ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 16 Agustus 2024
Catatan Editorial: Mengapa Ada Pojok Pabrik Ide?
Oleh:
Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Artikel ini adalah tulisan pertama yang didesain untuk menjadi pemicu pemikiran khususnya dalam ilmu psikologi. Demikian juga dengan kolom khusus yang dibuat khusus untuk Pojok Pabrik Ide.
Pabrik ide ini mencoba untuk mengajak teman-teman ilmuwan psikologi untuk dapat mengekspresikan ide-ide tentang psikologi, atau pengembangan ide metode penelitian, atau mengajukan konsep-konsep yang belum matang. Hal ini muncul karena banyak hal di sekitar kita yang selama ini dibahas dengan konsep dan teori psikologi, tapi kemudian ada aspek lain yang belum tergali atau tersentuh.
Peneliti antropologi besar Indonesia yakni Koentjaraningrat pernah menyatakan bahwa Indonesia adalah laboratorium sosial terbesar di dunia. Hal yang diamini dan diwujudkan oleh banyak peneliti, salah satunya Suwarsih Warnaen. Suwarsih ini yang kemudian menjadi ilmuwan psikologi sosial asal Universitas Indonesia yang meneliti stereotip beberapa suku bangsa yang ada di Indonesia.
Bukan hanya masalah stereotip dari suku-suku bangsa, banyak peneliti lain yang mengkaji kekayaan kebudayaan kita. Salah satunya adalah James Danandjaja yang meneliti tentang folklor orang Jawa. Bayangkan, dari kisah rakyat ia dapat meneliti dan menjadi Guru Besar di Universitas Indonesia. Baru-baru ini ada seorang penerima nobel 2019 yakni Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer meriah nobel berbasis penelitian tentang kebijakan ekonomi dan pendidikan di Indonesia era Orde Baru. Dapat dibayangkan, siapa yang lelah membuat kebijakan nasional, siapa yang menjalankannya, siapa yang berkorban, tapi yang meraih nobel adalah pihak luar Indonesia (ini juga terjadi pada ide Komunitas Terbayang, konsep kebangsaan yang dikeluarkan oleh Benedict Anderson, padahal konsep kebangsaan itu diambil dari kekaguman dia terhadap Sumpah Pemuda 1928). Dari berbagai contoh tadi yang hendak saya angkat adalah, banyak situasi dan keadaan di Indonesia yang dapat menjadi kajian dan takkan ada habis-habisnya.
Indonesia dan Psikologi
Sebagai contoh, bagaimana kita dapat menjelaskan tentang riset Triplet sekitar tahun 1880-an yang meneliti adanya kekuatan sosial di sekitar individu saat melakukan sesuatu dengan situasi dan kondisi di Jawa pada masa yang sama? Apakah anak-anak yang bersepeda bersama dengan anak bangsawan Jawa, misalnya anak adipati, anak sultan maka anak-anak lainnya akan mengayuh sepeda dengan kecepatan yang sama? Dengan kata lain, apakah temuan dari Triplet dapat diuji ulang dengan kondisi khas di Jawa?
Kasus-kasus sosial di sekitar kita juga semakin mudah kita ketahui. Beberapa hal yang menjadi kejadian yang memilukan. Selama 2022-2024 ini misalnya kita mengetahui kematian yang tidak diketahui orang lain (warga) sama sekali, sampai mayatnya membusuk atau bahkan menjadi kerangka. Kondisi ini mungkin agak mirip dengan kejadian kematian Kitty Genovese yang sering menjadi contoh dalam psikologi sosial bagian tingkah laku menolong. Secara garis besar Kitty tidak mendapat pertolongan dari tetangga sekitarnya. Mirip bukan dengan gejala yang hadir baru-baru ini? Bedanya, di Amerika Serikat gejala ini menimbulkan pemikiran dan penelitian baru, di Indonesia belum.
Begitupun dengan metode penelitian, khususnya dalam hal skala pengukuran dan pengetesan. Banyak konsep psikologi barat yang kemudian diukur dengan alat ukurnya menghasilkan data yang tidak sama dengan apa yang dibayangkan. Namun bukan berarti individu yang diukur tadi lemah di bidang yang diukur. Bisa jadi memang konsep itu tidak ada dalam benak orang Indonesia. Dengan demikian dibutuhkan upaya penyelarasan dengan tidak merusak ide besarnya. Dalam perspektif kebudayaan, kisah Mahabharata mengenal konsep poliandri (perempuan bersuami banyak). Sementara kisah ini digunakan oleh Wali Songo dalam mengajarkan Islam. Dalam Islam tidak ada konsep poliandri, tapi konsep poligini (pria beristri banyak) dapat diterima. Maka ada satu adegan yang “dibuang”, karena dianggap tidak merusak keutuhan cerita Mahabharata. Atau dalam psikologi dikenal tes Children Apperception Test. Tes berupa gambar yang direspon oleh anak dengan cerita atau narasi. Namun ada gambar yang sengaja diubah oleh Singgih D Gunarsa agar lebih dapat dipahami anak Indonesia. Ada tokoh dalam gambar yang tidak dipahami karena tidak ada dalam benak anak-anak Indonesia (saat itu), semisal kanguru.
Penutup
Artikel perdana ini memang singkat, karena sifatnya memang pembuka. Sebagai pembuka, artikel ini dapat dianggap bersifat bebas atau bahkan liar. Saya menyadari hal itu, dan juga dengan penuh kesadaran mengajak para pembaca untuk lebih kritis memikirkan, apa yang dapat saya lontarkan di kelas (khususnya kelas penelitian di tingkat sarjana, magister, dan doktor) agar dapat diteliti? Apa yang menjadi khasnya bagi orang Indonesia? Metode apa yang mungkin saya buat agar hal itu terungkap dengan baik? Lantas tunggu apa lagi? Pojok Pabrik Ide ini akan mencoba untuk menjadi pemicu kajian dan penelitian psikologi di Indonesia. Tak lupa, terima kasih untuk pengelola Buletin KPIN yang memberikan satu ruang ekspresi ilmiah lagi bagi ilmuwan psikologi Indonesia. Ingat, ini pabrik ide, jadi harus produksi terus.