat menuntut penyintas perkosaan untuk menunjukkan sikap dan perilaku tertentu, padahal cara mereka merespon trauma tersebut unik dan sering kali di luar logika orang-orang yang tidak pernah mengalami perkosaan. Berbagai respon yang dikeluarkan oleh penyintas dalam menghadapi trauma dapat digolongkan ke dalam dua kategori, mengekspresikan dan mengontrol. Penyintas yang cenderung mengekspresikan trauma yang dialaminya cukup terbuka dengan emosi mereka dan berada dalam kondisi emosional. Contoh dari pengekspresian emosi adalah dengan cara berteriak, menangis, marah-marah, atau menunjukkan agitasi. Sedangkan penyintas yang cenderung mengontrol trauma yang dialaminya akan cenderung menyimpan emosi mereka, menunjukkan afek datar dan berusaha untuk mengendalikan sikap dan perilaku mereka. Tidak ada respon yang lebih baik di antara kedua respon ini karena keduanya merupakan respon terhadap trauma.
Selama fase akut, penyintas masih merasa tidak percaya bahwa mereka baru saja mengalami perkosaan dan cenderung mati rasa. Penyintas seakan-akan merasa bahwa tubuh yang baru saja mengalami kekerasan seksual ini bukanlah tubuh mereka. Penyintas mungkin merasa dipermalukan, bingung, kotor, malu, atau bahkan merasa bahwa mereka ikut bertanggung jawab akan tindak kekerasan seksual yang baru saja mereka alami. Kekhawatiran tentang kondisi fisik mereka (seperti kemungkinan terkena penyakit menular, lebam-lebam akibat kekerasan dan kehamilan) juga muncul selama fase akut (Fulero & Wrightsman, 2008).
Fase akut ini dapat digambarkan sebagai segala sesuatu dalam dunia penyintas menjadi terbalik dan keteraturan dalam dunia penyintas berubah menjadi kekacauan. Penyintas sudah tidak dapat mengenali hidup mereka sendiri dan kekacauan ini mengakibatkan pada munculnya mimpi buruk, peningkatan rasa cemas, dan ketidakmampuan untuk terkoneksi dengan emosi mereka sendiri
Fase kedua adalah Penyesuaian Diri, ketika korban mengalihkan fokus dari kekerasan seksual, sering kali dengan tingkat penyangkalan yang tinggi, dan melibatkan diri dalam aktivitas sehari-hari yang normal. Penyintas berusaha menunjukkan pada orang lain bahwa ia baik-baik saja (sehingga periode ini disebut juga Outward Adjustment atau fase “bawah tanah”) (Chivers-Wilson, 2006; Bhaumik, 2022). Penyintas mencoba kembali menjalani hidup mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Selama periode ini, mereka mungkin mencoba untuk memblokir pikiran tentang penyerangan dari benak mereka. Mereka mungkin tidak ingin membicarakan kejadian tersebut dan cenderung menghindari tempat atau situasi yang dapat mengingatkan mereka akan peristiwa kekerasan seksual yang mereka alami. Beberapa orang mungkin bertahan dalam fase ini selama bertahun-tahun.
Ketika penyintas berhasil melewati fase penyesuaian diri, maka penyintas akan memasuki Fase Reorganisasi, di mana penyintas berusaha untuk mengatur kembali hidup mereka. Fase ini mengundang segudang emosi seperti rasa takut, kecemasan, penolakan, dan yang paling utama adalah hilangnya rasa aman dan rasa percaya. Penyintas sering sekali merasa bahwa usaha mereka untuk menata hidup selalu diliputi perasaan bersalah, malu, kecemasan, dan takut. Mereka berusaha untuk mulai bersosialisasi namun hilangnya rasa aman dan kemampuan untuk mempercayai sering kali menghalangi usaha mereka.
