ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 15 Agustus 2022
Psikologi Forensik Dalam Investigasi Tindak Pidana
Oleh:
Aullya Eka Pradina & Putri Pusvitasari
Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Psikologi Forensik merupakan suatu bidang psikologi yang memiliki kaitan dan pengaplikasiannya pada bidang hukum seperti pada kasus-kasus peradilan pidana. Jadi psikologi forensik membahas mengenai peranan psikologi yang berkaitan dengan tindak kriminal atau pelanggaran hukum. Di dalamnya, psikologi forensik menerapkan kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam ranah hukum (Darma & Nikijuluw, 2019). Selain itu psikologi forensik dapat membantu penegak hukum dalam memberikan gambaran mengenai kepribadian dari pelaku dan korban.
Psikologi dan hukum adalah dua hal yang berbeda. Psikologi menjelaskan tentang bagaimana manusia berperilaku secara faktual atau kenyataan, sedangkan hukum menjelaskan tentang bagaimana manusia seharusnya berperilaku, sehingga dapat disimpulkan bahwa psikologi menjabarkan perilaku manusia secara lengkap dan akurat, sedangkan hukum yang mengatur perilaku manusia, ketika dirinya berperilaku yang melanggar hukum maka mendapatkan hukuman, oleh karena itu psikologi dapat menemukan kebenaran dan hukum memberikan peradilan (Probawati, 2008). Ketika seorang psikologi atau ilmuan psikologi yang bertugas sebagai psikologi forensik wajib untuk memiliki kompetensi yang harus dikembangkan dan sesuai dengan tanggung jawabnya untuk dapat memahami sistem hukum yang ada di Indonesia karena ketika tidak menguasai sistem hukum maka tidak akan mengeneral ketika menerapkan pengaplikasikannya.
Tindakan pidana merupakan tindakan yang dilakukan pelanggaran atau yang terkait dengan undang-undang hukum pidana yang melanggar hak asasi manusia. Pada proses tindak pidana terdapat investigasi yaitu suatu proses pidana yang dilakukan pada tersangka, saksi, dan korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim. ketika melakukan kesalahan dalam investigasi awal maka akan berpengaruh pada kebenaran di tahap selanjutnya. investigasi tidak hanya untuk mendapatkan data yang dibutuhkan tetapi juga untuk mengungkapkan kebenaran terkait dengan kasus tersebut.
Psikologi Forensik sangat dibutuhkan oleh peradilan tindak pidana dalam mengungkapkan kebenarannya. Dengan adanya psikologi forensik dalam suatu tindak pidana akan sangat membantu untuk mendapatkan peradilan pada kasus pidana tersebut. Pada saat seseorang menjadi tersangka di tindak pidana maka dapat digali kembali apakah dirinya benar-benar bersalah atau tidak. Pada proses peradilan pidana tersebut sangat dibutuhkan informasi yang akurat dari tersangka, korban, dan saksi.
Keterangan yang diberikan oleh saksi sangat dibutuhkan pada hasil investigasinya, akan tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya bias karena terdapat banyak faktor yang menyebabkan suatu informasi menjadi kurang akurat. Supaya mendapatkan hasil investigasi yang baik dan tepat, diperlukan beberapa teknik psikologi untuk meminimalisir dari adanya bias tersebut seperti dengan hipnosis dan wawancara kognitif.
Hipnosis digunakan untuk meningkatkan ingatan saksi maupun korban (Probawati, 2008) jadi, saksi atau korban dapat mengingat kembali kejadian yang dialaminya dan dibimbing untuk mengingat hal-hal detail sehingga dapat memunculkan ingatannya kembali dengan baik. Selain itu wawancara kognitif juga dapat digunakan, teknik tersebut diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman pada tahun 1992. Psikologi forensik merupakan suatu bidang psikologi yang merupakan kaitan dan pengaplikasiannya pada bidang hukum seperti pada kasus-kasus peradilan pidana. Jadi psikologi forensik membahas mengenai peranan psikologi yang berkaitan dengan tindak kriminal atau pelanggran hukum. Di dalamnya, psikologi forensik menerapkan kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam ranah hukum (Darma & Nikijuluw, 2019). Selain psikologi forensik dapat membantu penegak hukum dalam memberikan gambaran mengenai kepribadian dari pelaku dan korban.
