ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 13 Juli 2022

Trauma Psikologis Pada Anak Yang Mengalami Kekerasan Seksual

 

Oleh:

Meta Meri Andani & Putri Pusvitasari

Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Apa jadinya jika anak mengalami kekerasan seksual? Tentunya anak akan mengalami luka fisik dan luka psikologisyang fatal. Kemungkinan besar anak juga akan mengalami trauma hingga usia dewasa apabila luka fisik danpsikologis tersebut tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, penting rasanya bagi kita untuk mengetahui sepertiapa trauma psikologis pada anak yang mengalami kekerasan seksual.

Menurut End Child Prostitution In Asia Tourism (dalam Lewoleba & Fahrozi, 2020), kekerasan seksual pada anakmerupakan suatu interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih dewasa termasuk didalamnya orang yang tidak dikenal, saudara kandung atau orang tua anak itu sendiri, dimana anak dijadikan sebagai objek yang dapat memuaskan kebutuhan seksual pelaku. Adapun, Lewoleba & Fahrozi (2020) menyatakan bahwa secara psikologis kekerasan seksual yang dialami oleh anak disebut sebagai pengalaman traumatik. Hal ini dikarenakan dalam kekerasan seksual tidak hanya dilakukan tindakan kekerasan, melainkan terdapat aktivitas  lainnya seperti pelecehan, penyerangan seksual, dan pemerkosaan.

Suharto (dalam Wulandari & Suteja, 2019) menyatakan bahwa secara psikis anak yang mengalami kekerasan seksual akan bersikap menarik diri, menjadi pemalu, menangis jika didekati, merasa takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. Selain itu, Wulandari & Suteja (2019) mengatakan bahwa kekerasan seksual pada anak dapat menyebabkan trauma psikologis hingga kondisi depresi. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan Lewoleba & Fahrozi (2020) bahwa trauma yang dialami anak lebih mengarah pada trauma psikis dari pada trauma fisik, karenatrauma tersebut dapat menyebabkan gangguan kejiwaan seperti stress pasca trauma yang mana terdapat gejala stresberat diantaranya adalah ingatan dan mimpi berulang mengenai peristiwa kekerasan seksual serta adanya perasaanbahwa peristiwa tidak menyenangkan itu muncul kembali. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada masa depananak yang seharusnya dapat dilalui dengan baik tetapi karena adanya perilaku yang tidak menyenangkan tersebutmenyebabkan anak terhambat dalam proses berpikir.

Selain itu, Beitch-man et al. (dalam Wulandari & Suteja, 2019) mengatakan bahwa kekerasan seksual pada anak dapat menyebabkan post-traumatic stress disorder, yakni anak mengalami gejala berupa rasa takut yang terlalu sering, rasa cemas yang berlebihan, emosi yang kaku setelah kejadian traumatis dan kondisi ini memerlukan waktu sekitar satu hingga tiga tahun untuk terbuka dengan orang lain. Sementara itu, menurut Lewoleba & Fahrozi (2020), kondisi trauma atau luka batin pada anak yang mengalami kekerasan seksual dalam beberapa penelitian dapatmenyebabkan anak menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal ini terjadi karena anak melampiaskan penderitaan yangdialami secara jasmani maupun rohani kepada orang lain.

Kekerasan seksual ini telah melanggar hak anak. Dimana anak dipaksa untuk melakukan perbuatan buruk dan ketikadiancam oleh pelaku, anak tidak dapat melawan perlakuan buruk orang lain terhadap dirinya. Dalam kondisi tersebut, anak merasa dirugikan dan kebebasan pada dirinya hilang. Oleh sebab itu, pada kondisi dan situasi apapun anak perlu dilindungi dan dijaga dengan baik bukan diancam bahkan dianiaya agar melakukan perbuatan buruk.

 

 

Referensi:

Lewoleba, K. K., & Fahrozi, M. H. (2020). Studi Faktor- Faktor Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual Pada Anak- Anak. Jurnal Esensi Hukum, 2(1), 27-48. https://doi.org/10.35586/esensihukum.v2i1.20

 

 

Wulandari, R., & Suteja, J. (2019). Konseling Pendidikan Seks Dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Anak (KSA).Prophetic: Professional, Empathy and Islamic Counseling Journal, 2(01), 61-82.https://doi.org/10.24235/prophetic.v2i1.4751