ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 16 Agustus 2024

Pengaruh Trauma Anak Usia Dini terhadap Risiko Gangguan Psikologis Bipolar

 

 Oleh :

Astu Naya Nuraini Rahayu, Egi Prawita

Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 tentang Perlindungan Anak menggambarkan anak sebagai seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Anak-anak yang hidup dalam keluarga dan komunitas yang tidak sehat mempunyai risiko lebih tinggi untuk menjadi korban penelantaran, kekerasan langsung, kehilangan orang tua teladan, dan juga berisiko mengalami trauma di kemudian hari (Ali, 2016). Anak merupakan anggota keluarga, makhluk hidup yang dianggap lemah baik secara fisik maupun dalam memenuhi segala kebutuhannya. Anak memerlukan ruang yang menunjang tumbuh kembangnya serta hak-haknya sebagai anak. Idealnya, anak diberi rangsangan dan diberikan lingkungan yang mendukung tumbuh kembangnya , agar tumbuh kembang anak baik secara fisik, kreatifitas, emosional dan terutama perkembangan sosial dan moralnya.

Trauma berasal dari bahasa Latin yang berarti “luka” dan menggambarkan pengalaman manusia dalam bereaksi terhadap suatu peristiwa atau peristiwa (Irwanto dan Kumala, 2020). Saat ini, dalam konteks psikologi dan psikiatri, trauma diartikan sebagai “suatu kejadian luar biasa yang bersifat mengancam fisik dan harga diri individu serta dianggap dapat menyebabkan kematian sehingga menimbulkan rasa takut yang luar biasa, rasa tidak aman, dan rasa tidak berdaya ketika peristiwa itu terjadi”.Trauma adalah tingkah laku individu yang tidak normal karena mengalami suatu kejadikan yang sangat membekas sehingga menggangu psikis dan sulit untuk dilupakan. Trauma yang dialami dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan berujung pada terhentinya aktivitas Ketika seseorang sudah mengalami trauma dibutuhkan menanganan oleh ahlinya seperti memberikan konseling psikologi yang diharapkan bisa membantu kesehatan jiwanya dan bisa pulih kembali. Jadi, individu yang mengalami trauma sangatlah membutuhkan penanganan seperti konseling psikologi yang diharapkan bisa membuat psikisnya bisa sehat kembali. Luka psikologis sama pentingnya dengan luka fisik, dan jika tidak ditangani dengan baik, luka tersebut dapat bertambah besar dan menimbulkan konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang terkena dampaknya.

Saat mengalami trauma, individu tidak langsung menyadari bahwa dirinya mengalami trauma akibat suatu peristiwa. Trauma psikologis adalah gangguan psikologis yang terjadi akibat peristiwa atau kejadian yang bersifat traumatis. Peristiwa traumatis dapat terus diderita, dialami, dan dialami dalam jangka waktu yang lama, dan dapat terulang kembali oleh orang yang terkena dampak. Peristiwa ini menyulitkan individu untuk mengelola dan mengintegrasikan ide dan emosinya. Trauma dapat terjadi ketika peristiwa traumatis seperti kekerasan, pemerkosaan, atau intimidasi sering terjadi dalam kehidupan seseorang, baik secara individu maupun dalam jumlah besar (konflik bersenjata atau bencana alam).Trauma bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang ras, usia, atau zaman.Pengalaman traumatis menyebabkan perubahan struktur (perubahan) dan fungsi otak serta cara otak merespons stresor. Orang yang pernah mengalami trauma mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kesehatan fisik dan mental, perilaku, dan kreativitasnya. Tanpa bantuan, orang tersebut akan mengalami trauma jangka panjang. Pada penderita yang mengalami trauma, fungsi hipokampus menjadi rusak sehingga tidak mampu memproses informasi dengan baik dan benar, maka informasi ke amigdala menjadi salah dan amigdala juga akan bereaksi salah dengan mengaktifkan pengontrol bahaya berupa adrenalin dan norepinefrin dalam dosis yang berlebihan untuk menanggapi kasus yang tidak begitu mengancam, sehingga seseorang yang telah mengalami peristiwa traumatis akan merespons suatu peristiwa dengan tidak tepat. Akibatnya akan menimbulkan rasa takut, cemas, sensitif terhadap suatu ancaman yang sebenarnya sangat kecil dan mengalami gangguan dalam sosialisasi dengan orang lain (Anggadewi, 2020).

