ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 08 April 2024
Gray Divorce: di Kala Perpisahan Terjadi di Usia Senja
Oleh:
Jessica Ariela
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Belum lama ini penulis mengunjungi sebuah kafe untuk bekerja. Saat sedang bekerja, tibalah sekumpulan ibu berusia paruh baya yang datang dan duduk tepat di sebelah penulis. Pembicaraan antara para ibu pun terdengar jelas di mana mereka sedang merencanakan pergi berlibur bersama, mungkin arisan sekaligus bertamasya. Namun, ada sebuah celetukan dari seorang ibu, “Pergi-pergi terus lu, nanti dicerein (diceraikan), lho!” Celetukan ini terdengar sederhana dan asal bunyi, tetapi sesungguhnya keluar dari suatu akar pemikiran dan, mungkin, ketakutan yang mendalam. Bagi kelompok usia paruh baya, bisa jadi pernikahan saat ini adalah tentang companionship, di mana suami dan istri saling menemani dan belajar mengisi hidup satu sama lain di saat hidup memasuki kondisi yang lebih sepi. Namun, di usia ini jugalah, ada ketakutan terhadap kebosanan dalam pernikahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa isu-isu dalam pernikahan sesungguhnya akan terus menjadi isu yang relevan, tidak peduli berapa lama seseorang sudah menikah. Bahkan, individu dan pasangan yang memasuki usia paruh baya tidak lepas dari isu ini, yang menyebabkan munculnya tren “gray divorce,” yakni perceraian yang terjadi pada individu di usia 50 tahun ke atas. Data di Amerika Serikat tahun 2015 menunjukkan 10 dari 1,000 pasangan usia 50 tahun ke atas mengalami perceraian, meningkat dua kali lipat dari angka perceraian di tahun 1990 (Sodoma, 2021). Bahkan, bagi pasangan di atas usia 65 tahun, angka perceraian bahkan mencapai tiga kali lipat kenaikannya dalam 25 tahun (Sodoma, 2021).
Dari segi perkembangan manusia, berikut ini adalah beberapa faktor yang mungkin mendorong atau menyebabkan pernikahan yang sudah berlangsung bertahun-tahun justru berakhir dengan perceraian di usia madya:
- Penurunan fungsi fisiologis. Tidak dapat dipungkiri bahwa di usia madya, terdapat beberapa penurunan fungsi tubuh (Papalia & Martorell, 2021). Massa otot mulai berkurang menyebabkan kekuatan fisik juga tidak seperti saat masih muda. Bagi wanita, beberapa perubahan fisik menimbulkan tidak hanya dampak secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Menopouse, misalnya, dapat menimbulkan perubahan mood. Penurunan produksi kolagen dapat menimbulkan keriput yang mungkin mulai membuat wanita cemas. Hal ini tentu membutuhkan adanya penyesuaian ekspektasi dari dan terhadap diri sendiri dan juga pasangan.
- Empty nest. Salah satu transisi yang sering terjadi bagi pasangan yang memiliki anak adalah empty nest, yakni kondisi di mana seluruh anak telah pergi dari rumah, dan kini di rumah hanya tinggal suami dan istri saja (Papalia & Martorell, 2021). Pasangan yang biasanya memfokuskan perhatian dan energi pada anak mungkin akan mengalami kesulitan dalam penyesuaiannya dan membuat konflik dapat terjadi.
- Krisis identitas dan perubahan yang terjadi. Dari segi sosial emosional, terkadang dapat terjadi juga krisis identitas di usia madya. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh berbagai perubahan yang terjadi, seperti stres dalam pekerjaan, kejenuhan dalam karier yang sudah mulai stabil dan rutin, anak yang beranjak dewasa disusul dengan empty nest, perencanaan untuk pensiun, dan sebagainya. Hal ini membuat individu dewasa madya kembali mempertanyakan mengenai dirinya, apa yang ingin ia capai dalam hidup ini, dan orang seperti apakah dirinya.
1. Lantas, apa yang perlu dipersiapkan dalam membangun suatu pernikahan yang awet? Berikut ini dua rekomendasi praktis yang dapat diterapkan, baik bagi pasangan dewasa madya, maupun bagi pasangan muda:
1. Memprioritaskan pasangan. Dalam pernikahan, seringkali fokus dan prioritas diberikan kepada anak. Padahal, pasangan suami/istri adalah individu yang akan menemani sampai hari tua, dan merupakan unit inti dari sebuah keluarga. Pasangan muda dapat melatih diri untuk mulai memprioritaskan pasangan, sehingga aspek companionship bukanlah suatu hal yang asing saat memasuki usia paruh baya.
2. Small things often (Gottman & Silver, 2018). John Gottman & Julie Gottman merupakan pasangan suami-istri peneliti dan praktisi dalam bidang pernikahan menyarankan bahwa pasangan suami istri perlu sesering mungkin melakukan hal-hal kecil yang positif/bermakna bagi pasangannya. Seringkali hubungan romantis menekankan pada hal-hal fantastis dan bombastis yang dilakukan seseorang untuk pasangannya, misalnya perjalanan Impian, memberikan hadiah mewah, dan sebagainya. Tentu hal tersebut baik, tetapi yang lebih menentukan keberhasilan pernikahan adalah hal-hal kecil yang positif yang dilakukan setiap harinya. Misalnya seperti membantu mencuci piring, mengucapkan terima kasih, mengucapkan kata-kata sayang, menawarkan pijatan, masak bersama, dan sebagainya. Hal-hal kecil ini diumpamakan seperti sebuah tabungan emosional, di mana semakin banyak terjadi, makin banyak tabungan emosional positif yang dimiliki pasangan tersebut.
Kedua hal di atas dapat mulai dipraktekkan oleh pasangan muda, tetapi tentu belum terlambat untuk dilakukan juga oleh pasangan paruh baya. Tentunya, jika memerlukan bantuan lebih mendalam, tidak ada salahnya bagi pasangan suami istri untuk melakukan konseling pernikahan dengan praktisi profesional.
Referensi
Gottman, J. & Silver, N. (2018). The Seven Principles for Making Marriage Works. London: Orion Publishing Group, Limited.
Papalia, D. E. & Martorell, G. (2021). Experience Human Development, 14th Ed. New York, NY: McGraw-Hill Higher Education.
Sodoma, N. (2021, 4 Mei). 'Gray divorce' — getting divorced later in life — is on the rise. Here's how an attorney says you should handle separation when you're older. Business Insider. Retrieved from https://www.businessinsider.com/gray-divorce-attorney-insights-separation-when-older