ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 13 Juli 2022
Break The Gender Bias: Perempuan Bisa Lebih Dari Sekedar Apa Kata Orang
Oleh:
Ananda Putri Karamina & Ellyana Dwi Farisandy
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Pada tanggal 8 Maret, kita baru saja memperingati Hari Perempuan Internasional tahun 2022. Namun, saat ini kita sebagai perempuan masih berjuang untuk mematahkan bias gender yang merugikan perempuan. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar pernyataan “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi nanti ujungnya juga jadi ibu rumah tangga” atau “Jadi perempuan jangan terlalu ambisius”. Pernyataan tersebut merupakan salah satu bentuk stereotip gender yang masih melekat di Masyarakat. Meskipun saat ini terdapat beberapa bias gender yang sudah mulai dipatahkan oleh sebagian orang. Sebelum itu, kita perlu memahami apa itu stereotip gender, penyebab terjadinya stereotip dan dampak terhadap kehidupan seseorang.
Definisi Gender, Peran Gender, dan Stereotip
Sebelum itu, kita perlu mengetahui pengertian dari gender itu sendiri. Gender merupakan kondisi menjadi seorang perempuan atau laki-laki (Weiten et al., 2018). Kemudian, ekspektasi yang terbentuk berdasarkan budaya terhadap perilaku yang sesuai dengan perempuan dan laki-laki disebut dengan peran gender (Weiten et al., 2018). Contoh ekspektasi peran gender bagi perempuan adalah perempuan dianggap tidak kompeten jika bekerja diluar rumah selain mengerjakan pekerjaan rumah. Ekspektasi tersebut dapat menimbulkan bias gender.
Dilansir dari One World Education, bias gender terbentuk karena adanya ekspektasi dan peranan yang dibentuk secara sosial dan komprehensif mencakup diskriminasi dan prasangka terhadap laki-laki maupun perempuan (Baltimore, 2021). Tentu saja bias gender tidak hanya terjadi pada perempuan saja, namun juga pada laki-laki. Stereotip merupakan bias gender yang tanpa disadari mungkin kita sering alami. Pengertian dari stereotip gender adalah keyakinan terhadap kemampuan, sifat dan perilaku sosial pada perempuan dan laki-laki yang belum tentu akurat (Weiten et al., 2018).
Bagaimana Stereotip Gender dapat terbentuk
Faktanya, gender tidak hanya terbentuk secara faktor biologis saja namun gender juga dapat dipengaruhi oleh budaya dan tanggapan masyarakat. Menurut Saguni (2014), stereotip gender terbentuk mengikuti perkembangan individu. Anak-anak yang baru memasuki pendidikan sekolah dasar, akan mendapat banyak pengetahuan terkait pekerjaan atau kegiatan seperti apa ketika menjadi seorang laki-laki dan perempuan. Sampai di usia 5 tahun, anak laki-laki atau perempuan akan membentuk stereotip mengenai laki-laki memiliki fisik yang kuat namun dipersepsikan dari sisi negatif misalnya jahat sedangkan perempuan lebih dipersepsi dari sisi positif yaitu seseorang yang baik hati. Barulah ketika memasuki masa remaja awal, ketika mereka sudah mulai pubertas dan tubuh yang mulai berubah membentuk stereotip gender yang lebih besar karena seorang remaja laki-laki maupun perempuan akan berusaha sebaik mungkin menjadi seorang laki-laki atau perempuan yang maskulin dan feminim sesuai dengan yang tertanam di lingkungan sekitar mereka.
Namun, sebenarnya stereotip gender sudah tertanam sejak seorang anak dilahirkan seperti bayi perempuan selalu identik memakai pakaian berwarna pink sedangkan bayi laki-laki identik dengan pakaian berwarna biru. Kemudian, ketika anak memasuki usia batita orang tua memberikan mainan mobil-mobilan untuk anak laki-laki dan mainan masak-masakan untuk perempuan. Hal-hal seperti itulah yang dapat mempengaruhi pikiran anak-anak untuk tidak melakukan hal lain selain yang diajarkan oleh orang tuanya, padahal tidak ada salahnya jika anak laki-laki menggunakan pakaian berwarna pink atau memasak dan tidak ada salahnya pula jika anak perempuan menggunakan pakaian berwarna biru dan bermain mobil-mobilan.
Dampak Stereotip Gender terhadap Pendidikan Perempuan
Menurut Ismiati (2018), ketika seseorang yang merupakan objek dari suatu stereotip akan memiliki pemikiran yang dapat membatasi mereka dalam menentukan kemampuan dan kepribadian mereka sesungguhnya. Dengan kata lain, meragukan kemampuan mereka sendiri, terutama jika stereotip tersebut memiliki sifat negatif maka akan menimbulkan prasangka yang negatif pula. Banyaknya prasangka negatif seperti perempuan lemah, tidak mandiri, tidak memiliki potensi sebagai seorang pemimpin. Kemudian prasangka terkait derajat laki-laki yang lebih tinggi dari pada perempuan akan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, menurunkan harga diri dan keberanian orang tersebut(Syahria, 2021).
Namun, seiring jalannya waktu sudah semakin banyak perempuan yang mematahkan prasangka-prasangka tersebut dan ada pula yang masih berjuang melawan stereotip gender bagi perempuan. Dilansir dari Liputan6.com, Menteri Luar Negeri yaitu Retno Marsudi mengatakan bahwa perempuan perlu membuktikan bahwa pendidikan juga sangat penting bagi perempuan dan perempuan membutuhkan kesempatan yang setara untuk mengejar mimpi yang diinginkan, tak hanya Retno Marsudi, Maudy Ayunda menceritakan pengalamannya yang dimana ia pernah mendapatkan kalimat stereotip selama ia menjalankan pendidikannya seperti “Jangan terlalu pintar” atau “Buat apa sekolah tinggi nanti ujungnya tidak ada gunanya”. Tentu saja kalimat tersebut berdampak pada dirinya namun hal tersebut tidak membuat Maudy pantang menyerah untuk memperjuangkan impiannya (Liputan6.com, 2021). Tak hanya Maudy Ayunda, stereotip juga pernah dirasakan oleh Gita Gutawa namun hal tersebut tidak membuatnya goyah, ia percaya bahwa ibu yang memiliki pendidikan yang berkualitas dapat melahirkan perempuan yang berkualitas pula(Andriani, 2019).
Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ternyata stereotip memang sudah sangat melekat dari semenjak kita kecil. Namun, dengan adanya stereotip maupun prasangka-prasangka yang ada dari orang lain tidak dapat dijadikan halangan bagi seorang perempuan dalam meraih apa yang mereka inginkan terutama dalam bidang pendidikan. Tidak hanya Retno Marsudi, Maudy Ayunda dan Gita Gutawa saja yang bisa mematahkan bias gender terhadap perempuan. Namun kita juga bisa mematahkan segala bias gender yang kita rasakan sebagai perempuan. Kita sebagai seorang perempuan perlu untuk pantang menyerah dan terus memperjuangkan impian kita sehingga kita dapat membuktikan bahwa “perempuan bisa lebih dari sekedar apa kata orang”.
Referensi:
Andriani, D. (2019). Melawan Stereotipe Gender Bagi Pendidikan Wanita. Bisnis.Com. https://m.bisnis.com/amp/read/20190216/219/889504/melawan-stereotipe-gender-bagi-pendidikan-wanita
Baltimore, S. (2021). Gender Bias. Oneworldeducation.Org. https://www.oneworldeducation.org/our-students-writing/gender-bias/
Ismiati. (2018). Pengaruh Stereotype Gender Terhadap Konsep diri Perempuan. Jurnal Studi Gender Dan Islam Serta Perlindungan Anak, 7((1)).
Liputan6.com. (2021). Hari Kartini, Maudy Ayunda dan Menlu Retno Marsudi bicara stereotip perempuan berpendidikan tinggi. Liputan6.Com. https://m.liputan6.com/lifestyle/read/4538565/hari-kartini-maudy-ayunda-dan-menlu-retno-marsudi-bicara-stereotip-perempuan-berpendidikan-tinggi
Saguni, F. (2014). Pemberian Stereotype Gender. Journal of Psychiatry, 6((1)).
Syahria, A. J. (2021). Stereotype Gender dan Pengaruhnya terhadap Konsep Diri Perempuan. Hipwee.Com. https://www.oneworldeducation.org/our-students-writing/gender-bias/
Weiten, W., Dunn, D. S. and Hummer, E. Y. (2018). Psychology Applied to Modern Life Adjustment in the 21st Century (12th ed). Cengage Learning.