ISSN 2477-1686

 Vol. 7 No. 7 April 2021

Lalui Luka Hantu Masa Kini

 

Oleh

Dicky Sugianto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

 

Ada sebuah perilaku di era digital ini yang menakutkan seperti hantu yang kita tonton di film. Perilaku ini populer disebut ghosting dan sering ditemui dalam relasi romantis, meskipun juga merambah pada jenis hubungan interpersonal lain seperti pertemanan bahkan rekan kerja. Ghosting adalah pemutusan hubungan sepihak dimana orang yang memutuskan hubungan sama sekali tidak dapat dihubungi oleh orang yang diputuskan (LeVebre et al., 2019). Ghosting biasanya dilakukan dengan menggunakan media komunikasi digital. Perilaku yang dulu lekat dengan figur Bang Toyib ini kini menghantui orang-orang muda dan meninggalkan luka.

 

Luka-luka Hantu Modern

Ghosting dapat membuat orang yang mengalaminya mengalami luka emosional. Dari beberapa ratus orang dewasa di Belgia dan Belanda yang disurvei, Timmermans , et. al. (2020) menemukan bahwa 62 orang responden melaporkan sikap menyalahkan diri, seperti tidak cukup menarik sehingga mengalami ghosting. Separuh dari responden yang mengalami ghosting cenderung menyalahkan dan marah pada pelaku ghosting, seperti menganggap orang yang melakukan ghosting memiliki masalah psikologis. Meskipun demikian, Timmermans dan rekan-rekannya juga menemukan bahwa responden yang mengalami ghostingjuga merasakan dampak positif, seperti tidak perlu melukai orang yang melakukan ghosting padanya karena tidak tertarik secara romantik pada orang tersebut.

 

Membalur Luka Ghosting

Kajian ilmiah mengenai ghosting masih dalam tahap awal dan perlu eksplorasi lebih lanjut mengenai fenomena ini. Meskipun demikian, mengalami ghosting dapat terasa seperti mengalami pengasingan sosial maupun penolakan dan tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan penjelasan (Freedman et al., 2019; LeFebvre et al., 2019). Penolakan sosial telah diketahui mencetuskan luka emosional mendalam yang bahkan dapat mengarah pada pemikiran bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri (Cheek et al., 2020).

 

Ketika kita mengalami ghosting, beberapa diantara kita mungkin merasakan luka-luka emosional akibat penolakan. Ketika hal ini terjadi, kita bisa merasa tidak berharga atau kurang. Kita juga bisa merasakan amarah kepada orang yang melakukan ghosting pada kita. Namun, respons ini ibarat hukuman yang kita berikan kepada diri sendiri atas kesalahan orang lain.

 

Alih-alih larut dalam air mata, kita dapat mulai mengalihkan fokus kita pada luka-luka kita. Kita bisa mengamati luka kita tanpa sibuk mengaduh atau menuding liyan, “Oh, saya di-ghosting dan ini menyakitkan. Saya jadi berpikir bahwa saya tidak berharga dan saya sangat sedih dan terluka.” Dari sana, kita bisa menawarkan kebaikan pada diri, misalnya dengan memberikan pelukan pada diri dan tetap tabah selama penderitaan emosional ini berlangsung.

 

Ketika kita sudah merasa lebih baik, kita bisa melihat situasi kita dari sudut pandang lain, misalnya jika ada perilaku kita yang kurang berkenan, kita bisa berproses mengampuni diri kita dan memperbaiki sikap kita. Namun, kita juga bisa mengingatkan diri kita bahwa kita, sama seperti dia, adalah sama-sama manusia yang punya kebutuhan, ketertarikan, dan konteks hidup yang berbeda. Mungkin saja memang dia tidak lagi ingin menjalin silaturahmi dengan kita dan hal ini lazim terjadi dalam hubungan dengan orang lain.

 

Kita juga bisa mencoba untuk melihat dari sudut pandang pelaku ghosting. Beberapa responden dalam penelitian Timmermans, et. al., (2020) juga memahami bahwa mungkin pelaku ghosting memang sibuk atau tidak tertarik lagi pada mereka. Kita juga bisa berpikir bahwa pelaku ghosting juga terluka (LeFebvre et al., 2019; Timmermans, et. al., 2020). Putusnya hubungan hingga hilang sama sekali dapat memunculkan perasaan tertekan dalam diri pelaku ghosting. Perspektif ini dapat membuat kita melihat pengalaman kita secara utuh dan memulihkan luka-luka kita.

 

Berwelas diri dalam pengalaman menyakitkan akibat penolakan sosial seperti ini dapat membuat kita pulih dari luka-luka kita (Koch, 2020). Kita pun bisa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih berwelas asih dan dewasa dalam menghadapi permasalahan dalam hubungan dengan orang lain. Di masa mendatang, hantu-hantu modern tidak lagi melukai kita, dan bahkan kita bisa merelakan jika Bang Toyib tak lagi kembali.

 

Referensi:

 

Cheek, S. M., Reiter-Lavery, T., & Goldston, D. B. (2020). Social rejection, popularity, peer victimization, and self-injurious thoughts and behaviors among adolescents: A systematic review and meta-analysis. Clinical Psychology Review. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2020.101936

 

Freedman, G., Powell, D. N., Le, B., & Williams, K. D. (2019). Ghosting and destiny: Implicit theories of relationships predict beliefs about ghosting. Journal of Social and Personal Relationships36(3), 905-924. https://doi.org/10.1177/0265407517748791

 

Koch, E. J. (2020). Remembering that “Everybody Hurts”: The Role of Self-Compassion in Responses to Rejection. Basic and Applied Social Psychology42(3), 167-175. https://doi.org/10.1080/01973533.2020.1726748

 

LeFebvre, L. E., Allen, M., Rasner, R. D., Garstad, S., Wilms, A., & Parrish, C. (2019). Ghosting in emerging adults’ romantic relationships: The digital dissolution disappearance strategy. Imagination, Cognition and Personality39(2), 125-150. https://doi.org/10.1177/2F0276236618820519

 

Timmermans, E., Hermans, A. M., & Opree, S. J. (2020). Gone with the wind: Exploring mobile daters’ ghosting experiences. Journal of Social and Personal Relationships. https://doi.ord/10.1177/0265407520970287