KPIN
  • Beranda
  • Daftar Artikel Terbaru
  • Dewan Redaksi
  • Pedoman Penulisan
  • Cari Artikel
  • Arsip Artikel
  • Download

Beranda

Diskriminatif dan Rasisme dalam Prinsip Bhinneka Tunggal Ika

  • Print
  • Email
Details
Written by Triantini Saraswati Hamoes
Category: Arsip Artikel
Published: 28 November 2020

ISSN 2477-1686

 Vol. 6 No. 22 November 2020

Diskriminatif dan Rasisme dalam Prinsip Bhinneka Tunggal Ika

 

Oleh

Triantini Saraswati Hamoes

Program Studi Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa

Universitas Persada Indonesia YAI

 

Terbentuknya Kelompok Sosial Di Dalam Perspektif Makhluk Sosial

Seorang manusia pada hakekatnya tumbuh dan berkembang dengan saling membutuhkan satu sama lain. Sejak lahir hingga menutup usia, manusia tidak akan benar-benar bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebab, pada dasarnya manusia memiliki dorongan untuk berhubungan / berinteraksi dengan orang lain yang akhirnya membuat manusia disebut sebagai makhluk sosial (Setiadi, Hakam & Effendi, 2006). Adanya kebutuhan manusia untuk berinteraksi, maka dapat terbentuk menjadi sebuah kelompok sosial. Terbentuknya suatu kelompok sosial tersebut tidak hanya berdasarkan interaksi semata, melainkan adanya kesamaan dari sisi pola pikir, agama, etnis, dan sebagainya untuk mencapai sebuah tujuan yang sama.

Sejak terciptanya ojek bebasis aplikasi / ojek online tidak sulit untuk menemukan berbagai kelompok sosial / komunitas ojek online yang memiliki kesamaan identitas sosial dalam hal profesi. Dalam video yang diunggah oleh akun Instagram @gojek24jam, tampak seorang driver Gojek sedang membantu driver Grab yang kesulitan di tepi jalan karena sepeda motornya yang mogok (Habib, Tomyzul. 2019. https://akurat.co/hiburan/id-667502-read-didorong-sampai-tujuan-aksi-driver-grab-dan-gojek-saling-bantu-mengantar-pelanggan, 27 Oktober 2020). Dengan slogan “solidaritas tanpa batas” dan “salam satu aspal”, komunitas tersebut membuktikan aksinya dengan memiliki rasa solidaritas yang tinggi antar sesama tanpa adanya keinginan untuk bersaing satu sama lain.

Selanjutnya, terdapat gerakan feminis muda online yang bernama “Lawan Patriarki” dengan slogannya yang berbunyi ”feminisme adalah api di tengah gelapnya patriarki”, terbentuk karena adanya kesamaan dari pola pikir akan budaya patriarki yang meresahkan. Peran yang dilakukan gerakan tersebut cukup merepresentasikan tujuan yang ada didalamnya, terbukti dengan aksinya mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) secara konsisten, melalui unggahan berbagai post di akun media sosial yang menjelaskan isu-isu penting yang diangkat dalam protes dan mendorong perempuan muda untuk ikut berpartisipasi (Beta, Annisa R. 2020. https://theconversation.com/di-mana-perempuan-muda-di-indonesia-130394, 27  Oktober 2020).

Selain dua contoh kelompok sosial yang sudah dijelaskan, masih banyak kelompok sosial / komunitas / gerakan lain yang ada di Indonesia. Namun terlepas dari pengelompokan sosial yang ada, sesungguhnya seluruh masyarakat Indonesia telah berada dalam satu kesatuan yang memiliki identitas sosial “Bhinneka Tunggal Ika”. Identitas sosial tersebut sudah menjadi suatu prinsip kuat sejak masa proses kemerdekaan, yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Pursika (2009) menjelaskan bahwa perbedaan dalam kebhinekaan perlu disinergikan atau dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun kebersamaan.

Diskriminatif Dan Rasisme Dalam Prinsip Bhinneka Tunggal Ika

Berbagai perbedaan dalam satu kebhinekaan tunggal ika, selain memberi dampak positif dalam melestarikan keunikan aneka ragam budaya yang menjadi ciri khas Negara Indonesia, namun juga dapat memberikan dampak negatif. Biasanya, dampak negatif muncul dari prasangka (prejudice) yang diperlihatkan oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Realita yang terjadi saat ini, masih ada sebagian kelompok masyarakat yang beranggapan bahwa perbedaan itu ialah musuh yang harus dikalahkan dan perbedaan itu adalah suatu ancaman yang harus dihilangkan (Shofa, 2016). Adanya prasangka pada masing-masing kelompok sosial tentunya dapat memicu konflik yang dapat menimbulkan pertanyaan; sudahkah masyarakat Indonesia benar-benar menerima identitas sosialnya sebagai bagian dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika? 