Trauma masa kanak-kanak merupakan pengalaman tidak menyenangkan pada anak yang dapat menimbulkan dampak jangka panjang dan terwujud dalam stres dan perilaku berlebihan pada masa remaja. trauma masa kanak-kanak berhubungan signifikan dengan psikopati pada masa remaja. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa trauma masa kanak-kanak dapat mempengaruhi berbagai aspek dan menimbulkan masalah psikologis pada remaja.Maka tampak bahwa pengalaman-pengalaman yang terjadi pada masa kanak-kanak memiliki resiko atau dapat berdampak terhadap perilaku di masa remaja. Trauma masa kanak-kanak merupakan suatu pengalaman yang dinilai kurang baik atau buruk bagi anak-anak yang mengalaminya. Pengalaman- pengalaman buruk yang mereka alami cenderung serius sehingga memungkinkan untuk berdampak pada masa remaja maupun masa dewasa. Irwanto dan Kumala (2020) menyebutkan bahwa pada anak-anak, perilaku yang terbentuk karena pengalaman traumatis dapat mengakar dan tertanam dalam perkembangan kepribadian mereka. Pada masa kanak-kanak, pertumbuhan dan perkembangan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor maka bukan menjadi hal yang tidak mungkin ketika anak mengalami trauma maka dapat berdampak pada perkembangan selanjutnya di masa remaja. Trauma masa anak meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penolakan fisik, penolakan emosional, dan menyaksikan kekerasan (Nihayah, dkk, 2022). Akibat dari trauma masa kanak-kanak seringkali berubah dan bisa saja berbeda setiap individu, salah satu akibat nya yaitu gangguan psikologis yang akan dialami pada usia remaja, seperti halnya gangguan mood atau bipolar.

Bipolar merupakan suatu gangguan mood yang dicirikan dengan adanya fluktuasi mood ekstrim serta euphoria yang menyebabkan depresi berat, dan dijembatani dengan periode mood normal. Bipolar berasal dari kata bi serta polar, bi adalah dua dan polar merupakan kutub, sehingga dapat disimpulkan bahwa bipolar adalah gangguan perasaan yang bertolak belakang (Rani Anggraini Purba dan Yohanis Franz La Kahija, 2017).Adapun fase pengidap bipolar sendiri terbagi menjadi tiga yaitu Fase Manik, Hipomanik, dan Fase Depresi. Orang yang mengidap bipolar mengalami perubahan suasana hati yang cepat, mereka bisa mengalami euphoria, merasa senang dan kemudian berganti menjadi kemarahan atau kesedihan (Sawdina, Septi & Ida 2023). Perubahan mood pada individu dengan gangguan bipolar ditandai dengan pergantian episode manik (manic) dan depresi (depression), dimana dalam episode manik penderita bipolar akan menunjukkan antusiasme serta kepercayaan diri yang tinggi.

Pada tahapan awal, ganguan yang dialami merupakan timbul gejala fase mania yang lebih ringan atau hipomania. Fase mania terjadi dengan ditandai perubahan mood yang sangat mendalam dan berlangsung setidaknya selama 1 minggu. Adapun beberapa gejalanya adalah Sangat senang atau Bahagia, bicara lebih sering dan sangat cepat, tetapi tidak seperti keadaan normal, percaya diri yang berlebihan, Keinginan untuk tidur menurun, Sering membuat keputusan yang tidak realistis, Jarang merasa lapar. Yang selanjutnya yaitu Fase Depresif, penderita gangguan bipolar biasanya akan mengalami fase depresif selama 2 minggu ganguan atau gejala fase depresif yang umum terjadi antara lain sangat sedih dan putus asa, gelisah, enggan beraktivitas, mudah lelah, sulit berkonsentrasi atau berpikir, perasaan bersalah atau tidak berharga, gangguan tidur, seperti sulit tidur atau bangun terlalu dini, pesimis terhadap segala hal, nafsu makan hilang atau sebaliknya bertambah, dan muncul keinginan untuk bunuh diri. Dalam dua fase tersebut, penderita bipolar biasanya akan mengalami fase normal (euthymia). Pada fase ini, penderita akan terlihat baik-baik saja, memiliki emosi yang stabil, dan bisa beraktivitas seperti biasa. Namun, fase normal bukan menandakan penderita sudah sembuh tetapi fase ini dapat berlangsung selama beberapa tahun sebelum gejala gangguan bipolar kambuh kembali. Penderita gangguan bipolar juga dapat mengalami fase mania dan depresif secara bersamaan. Sebagai contoh, penderita bisa sangat bersemangat, tetapi beberapa saat kemudian ia merasa sangat sedih. Kondisi ini dikenal dengan gejala campuran atau mixed state (Purba, La kahija 2017)

