ISSN 2477-1686 

Vol. 10 No. 07 April 2024

 Ilmuwan Psikologi Sosial jangan Sampai “Bermata tapi Tak Melihat*”

Oleh:

Eko. A. Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Perang di Gaza (Oktober 2023-sampai tulisan ini ditulis) adalah bentuk genosida bertopeng invasi yang mungkin baru pertama kali dalam sejarah manusia. Diawali dengan satu serangan terkoodinasi dari Hamas terhadap Israel, yang kemudian dibalas dengan invasi penuh ke Gaza, wilayah Palestina. Sampai tulisan ini dibuat invasi ini belum berakhir. Korban dari invasi ini bukan lagi pria dewasa yang menjadi pejuang kemerdekaan Palestina. Bukan lagi politisi Hamas dan pasukannya yang memang mempunyai misi perjuangan melawan Israel. Namun korban sudah sampai anak-anak dan perempuan dan melebar sampai fasilitas umum/Kesehatan serta petugas pemberi bantuan juga menjadi sasaran (RS Indonesia, atau kontingen World Central Kitchen/WCK).  Tidak ada penghormatan atas hari-hari suci keagamaan (Ramadhan atau Paskah, termasuk Idul Fitri), dan tidak ketinggalan merembet pada kantor diplomatik resmi di negara lain.

Kesimpulannya, perang ini hanya proses pembunuhan massal berkedok perang, yang memburu kelompok teroris. Atas kejadian tersebut, beberapa pemerintahan negara melakukan aksi yang jarang terjadi, misal Bolivia menyatakan putus hubungan diplomatik dengan Israel. Masyarakat di berbagai negara, termasuk warga Amerika Serikat (misal organisasi Codepink, https://www.youtube.com/shorts/0vvD0NI-x-k) melakukan aksi penentangan terhadap Israel atau kebijakan Amerika Serikat yang mendukung serangan Israel ke Gaza.

Kalangan ilmuwan dari lintas negara tampaknya pun terusik dengan apa yang terjadi. Setidaknya terdapat pernyataan dari ilmuwan Jerman mengenai kebijakan negaranya terhadap Israel selama ini (https://statementisraelgaza.wordpress.com/ diunduh medio April 2024). Kita ketahui bersama, Jerman sejak berdirinya Israel senantiasa menjadi pendukung utama segala kebijakan Israel terhadap Arab dan Palestina. Kali ini mereka mulai mempertanyakan kebijakan itu setelah beberapa kejadian seperti pemboman WCK terjadi. Sering kita mendapati kisah perlakuan NAZI Jerman terhadap Yahudi Eropa sebagai acuan genosida (Meinarno, Widianto, & Halida, 2015; Schaefer, 2019). Kisah itu yang kemudian memunculkan banyak ide teori seperti logoterapi oleh Victor Frankl, teori identitas sosial dari Tajfel, dan lain-lain. Dan seakan hanya ada satu korban yang paling menderita saat perang dunia kedua (PD II).

Padahal ada juga kekerasan lain yang setara atau bahkan lebih mengerikan yang terjadi sebelum atau sesudah holocaust. Beberapa yang tercatat misalnya pembantaian orang Indian Amerika oleh kulit putih Eropa di abad 17-19 (Schaefer, 2019), pembantaian orang Aborigin Australia oleh pendatang kulit putih Inggris di abad 18-19, atau pembataian di Asia Tenggara dalam konteks politik (Putra, Rufaedah, Thontowi, Pohlman, & Louis, 2024). Mengapa kekejaman-kekejaman tadi tidak menjadi rujukan menjelaskan genosida misalnya? Atau mungkin tidak mudah ditemui di buku-buku rujukan sebagai contoh genosida yang sama dengan holocaust.

Psikologi yang Terbuka dan Berwawasan (lebih) Luas

Isu psikologi disinyalir sejak akhir abad 20 sebagai ilmu yang bias, khususnya acuan tingkah laku yang diambil adalah dari kalangan kulit putih, tinggal di belahan utara bumi, kelas menengah, dan berpendidikan tinggi (Benson & Grove, 2000). Dengan kondisi ini, apakah memang psikologi juga menjadi ilmu yang dibatasi oleh apa yang muncul lebih dulu di utara dan kulit putih menjadi lebih penting daripada gejala yang muncul pada masyarakat bukan utara dan kulit putih?

Ilmuwan psikologi sangat familiar dengan kejadian holocaust, saat NAZI Jerman melakukan pembersihan etnis (suku bangsa) Yahudi di bumi Eropa. Dengan kata lain inilah yang sering dipinjam untuk menjelaskan genosida (Meinarno et al. 2015; Schaefer, 2019). Kejadian ini yang kemudian menjadi dasar pikir kemanusiaan dan bahkan teori-teori psikologi.  Kita perlu membuka wawasan bahwa ada peluang bahwa bias itu kemudian membawa ilmuwan psikologi di belahan bumi timur-selatan, khususnya Indonesia juga tidak dengan mudah menegakkan pendapat. Pendapat keilmuan maupun pendapat kemanusiaan. Misalnya, konflik Israel-Palestina tanggal 7 Oktober 2023, buru-buru dipisahkan antara Hamas dan Israel. Hamas dianggap yang penyebab perang, padahal aksi Hamas secara obyektif pun adalah perlawanan terhadap penjajah. Hamas buru-buru dipisahkan dengan Palestina. Padahal adalah fakta juga bahwa Hamas lahir dari Palestina, yang mencoba menjadi bagian pihak-pihak yang mengusahakan kemerdekaan Palestina. Dan memisahkan akar masalah keberadaan Israel sejak tahun 1948 dengan perang 7 Oktober 2023. Tampaknya, walau terlihat obyektif, tapi cara ini membawa kita tidak sensitif lagi pada isu kemanusiaan yang terpajang di depan mata.

Kita tahu fakta bahwa Gaza (wilayah Palestina) telah didesain tertutup oleh Israel sejak lama. Warga Gaza tidak bisa bergerak, karena semua perbatasannya adalah dengan Israel, kecuali sebagian dengan Mesir. Warga tidak bisa bergerak, akses terbatas, menjadikannya mirip penjara terbuka raksasa. Tidak heran saat serangan balik Israel, dengan mudah Gaza dibombardir dari darat, laut dan udara. Dan karena Hamas (orang Palestina) dianggap penyerang awal, maka serangan balik Israel menjadi suatu yang wajar. Hal ini didasari pemikiran bahwa Israel adalah negara yang mewakili orang-orang Yahudi yang dizalimi oleh NAZI Jerman, sehingga Israel saat ini jangan sampai dilukai lagi oleh siapapun. Selanjutnya, karena dianggap sebagai penyerang, warga Gaza diabaikan pihak-pihak “penjaga kemanusiaan dunia”. Dengan kata lain Gaza sendirian.

Posisi Peneliti/Ilmuwan Psikologi Sosial jangan sampai Bermata tapi tak Melihat

Ilmu pengetahuan bisa saja (dan harus) obyektif, bersifat tidak membedakan dan berlaku untuk semua. Namun ilmu pengetahuan pun tetap harus menjadi nyala api kemanusiaan, termasuk ilmuwannya. Dari potongan sejarah kita tahu bahwa Albert Einsten, Kurt Lewin, dan lain-lain meninggalkan Jerman saat kebijakan NAZI Jerman yang rasis. Wernher von Braun ilmuwan roket Jerman sekaligus anggota partai NAZI (https://en-m-wikipedia), memilih untuk menyerah ke tentara Amerika Serikat (sekutu barat) daripada Uni Soviet, yang padahal juga sekutu Amerika Serikat dan Inggris saat PD II. Para ilmuwan menyingkir ketika politik menjadi/dianggap kejam, dan bersedia untuk menentang kekejaman itu. Perginya para ilmuwan tadi, bisa jadi awalnya hanya untuk menyelamatkan diri. Namun pada perkembangannya juga dapat memosisikan diri untuk melakukan perlawanan atas kekejaman yang ditinggalkannya. 

Sama halnya dengan serangan ke Gaza membuat kita menyadari adanya standar ganda kemanusiaan yang melingkupi masyarakat Gaza (beberapa negara Barat berbondong-bondong mengutuk operasi khusus Rusia ke Ukraina, sementara serangan Israel dianggap hal yang wajar dilakukan oleh negara berdaulat terhadap musuhnya). Kali ini aksi Israel mengusik fondasi kemanusiaan global. Bisa jadi tanah Palestina nun jauh di sana, tapi rasa kemanusiaan dapat menjangkau manapun tempat kemanusiaan diusik. Psikologi mempelajari tingkah laku dan memberi wawasan bagaimana dapat berguna untuk perbahan sosial (Banyard, 2022). Perubahan sosial itu adalah ketika warga Gaza menyatakan pendapatnya terhadap Israel melalui Hamas tanggal 7 Oktober 2023. Kenyataan ini menjadi, meminjam frase dari Andy Bell (2005), realitas sosial baru. Realitas sosial ini sama obyektifnya dengan holocaust. Kita sebagai ilmuwan dapat menerjemahkannya sampai memosisikan diri karena kita dengan jelas dapat mempersepsinya. Oleh karenanya, dapatkah psikologi sosial memberi kontribusi keilmuan sebagaimana Urban Dictionary, yang telah mengenalkan konsep baru yakni "Israeled" yang artinya "ketika ada seseorang meminta atau merebut sesuatu dari apa yang seharusnya milikmu" (Asih, 2023)? Gaza memberi sudut pandang baru, bahwa Yahudi Israel yang dulu korban bisa menjadi sama tingkah lakunya dengan pelaku. Dan saat ini si korban malah mencari korban lainnya. Perlu ditambahkan perspektif korban “yang dikorbankan” (Gaza bagian dari Palestina) dengan pembiaran sistematis (oleh negara-negara lain)? 

Penutup

Tulisan ini bisa jadi dianggap tendensius dan kadar obyektivitasnya rendah. Atau kadar empati penulis terhadap Palestina bisa juga dianggap terlalu tinggi. Kita sebagai bangsa pernah mengalami penjajahan oleh Belanda. Kita mengalami pedihnya penjajahan. Kita menegaskan semangat kemerdekaan dan antipenjajahan di dunia dalam pembukaan UUD 1945. Semangat itu menjadi ide kolektif kita. Sebagaimana psikologi sosial kita juga dimotori semangat antipenjajahan dan kesetaraan.  Realitas sosial yang ada tampaknya terlampau sulit untuk dipahami oleh nalar ilmiah obyektif yang berat ke utara. Jangan sampai perang di Palestina saat ini hanya menjadi catatan salah satu perang di dunia yang menyisakan tangis dan dendam, serta ketimpangan. Jangan juga bias obyektif menjadikan ilmuwan psikologi sosial kaku dan steril dari realitas sosial. Kekejian itu ada di depan kita, tepat di pelupuk mata kita.

*meminjam frasa “bermata tapi tak melihat” dari judul lagu yang dinyayikan grup penyanyi Bimbo.

Referensi:

Asih, RW. (2023). Urban Dictionary Munculkan Bahasa Gaul "Israeled", Ini Arti dan Penggunaannya". Diunduh dari https://lifestyle.bisnis.com/read/20231228/254/1727905/urban-dictionary-munculkan-bahasa-gaul-israeled-ini-arti-dan-penggunaannya medio April 2024.

Banyard, P. (2022). Controversy and psychology. Routledge.

Benson, NC., Grove, S. (2000). Mengenal psikologi for benginners. Mizan. Bandung.

Bell, A. (2005). Debates in psychology. Routledge.

Germany’s response to the Israel-Gaza conflict is out of line with its principles. https://statementisraelgaza.wordpress.com/ diunduh medio April 2024

Meinarno, E. A., Widianto, B., & Halida, R. (2015). Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pendekatan Antropologi dan Sosiologi. Ed. 3. Penerbit Salemba.

Putra, I. E., Rufaedah, A., Thontowi, H. B., Pohlman, A., & Louis, W. (2024). A theoretical model of victimization, perpetration, and denial in mass atrocities: case studies from Indonesia, Cambodia, East Timor, and Myanmar. Personality and social psychology review, 10888683241239097.

Schaefer, R.T. (2019). Sociology. A brief introduction. 13th ed. New York: McGraw-Hill.

Wernher von Braun (2024, 18 April). In Wikipedia https://en-m-wikipedia-org.translate.goog/wiki/Wernher_von_Braun?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc.