ISSN 2477-1686

 

Vol. 8 No. 24 Desember 2022

 

Dibalik Gaya Hidup Flexing Pada Masyarakat Indonesia

 

Oleh

Rangga Poetra Adi Lasmana & Laila Meiliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Belakangan ini kalian pasti pernah melihat di berbagai media sosial terutama media sosial tiktok tentang video yang sedang ramai tentang beberapa orang yang memiliki penghasilan yang besar yang fantastis mulai dari 600jt hingga menyentuh angka milyaran dengan biaya pengeluaran pribadi mereka yang bisa mencapai juta rupiah bahkan hanya untuk keperluan rumahnya saja. Bahkan dulu sempat juga media sosial diramaikan oleh beberapa selebriti atau artis nasional yang sering membuat konten di media sosial atau bahkan diulas di media nasional tentang seberapa banyak harta yang mereka punya hingga akhirnya muncul sebutan “crazy rich” atau “sultan” yang banyak kita lihat di Indonesia beberapa waktu lalu. Atau bahkan kalian juga pernah melihat teman atau keluarga yang pamer benda atau bahkan mungkin harta kekayaan yang mereka punya di media sosial? Atau mungkin apakah kita sendiri termasuk salah satu orang yang gemar memamerkan barang atau bahkan harta yang kita miliki di akun sosial media? Padahal jika dilihat, faktanya masih banyak penduduk di Indonesia yang masih berpenghasilan berdasarkan upah minimum bahkan masih ada juga yang berpenghasilan dibawah upah minimum dan mirisnya lagi masih banyak masyarakat Indonesia yang bisa dikategorikan berada di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut tentu dikhawatirkan akan dapat menimbulkan rasa iri di antara kelas sosial yang ada di dalam masyarakat.

 

Fenomena mempertontonkan harta yang dimiliki di media sosial tersebut makin lama makin sering kita jumpai di media sosial. Fenomena pamer tersebut dikenal dengan istilah flexing. Flexing merupakan tindakan memamerkan harta kekayaan atau benda yang dimilikinya. Walaupun mungkin tujuan utamanya adalah hanya untuk hiburan di media sosial tetapi sebagian orang berpendapat tidak setuju dengan tindakan flexing tersebut, karena banyak yang berpendapat bahwa flexing adalah merupakan salah satu contoh bentuk negatif dari kemajuan teknologi. Flexing merupakan suatu kebiasaan atau perilaku seseorang untuk memamerkan hal yang dimilikinya agar mendapat pujian atau pengakuan orang lain di media sosial (Defianti, 2022). Kebanyakan, tujuan utama dari orang melakukan flexing ini adalah untuk mendapatkan perhatian atau pengakuan dari orang lain. Flexing pertama digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions (Ananda, 2022). Tanpa dipungkiri mungkin juga sulit bagi kita untuk tidak flexing di media sosial ketika kita memiliki sesuatu. Meski dilakukan hanya di media sosial saja, tetapi flexing membuat kita terbiasa untuk ingin terlihat memiliki kekayaan, menjadi popular, hingga ingin terlihat berpenampilan baik secara fisik.

 

Pada dasarnya manusia memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhannya baik itu kebutuhan primer, kebutuhan skunder, dan bahkan kebutuhan tersier. Tetapi, jika kita lihat dalam fenomena flexing kebanyakan individu yang melakukan flexing mereka lebih mementingkan dorongan untuk kebutuhan tersier saja. Bila kita lihat dari sisi psikologi, fenomena flexing ini adalah merupakan salah satu contoh dari dinamika kepribadian berdasarkan konsep needs atau kebutuhan dengan jenis exhibition yang dikemukakan oleh Henry Murray. Hery Murray Murray terkenal menggambarkan perubahan setidaknya 20 psikologi kebutuhan atau needs (Murray & McAdams, 2007). Salah satu teori kebutuhan atau needs adalah exhibition yang merupakan perilaku untuk menarik perhatian orang lain, pameran atau eksibisionis adalah kebutuhan untuk menarik perhatian seseorang, untuk menggairahkan, mengejutkan, menghibur, menggerakan, menggetarkan orang lain (Murray & McAdams, 2007). Bila kita lihat fenomena flexing berdasarkan teori diatas maka dapat kita simpulkan bahwa orang yang melakukan tindakan flexing adalah orang yang mempunyai kepribadian yang gemar menjadi pusat perhatian, gemar untuk dilihat, suka untuk menonjokan sesuatu yang mereka miliki, dan membuat impresi terhadap orang yang melihat unggahan flexing nya. Berdasarkan teori personologi Henry Murray tersebut perilaku flexing adalah implementasi kepribadian yang terbentuk atas dasar kebutuhan exhibition yang mendorong perilaku manusia. Rasa senang mendengan pujian dan mendapat pengakuan dari orang lain yang menimbulkan prilaku flexing banyak dilakukan di media sosial. Pada dasarkan tanpa dipungkiri kadang kita sering merasa senang bila,mendapat pujian atau pengakuan dari olang lain atas apa yang kita punya, tetapi dalam kasus flexing dorongan kita untuk mendapatkan pujian tersebut dilakukan dengan pamer kekayaan yang kita miliki bukan atas prestasi yang kita raih.

 

Dibalik fenomena flexing ini, dapat kita lihat dan simpulkan bahwa perilaku manusia didasari atas kebutuhan yang mana kebutuhan tersebut mendorong menusia untuk berprilaku. Perilaku flexing tanpa disadari adalah perilaku yang didasari atas kebutuhan exhibition dalam diri manusia. Sebagai pengguna media sosial kita harus dapat dengan bijak menggunakan atau mempertontonkan isi dari konten yang kita unggah ke dalam media sosial yang kita miliki serta kita harus lebih bijak dalam mencerna isi yang ada dari media sosial. Dari fenomena flexing ini, sejatinya kita harus dapat lebih jeli dalam menentukan apa semestinya kita butuhkan, karena dorongan kebutuhan pada dasarnya dapat mempengaruhi kepribadian individu tersebut.

 

Spending money to show people how much money you have is the fastest way to have less money

-Anonim-

 

 

 

Referensi:

 

Ananda. (2022). Flexing: Pengertian, Penyebab, Akibat, dan Cara Menghindarinya. Retrieved from  https://www.gramedia.com/best-seller/flexing-adalah/#:~:text=Istilah%20flexing%20sendiri%20pertama%20kali,yang%20dimilikinya%20di%20media%20sosial.

 

Defianti, I., (2022). Journal: Fenomena Flexing, Pamer Harta demi Eksistensi. Retrieved from  https://www.liputan6.com/news/read/4928859/journal-fenomena-flexing-pamer-harta-demi-eksistensi

 

Murray, H. A., McAdams D., (2007). Exploration in Personality (Vol. 70th Anniversary). New York: Oxford University Press.