Gangguan bipolar merupakan salah satu masalah kejiwaan yang masih kurang dipahami masyarakat. Bipolar adalah gangguan pada perasaan seseorang akibat masalah di otak. Gangguan ini ditandai dengan perpindahan (swing) mood, pikiran, dan perubahan perilaku. Gangguan bipolar merupakan salah satu masalah kejiwaan yang masih kurang dipahami. Gangguan bipolar sering disebut juga manic depression. Gangguan bipolar ditandai dengan merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tidak berarti, mudah bosan, penuh keputusasaan, hilangnya minat dan inisiatif, gairah kerja menghilang, sikapnya acuh tak acuh, menipisnya rasa tanggung jawab, dan mempertanyakan kehadirannya di dunia Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa yang memiliki impact besar terhadap emosional. Individu dengan gangguan bipolar, baik yang bermanifestasi klinis maupun subklinis, memiliki gangguan fungsinya pada 30% atau lebih dari kehidupannya (Astriliana & Erin, 2023). Terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu dengan bipolar dan individu sehat. Perbedaan tersebut tampak dalam fungsi sosial, pekerjaan, finansial, pendidikan, harga diri, dan fungsi lain dalam kehidupan sehari-hari, termasuk harga diri dan kepercayaan diri. Individu bipolar dengan gejala depresi menunjukkan penurunan kualitas hidup yang lebih berat (Hadiarni, 2017). Penurunan kualitas hidup yang rendah juga dihubungkan dengan makin banyaknya episode kekambuhan, lamanya durasi episode kekambuhan, dan pada individu dengan kognisi yang lebih rendah.

Meskipun hingga saat ini banyak ahli yang menyebutkan belum ada obat yang menyembuhkan bipolar, keluarga dapat menjadi suatu dukungan yang mendukung perkembangan seorang bipolar secara terapis. Terapi suportif merupakan psikoterapi yang melibatkan antara penyandang bipolar melalui percakapan dengan mendengarkan apa yang mereka ungkapkan (Pardian, 2019). Terapi ini dinilai dapat membawa penyandang bipolar menyeimbangkan emosional secara cepat dengan meminimalisir gejala yang ada. Meskipun cenderung sederhana, terapi ini mempunyai pengaruh positif dalam memulihkan fungsi psikis seseorang, baik fungsi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selain terapi suportif, keluarga juga dapat melakukan psikoedukasi dengan menerapkan informasi yang diperoleh selama kegiatan penyuluhan guna meminimalisir kecenderungan penyandang bipolar untuk kambuh dan meminimalisir dampak gangguan tersebut kepada anggota keluarga lainnya. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Kebede psikoedukasi berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan keluarga serta menurunkan kecemasan keluarga terhadap penyakit bipolar (Afriani & Wa 2022). Melalui terapi ini, diharapkan pasien dapat memperkuat serta mengembangkan usaha pengendalian yang kuat. Psikoedukasi merupakan kegiatan penyuluhan dengan mengumpulkan keluarga guna membahas suatu permasalahan yang berkaitan dengan bipolar. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, karena pada psikoedukasi mengandung unsur meningkatkan pengetahuan keluarga terkait gangguan tersebut dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota penyandang bipolar. Selama proses pembelajaran, seringkali melibatkan perubahan pada neuron dan sinapsis, sehingga dapat mengembangkan kemampuan kognitif. Omranifard (Puteri, Siti, & Syarip, 2022) berpendapat bahwa terbentuknya neuron terjadi di sepanjang kehidupan manusia untuk menstimulasikan pengalaman belajar yang diperoleh sesuai informasi.

