ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 09 Mei 2024
"Boys don’t cry”: Stereotip Laki-laki dalam Budaya Patriarki
Oleh:
Rizqi Darmawan, Nicholas Simarmata
Program Studi Psikologi, Universitas Udayana
Mayoritas masyarakat Indonesia masih menganut budaya patriarki yang sangat kuat. Artinya laki-laki memiliki kedudukan yang “lebih tinggi” dibandingkan oleh perempuan dalam struktur sosial. Laki-laki lebih kesempatan dan otoritas yang lebih besar untuk melakukan sesuatu seperti menjadi pemimpin dalam suatu kelompok. Budaya patriarki cenderung sulit untuk diubah karena terdapat keberlanjutan dari tradisi budaya lokal atau adat yang menjunjung nilai-nilai dominasi laki-laki dalam masyarakat. Hal ini membuat perempuan dianggap sebagai masyarakat “kelas dua” (Sakina, 2017). Meskipun demikian, patriarki tidak hanya menimbulkan dampak yang negatif bagi perempuan tetapi juga menimbulkan dampak negatif bagi laki-laki (Wayan & Nyoman, 2020).
Budaya patriarki memandang laki-laki sebagai sosok yang dominan dan kuat. Sehingga laki-laki dituntut untuk tidak menunjukan kelemahannya. Pemahaman semacam ini cenderung sudah ditanamkan sejak kecil atau belia. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian yang menyatakan bahwa terdapat 69,1% orang tua yang memiliki bias gender kategori rendah dan 10,8% orang tua yang memiliki bias gender kategori tinggi yang berpikir bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis. Saat anak laki-laki diejek oleh temannya, biasanya ia akan menahan dirinya agar tidak menangis di depan temannya, ia berusaha untuk terlihat gagah dan percaya diri. Padahal saat pulang ke rumah ia akan menangis, kemudian orang tuanya memarahi anak tersebut dan mengatakan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis. Padahal menangis merupakan ekspresi emosi seorang anak agar mereka merasa lebih tenang (Hadianti, 2010). Saat anak menghadapi masalah dirinya, mereka belum bisa untuk dapat memecahkan masalahnya sendiri. Sehingga secara naluriah anak kecil akan menangis sebagai cara untuk meredakan rasa stres yang dirasakannya. Bagi sebagian orang tua, ketika anaknya yang laki-laki menangis karena menghadapi sebuah masalah, hal pertama yang ditanggapi oleh mereka adalah tangisannya karena dianggap lemah. Adanya pemikiran bahwa laki-laki tidak boleh menangis karena akan tampak lemah, hal itu membuat mereka cenderung tumbuh dengan mengabaikan perasaan yang dimiliki. Semakin bertambah dewasa, mereka akan semakin susah untuk mengungkapkan perasaan dan stres yang dimilikinya.
Patriarki berasal dari kata patriarkat. Definisi tersebut menjelaskan bahwa laki-laki memiliki tingkatan sebagai penguasa tunggal, utama dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi sampai ke berbagai lini kehidupan manusia. Patriarki merupakan sebuah kelas atau sistem sosial yang menyatakan bahwa laki-laki secara historis dan struktural memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada perempuan dalam banyak aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, budaya, dan keluarga. Hal ini menyebabkan laki-laki dituntut untuk tampil sebagai sosok yang besar dan dominan (Anto et al. 2023).
Menangis menjadi sebuah tanda kelemahan dalam masyarakat berbudaya patriarki. Oleh karena itu, laki-laki dalam masyarakat tersebut sering merasa tertekan karena mereka berusaha untuk menahan emosi yang mereka rasakan ketika menghadapi situasi yang sulit. Laki-laki dituntut untuk dominan dan kuat sehingga ketika menangis sering sekali dipandang sebagai tanda kelemahan yang dapat mengancam citra maskulin laki-laki. Karena laki-laki dituntut untuk selalu terlihat kuat maka hal itu membuat dirinya tidak bisa menunjukan kesedihan yang dialaminya atau kejujuran atas perasaannya. Hal ini cenderung membuat laki-laki yang terikat dengan budaya patriarki memiliki tingkat stres yang lebih tinggi yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan psikologis dan peningkatan risiko gangguan mental seperti depresi (Wong et al. 2019). Padahal menangis dapat membantu mengurangi tingkat stres dan mengembalikan keseimbangan emosional pada individu yang sedang mengalami tekanan psikologis. Tangisan dapat meningkatkan empati dan dukungan sosial dari orang lain yang pada gilirannya dapat memperkuat hubungan interpersonal. Pandangan bahwa menangis dianggap sebagai tanda kelemahan juga mengabaikan betapa beraninya seseorang untuk menunjukkan emosi secara terbuka. Memperlihatkan kelemahan atau kerentanan merupakan langkah yang memerlukan keberanian serta kejujuran terhadap diri sendiri.
Dalam hal ini, menangis bisa dilihat sebagai bukti dari keberanian untuk menghadapi dan menerima emosi secara langsung. Bukan sebagai indikasi bahwa seseorang tidak mampu mengendalikannya (Rottenberg et al. 2003). Oleh karena itu, perspektif ini menyimpulkan bahwa menangis bukanlah penanda kelemahan. Tetapi malah menunjukkan keberanian yang mencerminkan kesehatan mental, kemampuan untuk berkomunikasi secara emosional, dan keberanian dalam menghadapi serta menerima emosi. Dengan mengambil perspektif ini makakita dapat menilai bahwa menangis sebenarnya merupakan hal yang positif dan kuat, bukan sesuatu yang lemah atau buruk.
Referensi:
Anto, R. P., Harahap, T. K., Sastrini, Y. E., Trisnawati, S. N. I., Ayu, J. D., Sariati, Y., & Mendo, A. Y. (2023). Perempuan, Masyarakat, Dan Budaya Patriarki. Penerbit Tahta Media.
Hadianti, A. N. (2010). Pendidikan Gender Pada Anak Usia Dini. Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan, 2(4).
Rottenberg, J., Wilhelm, F. H., Gross, J. J., & Gotlib, I. H. (2003). Vagal rebound during resolution of tearful crying among depressed and nondepressed individuals. Psychophysiology, 40(1), 1-6.
Sakina, A. I. (2017). Menyoroti budaya patriarki di Indonesia. Share: Social Work Journal, 7(1), 71-80.
Siron, Y., Asbi, S. A., Amalia, P. R., & Cahyani, L. (2023). Anak Laki-laki Tidak Boleh Menangis?: Bias Gender Pengasuhan Anak Usia Dini. NANAEKE: Indonesian Journal of Early Childhood Education, 6(2), 75-94.
Wayan, K. Y. I., & Nyoman, S. (2020). Women and cultural patriarchy in politics. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal) Vol, 3(3), 2158-2164.
Wong, Y. J., Cheung, C. K., & Chan, A. H. (2019). The role of masculine honor ideology in men's experience of the societal pressure to demonstrate traditional masculinity. Psychology of Men & Masculinities, 20(3), 388-399