ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 15 Agustus 2023

 

Mengenal White Torture: Teknik Interogasi yang Melanggar Kode Etik Psikologi Forensik

 

Oleh:

Hesti Chandra Kusuma Wati & Putri Pusvitasari

Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Pengertian terorisme adalah praktik individu dan kelompok dalam membuat pilihan yang rasional dan strategis untuk taktik tertentu seperti operasi militer dengan sengaja membunuh orang termasuk bom bunuh diri berdasarkan perhitungan rasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan politik dan militer, serta untuk menarik opini publik. Terorisme mengandalkan emosi ketakutan untuk mencapai tujuan politik dan memecah belah masyarakat. Melampaui emosi dengan alasan dapat menjadi cara yang efektif untuk mengidentifikasi, memahami, dan memerangi terorisme (Lentini, 2008). Teroris yang ditangkap atau diserahkan akan diinterogasi oleh petugas penegak hukum atau psikolog forensik, di mana Psikolog juga memiliki sejarah panjang dalam berkontribusi dalam penyelidikan, wawancara intelijen dan keamanan nasional, dan hasil penelitian dasar dan terapan tentang wawancara dan interogasi juga telah dilakukan. dilakukan yang relevan dalam konteks ini (Meissner, Oleszkiewicz, Bohr, & Alison, 2017). Psikolog dan cendekiawan lain yang tertarik pada interogasi telah berfokus pada menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan sebagian besar telah berhasil menemukan metode interogasi yang efektif untuk membantu proses keadilan, terutama terhadap mereka yang tidak bekerja sama dengan penyedia informasi. Dapat dikatakan bahwa banyak teknik interogasi termasuk dalam ranah provokasi emosional, karena interogasi modern sering kali lebih mengandalkan taktik psikologis, dibandingkan dengan taktik fisik, untuk mencapai kepuasan (Kelly, Miller, Redlich, & Kleinman, 2013).

 

Salah satunya ialah White Torture atau White Room Troture yang dikembangkan pada saat peristiwa 11 September yang menyerang gedung World Trade Center pada kepemimpinan Presiden George Bush yang diperhalus sebutannya menjadi Enhanced Interrogation Techniques atau Teknik Interogasi Yang Ditingkatkan khususnya teknik ini dijalankan oleh Central Intelligence Agency (CIA) yang merupakan lembaga Intelijen Amerik Serikat (Chwastiak, 2015), di mana itu merupakan upaya untuk membuat penyiksaan tidak terlihat oleh publik melalui perakitan modular komponen yang dirancang dengan benar. Untuk mematahkan keinginan seseorang, cukup dengan menghilangkan semua kontak manusia, mengacaukannya, mengganggu ritme biologisnya, dan membuatnya stres berat. Menggunakan kombinasi yang tepat dari teknik dasar yang sangat sederhana, seperti disorientasi, kurang tidur, kehilangan sensasi, atau penghinaan, integritas psikologis subjek dengan cepat hancur (Mausfeld, 2009).

 

Meskipun kelihatannya tidak seberat hukuman fisik lainnya, jenis penyiksaan ini  dengan cepat menyebabkan halusinasi dan  efek samping jangka panjang. Tahanan dapat ditahan dalam keadaan ini selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, dan begitu dibebaskan, efek psikologisnya permanen. Secara visual, tahanan kehilangan semua warna. Sel mereka benar-benar putih: dinding, lantai dan langit-langit, serta pakaian dan makanan mereka. Tabung neon diatur di atas penghuni  sehingga tidak ada bayangan yang muncul. Selnya kedap suara dan tidak ada interaksi sosial. Penjaga itu berdiri diam, mengenakan sepatu empuk untuk menghindari kebisingan. Tahanan hanya bisa mendengar diri mereka sendiri (Lilith, 2016). Disamping itu dalam Psikologi Forensik, hal tersebut melanggar sebuah kode etik dalam melakukan interogasi. Bagaimanapun, itu menegaskan kembali Resolusi American Psychological Association (APA) 1982 tentang penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat lainnya. Juga, pada tahun 2006 dan lagi pada tahun 2007 (Olson & Soldz, 2007).

 

Karena pada dasarnya, APA memiliki sejarah panjang tentang cita-cita humanistik, hak asasi manusia dan perjuangan untuk perdamaian yang lebih besar. Selama Perang Dunia Kedua, psikolog terkemuka dari Gordon Allport hingga Edward Chase Tolman menandatangani Manifesto Psikolog, menyerukan penggunaan pengetahuan psikologis dalam pelayanan perdamaian, melawan penyalahgunaan kekuasaan dengan tindakan psikologis. Psikolog telah memberikan banyak kontribusi untuk keamanan nasional, keamanan global, dan perdamaian dunia melalui non-kekerasan. Bidang ini memiliki potensi besar untuk mengungkap konsekuensi negatif dari pelecehan verbal, perampasan, kecanduan, dan ketidakadilan.

 

Referensi:

 

Chwastiak, M. (2015). Torture As Normal Work: The Bush Administration, The Central Intelligence Agency And 'Enhanced Interrogation Techniques'. Journal Sagepub, 22(4), 493-511.

Kelly, C. E., Miller, J. C., Redlich, A. D., & Kleinman, S. M. (2013). A Taxonomy of Interrogation Methods. American Psychology Association, 19(2), 163-178.

Lentini, P. (2008). Understanding and Combating Terrorism: Definitions, Origins and Strategies. Australian Journal and Political Science, 43(1), 133-140.

Lilith. (2016). White Torture: The Damage It Can Cause. Tuscany: Emadion.

Mausfeld, R. (2009). Psychology, 'White Torture' And The Responsibility Of Scientists. Psychologische Rundschau, 60, 229-240.

Meissner, C. A., Oleszkiewicz, S., Bohr, F. S., & Alison, L. J. (2017). Developing an Evidence-Based Perspective on Interrogation: A Review of the U.S Government’s High-Value Detainee Interrogation Group Research Program. American Psychology Association, 23(4), 438-457.

Olson, B., & Soldz, S. (2007, December). Positive Illusions and the Necessity of a Bright Line Forbidding Psychologist Involvement in Detainee Interrogations. Analyses of Social Issues and Public Policy, 7(1), 45-54.