ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 16 Agustus 2022
Pendampingan Untuk Anak Dengan HIV
Oleh:
Astria M. Sibarani, Kejora S. Gayatri, Nabilla A. Meidiana, Natasha A. Halim,
Rizka Amaliah, dan Clara R.P. Ajisuksmo
Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia, dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang yang terinfeksi HIV (Octavianty, dkk, 2015). BPS (2021) melaporkan bahwa pada tahun 2020 ada 41.987 kasus HIV dan ada 8.639 kasus AIDS. Jumlah kasus tertinggi dijumpai pada kelompok usia 25-49 tahun (69,9%). Meskipun jumlahnya kecil yaitu 0,8%, penderita HIV juga dijumpai pada kelompok usia 5-14 tahun. Ibu yang terinfeksi virus HIV dan sedang mengandung atau menyusui, dapat menularkan virus HIV kepada anaknya.
Pengobatan HIV membutuhkan kepatuhan seumur hidup dengan tepat dosis, tepat waktu, dan tepat cara (Claborn, dkk, 2015). Demikian pula dengan anak dengan HIV yang harus mengonsumsi obat secara rutin setiap hari, yang menyebabkan kelelahan pengobatan dan sebagai konsekuensinya dapat terjadi penurunan kepatuhan dari waktu ke waktu. Anak belum mengetahui status HIV nya sehingga mereka sering mempertanyakan tujuan dari pengkonsumsian obat secara rutin kepada anggota keluarga atau pengasuhnya, dan mereka mulai membandingkan dengan anak seusianya yang tidak mengkonsumsi obat. Seiring bertambahnya usia anak, tantangan yang dihadapi pendamping anak dengan HIV adalahmenentukan cara dan waktu yang tepat untuk memberitahukan status HIV mereka. Tantangan yang paling sering dihadapi oleh pengasuh anak adalah kekhawatiran bahwa anak akan membuka status mereka ke orang lain sehingga anak akan memperoleh stigma yang akan berpengaruh pada perkembangan emosi dan kesehatan mental anak (Vreeman, dkk, 2013). Stigma dapat menyebabkan anak dengan HIV merasa malu, merasa bersalah dan terisolasi. Anak dengan HIV akan tumbuh menjadi anak yang pemalu, kurang percaya diri, dan takut bertemu dengan orang baru. Stigma juga dapat menyebabkan adanya diskriminasi dimana anak mengalami penolakan pemberian layanan serta pemenuhan hak anak (Conway, 2015).
Orang dengan HIV akan ditolak oleh lingkungan sosial mereka dan terisolasi secara sosial karena stigma bahwa mereka mempunyai penyakit menular yang mematikan, sehingga mereka menjadi depresi (Albright & Fair, 2018). Menurut Sofia dan Supriatna (2022) penerimaan diri orang dengan HIV merupakan faktor penting untuk kesehatan mental mereka. Hasil penelitian Sari dan Reza (2013) menunjukkan bahwa dukungan dari teman dan keluarga yaitu yang tidak menyalahkan dan dapat menerima remaja dengan HIV,akan membuat remaja dengan HIV mampu menerima diri dan tetap percaya diri.
Kurangnya edukasi mengenai HIV menimbulkan stigma yang membuat anak dengan HIV menjadi merasa tidak nyaman atas keadaan diri mereka. Perlakuan masyarakat terhadap anak dengan HIV membuat mereka tumbuh dengan konsep diri yang negatif, sehingga beberapa dari mereka kehilangan motivasi dan putus asa. Jadi, masalah yang terjadi pada anak dengan HIV sangat beragam mulai dari kemiskinan, kebosanan dan keputusasaan dalam pengobatan, penolakan masyarakat, penelantaran keluarga, dan lain sebagainya.
Menurut Latifah, dkk. (2015) keberadaan dan peran pendamping bagi anak dengan HIV menjadi sangat strategis dalam upaya mengembalikan keadaan dan kondisi anak dengan HIV menjadi lebih baik. Menurut Parson (dalam Latifah, dkk., 2015), ada beberapa peran yang dapat dilakukan pekerja sosial dalam melakukan pendampingan kepada anak dengan HIV. Pertama sebagai fasilitator, yang berperan memfasilitasi anak dengan HIV agar mampu menangani tekanan psikis dan sosial yang dialami. Kedua sebagai penghubung, yang berperan menghubungkan kebutuhan anak dengan HIV dengan sumber daya yang ada di sekitarnya. Ketiga sebagai mediator, yang berperan sebagai penengah bagi anak dengan HIV dengan sistem lingkungan yang menghambatnya. Keempat sebagai pembela, yang berperan dalam membela hak anak dengan HIV dalam memenuhi kebutuhannya. Kelima sebagai pelindung, yang berperan melindungi anak dengan HIV dari situasi yang rentan dan tidak menguntungkan. Melalui pendampingan yang diberikan, dapat mempermudah anak dengan HIV menerima kondisi dan situasi yang dialaminya.
Salah satu program pendampingan untuk anak dengan HIV adalah Lentera Anak Pelangi (LAP), yang merupakan program pendampingan bagi anak dengan HIV di DKI Jakarata. LAP merupakan kegiatn pelayanan masyarakat Pusat Penelitian HIV Unika Atma Jaya.Tujuan program ini adalah (1) mengurangi angka kesakitan dan kematian pada anak dengan HIV lewat peningkatan status kesehatan dan gizi anak; (2) meningkatkan kesejahteraan psikososial anak dan keluarga lewat pendidikan keteram[ilan hidup; (3) mencegah anak dai pengabaian atau penelantaran; (4) mengembangkan model intervensi yang dapat diterima dalam memitigasi dampak HIV pada anak dan keluarga mereka. Selain mendampingi anak dengan HIV di Jakarta, sejak 2020 LAP juga memberikan dukungan psikososial secara online bagi anak dengan HIV di seluruh Indonesia
Referensi:
Albright, J., & Fair, C. D. (2018). “Now I Know I Love Me”: The Trajectory to Self- Acceptance Among HIV Positive Adults in a Southeastern U.S. Community Center. SAGE Open, 8(3). https://doi.org/10.1177/2158244018804963
Claborn, K. R., Meier, E., Miller, M. B., & Leffingwell, T. R. (2015). A systematic review of treatment fatique among HIV-infected patients prescribed antiretroviral therapy. Psychology, Health & Medicine, 20 (3), 255-265. DOI: 10.1080/13548506.2014.945601
Latifah, D., Zainuddin, M., & Mulyana, N. (2015). Peran pendamping bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2(3).
https://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/view/13543/6337
Octavianty, L., Rahayu, A., Rosadi, D., dan Rahman, F. (2015). Pengetahuan, Sikap dan Pencegahan HIV/AIDS Pada Ibu Rumah Tangga. Kemas: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 11(1), 53-58.DOI: 10.15294/kemas.v11i1.3464
Sari, D. J., & Reza, M. (2013). Hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada remaja penderita HIV di Surabaya. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 1(3), 1-7. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/2716
Sofia, S. dan Supriatna, M. (2022) Profile of Self-Acceptance of HIV/AIDS Patients in West Java Indonesia. OPTIMA: Journal of Guidance and Counseling, 2 (1), 53-61. http://ejournal.upi.edu/index.php/optima
Vreeman, R. C., Gramelspacher, A. M., Gisore, P. O., Scanlon, M. L., & Nyandiko, W. M. (2013). Disclosure of HIV status to children in resource-limited settings: A systematic review. Journal of the AIDS Society, 16(1), 1-14. DOI: 10.7448/IAS.16.1.18466