Psikologi dan hukum adalah dua hal yang berbeda. Psikologi menjelaskan tentang bagaimana manusia berperilaku secara faktual atau kenyataan, sedangkan hukum menjelaskan tentang bagaimana manusia seharusnya berperilaku, sehingga dapat disimpulkan bahwa psikologi menjabarkan perilaku manusia secara lengkap dan akurat, sedangkan hukum yang mengatur perilaku manusia, ketika dirinya berperilaku yang melanggar hukum maka mendapatkan hukuman, oleh karena itu spikologi dapat menemukan kebenaran dan hukum memberikan peradilan (Probowati, 2008). Ketika seorang psikologi atau ilmuwan psikologi yang bertugas sebagai psikologi forensik wajib untuk memiliki kompetensi yang harus dikembangkan dan sesuai dengan tanggung jawabnya untuk dapat memahami sistem hukum yang ada di Indonesia karena ketika tidak menguasai sistem hukum maka tidak akan men-general ketika menerapkan pengaplikasiannya. Tindakan pidana merupakan tindakan yang dilakukan pelanggaran atau yang terkait dengan undang-undang hukum pidana yang melanggar hak asasi manusia. Pada proses tindak pidana terdapat investigasi yaitu suatu proses pidana yang dilakukan pada tersangka, saksi dan korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Ketika melakukan kesalahan dalam investigasi awal maka akan berpengaruh pada kebenaran di tahap selanjutnya. Investigasi tidak hanya untuk mendapatkan data yang dibutuhkan tetapi juga untuk mengungkapkan kebenaran terkait dengan kasus tersebut.
Psikologi Forensik sangat dibutuhkan oleh peradilan tindak pidana dalam mengungkapkan kebenarannya. Dengan adanya psikologi forensik dalam suatu tindak pidana akan sangat membantu untuk mendapatkan peradilan pada kasus pidana tersebut. Pada saat seseorang menjadi tersangka di tindak pidana maka dapat digali kembali apakah dirinya benar-benar bersalah atau tidak. Pada proses peradilan pidana tersebut sangat dibutuhkan informasi yang akurat dari tersangka, korban dan saksi.
Keterangan yang diberikan oleh saksi sangat dibutuhkan pada hasil investigasinya, akan tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya bias karena terdapat banyak faktor yang menyebabkan suatu informasi menjadi kurang akurat. Supaya mendapatkan hasil investigasi yang baik dan tepat, diperlukan beberapa teknik psikologi untuk meminimalisasi dari adanya bias tersebut seperti dengan hipnosis dan wawancara kognitif.
Hipnosis digunakan untuk meningkatkan ingatan saksi maupun korban (Probowati, 2008). Jadi saksi atau korban dapat mengingat kembali kejadian yang dialaminya dan dibimbing untuk mengingat hal-hal detail sehingga dapat memunculkan ingatannya kembali dengan baik. Selain itu wawancara kognitif juga dapat digunakan, teknik tersebut diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman pada tahun 1992.
Costanzo (2004) menyatakan bahwa teknik ini digunakan untuk mengurangi efek sugesti yang terjadi pada teknik hipnotis. Jadi pada saat saksi atau korban terhipnotis terkadang beberapa informasi dapat terpengaruhi oleh imajinasinya sendiri sehingga wawancara kognitif ini dapat meminimalisasi hal tersebut. Fisher (Costanzo, 2004) menyatakan bahwa pada teknik wawancara kognitif membutuhkan kondisi yang relaks dari saksi atau korban, dengan memberikan berbagai kesempata pada saksi untuk menceritakan kejadian tersebut dan tidak menggunakan pertanyaan yang menuntun atau menekan dirinya. Oleh karena itu ketika dirinya merasa tertekan atas pertanyaan yang diajukan, maka hal itu juga akan mempengaruhi bagaimana dirinya memberikan pertanyaan.
Psikologi forensik dalam mengungkapkan kejadian dari perkara tindak pidana tersebut dapat memahami cara berpikir dan bersikap dari tersangka, melakuka pendekatan untuk memahami alur berpikir dalam berperilaku. Pada proses investigasi ini keterampilan yang dimiliki pada psikolog atau ilmuwan psikologi dibutuhkan misalnya memiliki keterampilan dalam wawancara memiliki konsep interaksi antara interviewerdan interviewee, kemudian harus bisa mempertimbangkan hal-hal yang harus dipertimbangkan dengan baik, dan mampu mengelola pertanyaan.
Referensi:
Costanzo, M. (2004). Psychology Applied to Law. Singapore: Thomson Wadsworth.
Darma, I.M.W., & Nikijuluw, B. (2019). Psikolog Forensik Sebagai Salah Satu Proses Pemidanaan. Binamulia Hukum, 8(2), 185-190. https://doi.org/10.37893/jbh.v8i2.74
Probowati, Y. (2008). Peran psikologi dalam investigasi kasus tindak pidana. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, 1(1), 26-31. https://doi.org/10.24843/10.24843/IJLFS.2008.v01.i01.p06
Probawati, Y. (2008). Psikologi forensik: tantangan psikologi sebagai ilmuan dan profesional. Anima, Indonesian Psychological Journal, 23(4), 338-353. http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_990988578317.pdf