Penyintas mengintegrasikan kekerasan seksual ke dalam self-image mereka sendiri dan berusaha untuk mencari closure atas kekerasan seksual yang mereka alami. Ada banyak efek psikologis yang perlu dipertimbangkan setelah penyerangan seksual seperti perasaan malu, bersalah, cemas atau depresi. Perasaan-perasaan ini mungkin bahkan lebih kuat dan lebih berbahaya jika korban tidak menerima dukungan dari keluarga, teman atau pihak berwenang
Reaksi jangka panjang dari kekerasan seksual termasuk ketidakmampuan untuk menemukan kedamaian di dunia ini. Kekerasan seksual dapat mengubah penyintas selamanya dan juga cara mereka memandang dunia ini. Hasil akhirnya merupakan kekacauan yang berlangsung secara terus-menerus. Terkadang, penyintas bahkan tidak menyadari apa yang terjadi dalam diri mereka dan merasa bahwa tubuh yang kotor dan memalukan itu bukanlah tubuh mereka sehingga mereka sering merasa kehilangan arah karena tidak mampu menerima tubuh mereka sebagai bagian dari diri mereka.
Aspek kognitif adalah salah satu aspek dari psikis penyintas yang paling terpengaruh oleh kekerasan seksual. Runtuhnya rasa pengaman yang selama ini mereka percaya membuat mereka mempersepsikan segala sesuatu secara berbeda. Berikut adalah hal-hal yang berubah dari pola pikir penyintas:
1. Dunia bukanlah tempat yang aman
2. Saya sudah tidak utuh lagi
3. Seks adalah kegiatan yang menyakitkan
4. Tidak ada orang yang dapat dipercaya
Salah satu bagian dari proses menyembuhan adalah menemukan sistem kepercayaan yang tulus. Sering kali penyintas dapat mengidentifikasi secara verbal bahwa pihak yang harus disalahkan adalah pelaku kekerasan seksual, namun setelah digali lebih dalam, banyak dari mereka yang menyalahkan diri sendiri atas kekerasan seksual yang mereka alami. Sangat penting agar penyintas mencari bantuan yang dibutuhkan untuk mengatasi kepercayaan yang mengakibatkan masalah pada berbagai aspek kehidupannya. Dengan menjalin hubungan dengan sesama penyintas, mereka dapat saling berbagi dan saling membantu satu sama lain untuk mencari kekuatan mereka. Kekerasan seksual dapat berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam, namun dampaknya dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Hasilnya merupakan sekelompok gejala yang hanya dapat diselesaikan dengan penyadaran pada diri penyintas akan emosi yang sebetulnya mereka rasakan dan pemberdayaan diri.
Pemahaman dari pihak keluarga dan lingkungan juga sangat berperan untuk membantu penyintas menerima peristiwa perkosaan sebagai bagian dari dirinya yang tidak dapat diubah namun bukan karena kesalahannya. Dengan adanya penerimaan tersebut, penyintas diharapkan akan dapat mengatasi rasa bersalah, terhindar dari situasi dimana ia dipersalahkan, dan pada akhirnya mendorong penyintas untuk dapat berdaya untuk mengatasi konflik emosionalnya serta berfungsi seperti individu pada umumnya.
Referensi:
Bhaumik, U. (2022). Rape Trauma Syndrome: A Retrospective Study Of Post-Traumatic Stress Disorder After Sexual Assault Among Indian Women. Asean Journal of Psychiatry, Vol. 23(3) March, 2022; 1-9.
Burgess, A. W., & Holmstrom, L. L. (1974). Rape Trauma Syndrome. American Journal of Psychiatry, 131(9), 981–986. doi:10.1176/ajp.131.9.981
Chivers-Wilson KA. (2006) Sexual assault and posttraumatic stress disorder: a review of the biological, psychological and sociological factors and treatments. Mcgill J Med. 2006 Jul;9(2):111-8. PMID: 18523613; PMCID: PMC232351
Fulero, S.M. & Wrightsman, L.S. (2008). Forensic Psychology (3rd Edition). Belmont, CA: Cengage Learning.