Studi tentang pengaruh trauma anak usia dini terhadap risiko gangguan bipolar menunjukkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kedua faktor tersebut. Trauma masa kanak-kanak, seperti kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan emosional, telah terbukti berkontribusi pada berbagai dampak psikologis pada remaja, termasuk gangguan bipolar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mengalami trauma masa kanak-kanak memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan bipolar, di antaranya adalah kecemasan, ketidakmampuan dalam mengendalikan diri, mudah beremosi negatif, dan masalah dalam bersosialisasi. Selain itu, trauma masa kanak-kanak juga dapat menjadi determinan dari perilaku bunuh diri dan depresi pada remaja. Dalam konteks praktis, temuan ini menunjukkan pentingnya pengidentifikasian dan intervensi dini terhadap trauma anak usia dini untuk mengurangi risiko perkembangan gangguan bipolar pada remaja. Psikoedukasi juga dapat menjadi salah satu pendekatan yang efektif dalam membantu remaja dan keluarganya menghadapi dampak trauma dan mencegah perkembangan gangguan bipolar. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan intervensi yang komprehensif perlu dilakukan untuk mengatasi dampak trauma masa kanak- kanak guna mengurangi risiko gangguan bipolar pada remaja. Dengan demikian, penulis dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai hubungan antara trauma anak usia dini dan risiko gangguan bipolar. Implikasi dari temuan ini dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan program intervensi dan psikoedukasi yang lebih terarah dalam upaya pencegahan dan manajemen gangguan bipolar pada populasi remaja yang mengalami trauma masa kanak-kanak.

Referensi :

Afriani, L., Wa, O, N.,(2022). Pengalaman komunikasi terdiagnosis bipolar studi fenomenologi pada mahasiswa di bandung. Journal Unla. 2-4.

Ali, R. (2016). Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Anak.

Jupekn, 1(1), 1–11

Anggadewi, B, E. (2020). Dampak Psikologis Trauma Masa Kanak-kanak Pada Remaja. Solution : Jurnal of Counseling and Personal Development.

2(2), 1-5.

Astriliana, M., Erin, R. (2023). Penagalam sebagai pasien dengan gangguan bipolar tipe 1 ( Sebuah Interpretative phenomenologicaal analysis). Jurnal empati. 13(1), 79-85.

Dinarti & Anta, S. (2021). Mengenal gangguan bipolar. National institute of mental health.

Hadiarni. (2017). Child abuse: Rekonstruksi ke arah kesehatan mental.

Empowering Local Wisdom on Education for Global Issue. 215-221. Irwanto, Hani Kumala. Memahami Trauma: Dengan Perhatian Khusus Pada

Kanak kanak. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2020), hlm 65 Nihayauh, U., Misya’lul, M., Amali., Ina. (2022). Konseling Traumatik:sebuah

pendekatan dalam mereduksi trauma psikologis. Sultan Idris Journal of Psychology and Education. 1(2),2-6.

Maramis, M. M. (2022). Gangguan Bipolar dan Psikoedukasi. Surabaya: Airlangga University Press.

Pardian, D. (2019). Penerapan Terapi Suportif Dengan Teknik Guidance Untuk Meningkatkan Penghayatan Makna Hidup Pada Penderita Gangguan Bipolar Pondok Pesantren Al Hamid Cibubur. Jurnal Psikologi, 17(1), 14–19.

Purba, R. A., & La Kahija, Y. F. (2017). Pengalaman terdiagnosis bipolar: Sebuah interpretative phenomenological analysis. Jurnal Empati, 7 (3), 323-329.

Purnawan, A., Junifer,D. (2023). Dampak kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat gangguan mental terhadap anak. COMSERVA : Jurnal penelitian dan pengabdian masyarakat. 3(7), 2882-2885

Puteri, S., Siti, D., Syarip, H. (2022). Perangcanagan buku ilustrasi interaktif the ups and down mengenai mental health bipolar disorder tipe II bagi remaja. e-Proceeding of Art & Design. 8(5), 2093-2095.

Rani Anggraini Purba dan Yohanis Franz La Kahija. (2017). Pengalaman Terdiagnosis Bipolar: Sebuah Interpretative Phenomenological Analysis. Jurnal Empati, 7(3), 323–329.

Sawdina D.,Septi A.,Ida R. (2023). Pengaruh Psikoedukasi dan terapi Supportif terhadap pemulihan psien bipolar. Jurnal Pendidikan Trnasformatif (Jupetra). 2(2), 39-42

Yusuf, A. H., Fitryasari PK, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa.