ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 15 Agustus 2023

 

Trauma Bounding: Menggengam Cinta dalam Derita

 

Oleh:

Jessica Amelia Anna

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Kita mungkin pernah mendengar kisah dimana seseorang tetap mempertahankan suatu relasi, meskipun ia tau bahwa dirinya mengalami kekerasan, baik secara verbal hingga fisik. Misalnya, seseorang yang enggan untuk putus dari kekasihnya, meskipun ia mengalami kekerasan dalam pacaran. Kemudian akan timbul pertanyaan, mengapa ia bersedia untuk bertahan dalam relasi tersebut? Apakah hanya semata-mata karena rasa sayang? Atau ada kebergantungan pada kebutuhan lainnya?

 

Kondisi kekerasan dapat menjadi sebuah siklus dalam relasi. Siklus berkekerasan dapat menimbulkan sebuah situasi yang disebut trauma bonding. Trauma bonding merupakan sebuah pola kelekatan yang dimiliki seseorang terhadap pelaku kekerasan (misal pasangannya), meskipun mengalami kekerasan secara berulang (Fonseca & Oliveira, 2021). Berbicara mengenai pola kelekatan, artinya individu mempersepsikan rasa aman dan nyaman pada figur lekatnya, dalam hal ini pada pelaku kekerasan. Pola kelekanan ini, biasanya berkembang karena adanya pengalaman diabaikan dan ditinggalkan ketika usia kanak-kanak.

 

Dalam studi neurobiologis, ditemukan bahwa kondisi neurologis saat kelekatan yang tercipta akibat relasi romantis, serupa dengan kondisi pada kasus adiksi. Hal ini menyebabkan kelekatan yang tercipta akan mendorong individu untuk trus mendapatkan stimulus rasa senang (dari sistem dopamin) dan akan mempengaruhi kemampuan kognitifnya. Situasi ini akan membuatnya sulit untuk dapat merefleksikan dengan jernih perlakuan menyakitkan yang dialaminya, sehingga ia sulit memutuskan untuk keluar dari lingkaran kekerasan tersebut. Di sisi lain, ada rasa takut dan khawatir (insecure), jika harus meninggalkan figur lekatnya dan kehilangan rasa aman dan nyaman yang ia persepsikan dalam relasi tersebut (Erozkan, 2016)     

 

Dalam studi yang dilakukan oleh Dutton & Painter (1993), ditemukan ketidakseimbangan kuasa/power, dapat membuat individu yang mengalami kekerasan merasa sangat bergantung dan sulit untuk meninggalkan relasinya dengan pelaku. Misal, kebergantungan secara finansial membuat individu menjadi bingung dan khawatir untuk keluar dan mencari bantuan dalam menghadapi relasinya dengan pelaku. Selain itu, siklus kekerasan juga akan mencakup adanya fase ‘honeymoon’ setelah perilaku kekerasan terjadi. Dimana, pelaku akan menunjukkan sikap lembut dan menyesal serta meromantisasi perilaku kekerasan dengan harapan ia dapat berubah di masa akan datang.

 

Pelaku juga terkadang memunculkan sikap dan pernyataan bahwa ia juga bergantung pada korban, sehingga membuat individu mempersepsikan dirinya sebagai orang yang juga dibutuhkan oleh pelaku untuk menjadi lebih baik. Situasi ini yang membuat individu memiliki harapan untuk perubahan sikap pelaku dan harapan besar untuk relasi mereka di masa akan datang. Fase ‘honeymoon’ ini juga menjadi penguatan bagi individu untuk mempertahankan perilaku dan sikapnya untuk menjaga relasi tetap bertahan.

 

Situasi kekerasan yang berlangsung dapat membuat individu mempertanyakan keberhargaan dirinya dan berdampak pada munculnya perasaan tidak layak, sedih, malu, dan muatan emosi negatif lainnya. Selain itu, dampak dalam perilaku, seperti menjauhi pergaulannya, menjadi tidak produktif, sulit tidur, hingga adanya percobaan menyakiti diri, juga dapat terjadi.

 

Berikut adalah gambaran situasi diri dan relasi yang bertendensi bertahan dalam siklus ini:

     Adanya perasaan takut/khawatir yang sangat kuat, sehingga menahan individu untuk keluar dari relasi kekerasan

     Meskipun sudah yakin untuk meninggalkan relasi kekerasan, namun tetap bertahan dan pasrah untuk mempertahankan relasi

     Adanya persaan bersalah, malu, tidak layak, dan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan diri, setelah tindak kekerasan dialami

     Adanya sikap baik dan janji-janji manis yang disampaikan pelaku, ketika akan mengakhiri relasi

     Mengabaikan pengalaman menyakitkan, dan membesar-besarkan perlakukan baik pelaku, dan menjadi alasan untuk tetap bertahan dalam relasi tersebut.

     Ada upaya untuk menutupi pengalaman kekerasan yang dialami untuk menjaga nama baik pelaku

     Ada harapan yang besar agar pelaku bisa berubah dan tidak melakukan tindak kekerasan di masa akan datang

 

Sama halnya dengan upaya untuk keluar dari relasi berkekerasan, upaya untuk pulih dari luka kekerasan, terkadang memaksa seseorang untuk merasakan sakit dan ada perasaan ingin menyerah. Proses pulih adalah sebuah perjalanan. Tiap orang akan memiliki perjalanan yang berbeda dan unik.  Ada beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan:

•      Sadari dan ingatkan dirimu, bahwa kamu berharga. Belajar untuk menjadi teman terbaik bagi diri, dengan menerapkan sikap lembut, asertif dan empati. Sadari dan kenali setiap emosi dan pikiran, lalu terimalah sebagai bagian dari kondisi diri. Tidak apa-apa untuk menemukan bahwa diri kamu sedang terluka. Kamu dapat menuliskan jurnal harian untuk membantu mengenali perasaan, pikiran, serta pengalaman yang dilalui setiap harinya.

•      Memutuskan relasi dengan orang terkasih tidaklah mudah. Kamu membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang sekitar. Belajarlah untuk meminta tolong dan jujur untuk membagikan pengalaman kekerasan kamu. Tentu tidak semua orang dapat memberikan rasa aman dan nyaman, maka kamu bisa mulai dengan mencari dukungan dari komunitas,  keluarga dan teman di sekitar kamu. Kamu bisa memasukan nomor kontak orang terdekat sebagai kontak darurat di HP kamu dan segeralah hubungi mereka, ketika kamu mendapatkan perlakukan kekerasan yang mengancam keselamatan kamu.

•      Jika kamu merasa bahwa perasaan kamu cenderung diwarnai emosi negatif (sedih, kecewa, frustrasi, dsb), atau kamu mengalami perubahan pada perilaku (sulit/berlebihan tidur, sulit fokus, nafsu makan berubah, enggan untuk bersosialisasi, tidak melakukan aktifitas yang menyenangkan seperti sebelumnya, dsb) hingga muncul pemikiran dan tindakan menyakit diri, segerlah cari bantuan profesional (psikolog/konselor/psikiater) yang kamu percaya.

 

Meskipun dalam kekelaman dan kesesakan, selalu ada orang di sekitar kamu yang dihadirkan untuk membantu dan menunjukkan kasih yang tulus.  Kasih, bukanlah hanya kata dan rasa, namun juga terwujud dalam tindakan. Apakah kamu melihat wujud kasih dalam relasimu?

 

Referensi:

 

Burkett, J.P., & Young, L. J. (2012). The behavioral, anatomical and pharmacological parallels between social attachment, love, and addiction. Psychopharmacology, 224 (1). 1 – 25. DOI: 10.1007/s00213-012-2794-x

Dutton D., & Painter S. L. (1993). Emotional Attachments in Abusive Relationships: A Test of Traumatic Bonding Theory. Violence and Victims, 8, 105–120.

Erozkan, A. (2016). The link between types of attachment and childhood trauma. Universal Journal of Educational Research 4(5), 1071 – 1079.

Simonik, B., & Osewska, E. (2019). Traumatic bonding in intimate partner violence: Relational Family Therapy Approach. Family Forum,9, 70 - 90. DOI: 10.25167/FF/1092