Secara teori, dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia tentu sudah memahami arti dan intisari dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Namun sama halnya dengan “berkata lebih mudah daripada bertindak”, ironinya masyarakat Indonesia masih belum bergerak sebagai masyarakat multikultural yang sesungguhnya. Armiwulan (2015) mengatakan bagaimana masyarakat Indonesia yang dikenal memiliki nilai-nilai yang mengedepankan toleransi, tapi dalam prakteknya belum bisa dilepaskan dari dominasi mayoritas dan minioritas yang seringkali memicu sikap rasial dan stereotip. Dalam kenyataannya, stereotip ini memiliki fungsi sebagai pemenuhan kebutuhan psikologis individu untuk menginternalisasi nilai, membangun identitas kelompok, dan memberi pemahaman tindakan seseorang terhadap kelompok sosial lain. Demikian stereotip yang bernilai negatif pada akhirnya akan menciptakan prasangka yang berujung pada diskriminatif terhadap kelompok sosial tertentu.

Sejarah dan Prasangka Dalam Kasus Diskriminatif Etnis Tionghoa Di Indonesia

Dalam hal diskriminatif etnis, kasus yang saat ini masih menonjol ialah konflik etnis Tionghoa dengan pribumi. Kerusuhan Mei 1998 yang menggemparkan dunia memang membawa penderitaan yang luar biasa, bukan hanya kepada pribumi tetapi juga kelompok Tionghoa sendiri (Suryadinata, 2010). Walaupun Presiden keempat RI yang memiliki pandangan pluralis, Abdurahman Wahid telah menyudahi satu persatu konflik diskriminatif pada etnis Tionghoa, nyatanya sampai saat ini diskriminatif pada etnis minioritas tersebut masih sering terjadi bahkan sudah dianggap sebagai lelucon. Misalnya, seseorang yang memiliki perawakan berkulit putih dan bermata sipit seringkali dijuluki sebagai Ahok, salah satu Gubernur yang menjabat di DKI Jakarta dengan kasusnya yang dianggap menistakan agama.  

Tung Ju Lan membagi 4 kategori stereotip terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, kategori “asing” yang melekat pada warga etnis Tionghoa sekalipun yang bersangkutan sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Kedua, berkaitan dengan jenis pekerjaan yang digeluti oleh warga etnis Tionghoa cenderung kearah perdagangan hingga membawa bias pandangan bahwa warga etnis Tionghoa dicap sebagai economic animal. Ketiga, mengacu pada persoalan orientasi politik yang berkaitan dengan asal usul warga Tionghoa, isu nasionalisme Indonesia, keraguan terhadap kesetiaan warga etnis Tionghoa kepada bangsa Indonesia yang diperkuat oleh peristiwa tahun 1965 dan dikenal sebagai peristiwa G-30-S/PKI yang diduga didalangi oleh pemerintah RRC. Keempat, kebudayaan Tionghoa yang bersumber pada kebudayaan leluhurnya di RRC dianggap tidak pernah sejalan dengan kebudayan mayoritas warga Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam kaitannya dengan makanan yang mengandung babi dan dianggap menyalahi ajaran agama Islam. Didukung oleh pendapat menurut James T Siegel (1998) kekerasan terhadap etnis Tionghoa diawali oleh berbagai pikiran-pikiran awal yang lebih tepat disebut prasangka (prejudice) yang telah ada sebelumnya terhadap etnis Tionghoa dan prasangka yang diciptakan dan disebarluaskan oleh kelompok politik yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai korban (dalam Murdianto, 2018). Berbagai prasangka dan stereotip ini, secara budaya, ekonomi dan politik berhasil menciptakan kecurigaan-kecurigaan yang membuat permasalahannya semakin melebar dan sulit dijangkau.

Sepanjang sejarah Indonesia, memang tidak dapat dipungkiri terdapat oknum-oknum yang terlibat dalam masa penderitaan Indonesia. Namun peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia tidak dapat dilupakan begitu saja. Suryadinata (2010) mengatakan bahwa lima tokoh peranakan Tionghoa (Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Tan Eng Hwa, S.H., Oei Tiang Tjoei dan Drs. Yap Tjwan Bing) telah ikut serta dalam persiapan kemerdekaan yang dipimpin Soekarno Hatta lebih dari 50 tahun lalu. Selanjutnya diantara empat korban Universitas Trisakti yang kemudian diberi penghargaan sebagai Pahlawan Reformasi, salah satunya bernama Henriawan Lesmana yang sebetulnya keturunan etnis Tionghoa bernama keluarga Sie. Namun sangat disayangkan, pahlawan-pahlawan yang berlatarbelakang etnis Tionghoa jarang diangkat ke media sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya.

Stereotip Dalam Kasus Rasisme Masyarakat Papua

Rasisme sebagai pendorong diskriminatif juga menjadi suatu konflik dari perbedaan kelompok sosial di Indonesia, khususnya antara masyarakat dengan kulit putih dan kulit hitam. Masyarakat non Papua, seringkali memberikan stereotip kepada masyarakat Papua sebagai golongan berkulit hitam, berambut keriting, terbelakang, pembuat onar hingga pemberian julukan monyet. Belum lama terjadi konflik antar mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan di Surabaya dengan aparat dan ormas yang mengepung dan mengucapkan kalimat-kalimat bernada rasisme kepada para mahasiswa tersebut karena dugaan perusakan bendera merah putih. Realita yang terjadi saat ini, hukum di Indonesia seakan tidak berlaku bagi orang Papua. Ketika orang papua diperlakukan kurang manusiawi, harkat dan martabatnya dihina dengan tindakan kekerasan atau pembunuhan oleh oknum tertentu baik sipil maupun militer, tetap tidak berlaku hukuman bagi pelakunya (Sari & Samsuri, 2020). Selanjutnya, Islam (2012) menjelaskan bahwa konflik rasisme pada orang Papua juga dibentuk oleh stereotip media, dimana etnis kulit hitam Indonesia baik itu berasal dari Maluku, Papua atau NTT, dalam media di posisikan sebagai pihak yang bengis, menyukai hal yang berbau kejam dan kekerasan.

Jika dilihat dari dampak rasisme yang dirasakan oleh warga Papua, tentu secara psikologis sudah membuat mereka merasa tidak dihargai, tidak bermakna dan tidak diberlakukan secara manusiawi, baik secara verbal maupun non verbal. Beberapa pandangan, menilai bahwa masyarakat Papua cenderung menutup diri, bahkan dilihat dari faktanya beberapa kali mereka ingin melepaskan diri dari Indonesia. Padahal jika ditelusuri sebab akibatnya, hal demikian terjadi karena dasar stereotip yang membuat mereka enggan untuk membaur pada masyarakat non Papua. “Kami paham Indonesia tak peduli kesejahteraan orang Papua. Dengan mata kepala kami telah menyaksikan kekerasan polisi dan aparat saat membubarkan demo-demo orang Papua. Dan kami juga melihat bagaimana banyak orang Indonesia santai-santai saja menanggapi kekerasan terhadap orang Papua di Jawa. Kami mungkin tak pernah mengira mereka bisa sangat ugal-ugalan rasisnya.” Ungkap seorang masyarakat Papua dengan penutup “Indonesia berpikir orang Papua “terbelakang” dan daerah yang “terbelakang” tak menghasilkan orang pintar.” (Giay, 2019). https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9, 27 Oktober 2020).

Kesimpulan

Berdasarkan contoh-contoh kasus rasisme dan diskriminatif tersebut, dapat dipahami bahwa prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam artiannya tidak cukup hanya dipahami melalui penalaran, namun juga harus diwujudkan dalam tindakannya. Negara Republik Indonesia telah memberikan jaminan perlindungan untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif sebagai hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Armiwulan, 2015). Akan tetapi bukti nyata dari Undang-Undang tersebut justru berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Indonesia yang hidup dan berkembang dalam keragaman ras dan etnis yang ada.  Adanya perlakuan rasisme tidak hanya membawa sebuah jarak antar ras atau etnis, tapi juga luka bagi individu yang menjadi korban dengan munculnya perasaan tidak diterima dan rendah diri, yang akhirnya bukan tidak mungkin perasaan-perasaan tersebut membuat mereka gagal untuk berkembang menjadi versi terbaik dari diri mereka (Dewi, 2019). https://pijarpsikologi.org/rasisme-sebuah-luka-dibalik-perbedaan/, 27 Oktober 2020). Dengan meningkatkan sikap toleransi dan menerima perbedaan, setidaknya akan terbentuk Indonesia dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang seutuhnya.

 

Referensi:

 

Armiwulan, H. (2015). Diskriminasi rasial dan etnis sebagai persoalan hukum dan hak asasi manusia. MMH(4), 493-502.

Beta, A. R. (2020, February 4). Di mana perempuan muda (di) Indonesia? Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/di-mana-perempuan-muda-di-indonesia-130394

Dewi, K. (2019, September 19). Rasisme: Sebuah Luka Dibalik Perbedaan. Retrieved from PijarPsikologi: https://pijarpsikologi.org/rasisme-sebuah-luka-dibalik-perbedaan/

Giay, L. J. (2019, August 20). Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9

Islam, N. (2012). Representasi Etnisitas Dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika Di Media. Jurnal Dakwah Tabligh, 13(2), 235-257.

Murdianto. (2018). Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia). Qalamuna, 10(2), 137-160.

Pursika, I. N. (2009). Kajian analitik terhadap semboyan ”bhinneka tunggal ika". Jurnal Pendidikan dan Pengajaran(1), 15-20.

Sari, E., & Samsuri. (2020). Etnosentrisme dan sikap intoleran pendatang terhadap orang papua. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(1), 142-150.

Setiadi, E., Hakam, K., & Effendi, R. (2006). Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Jakarta: KENCANA.

Shofa, A. M. (2016). Memaknai kembali multikulturalisme indonesia dalam bingkai pancasila. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1), 34-41.

Suryadinata, L. (2010). Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

 

 

 

Kejenuhan: Dampak Pandemi Covid-19

  • Print
  • Email
Details
Written by Tjitjik Hamidah
Category: Arsip Artikel
Published: 30 October 2020

 ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 20 Oktober 2020

 

Kejenuhan: Dampak Pandemi Covid-19

 

Oleh

Tjitjik Hamidah

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia-YAI

 

Situasi  pandemik mengharuskan  setiap orang termasuk mahasiswa  untuk tetap  berada  di  dalam  rumah,  menciptakan  jarak  fisik  dan  sosial,  serta  melakukan  Pembelajaran  Jarak  Jauh.  Situasi  krisis ini dianggap  sebagai  gangguan  keseimbangan  dan  rutinitas  yang menimbulkan perasaan jenuh, lelah, gelisah terkait dengan lingkungan yang kurang memberi stimulasi yang menantang. Reaksi psikologis akibat situasi ini adalah meningkatnya kecemasan dan tingkat stres akibat rasa jenuh atau bosan. Sebagian  besar  institusi  pendidikan  dan  sektor  pekerjaan  telah  memberlakukan  kebijakan  Pembelajaran  Jarak  Jauh  (PJJ)  maupun  Work  From  Home  (Bekerja  dari  Rumah)  sebagai  bentuk  penerapan  physical  distancing  untuk  mengurangi  perluasan  penyebaran  COVID-19.

Pembelajaran  Jarak  Jauh  (PJJ)  dari  rumah  tentu  bukanlah  kondisi  yang  ideal  dan  dapat  menjadi  pengalaman  yang  tidak  menyenangkan  bagi  sebagian  mahasiswa.  Situasi  penuh  tekanan  seperti  ini  tentunya  memunculkan  reaksi  yang  beragam.  Beberapa  reaksi  psikologis  yang  mungkin  muncul  antara  lain: ketidakpastian  tentang  berapa  lama  situasi  seperti  ini  akan  berlangsung,  dan  ketidakpastian  tentang  masa  depan,  kesendirian  yang  diasosiasikan  dengan  perasaan  terisolir  dari  dunia  luar  dan  dari  orang  yang  dicintai, kejenuhan  karena  tidak  dapat  bekerja  atau  terlibat  dalam  kegiatan  yang  biasa  dilakukan  sehari-hari, serta kecemasan,  stres,  dan  rasa  takut  (SAMHSA, 2014b).

Karantina,  isolasi,  berhentinya  rutinitas,  serta  berkurangnya  kontak  sosial  dan  fisik  dengan  orang  lain  sering  terbukti  menyebabkan  kejenuhan  yang  dapat  menyusahkan  para  mahasiswa  yang  menjalani  Pembelajaran  Jarak  Jauh  di  rumah.  Perasaan  negatif  ini  diperburuk  dengan  tidak  dapat  mengambil  bagian  dalam  kegiatan  sehari-hari  yang  biasa  dilakukan  (Brooks et al., 2020).

Kecenderungan  kejenuhan  juga  dikaitkan  dengan  menurunnya  kesejahteraan  psikologis  serta  berkaitan dengan  stress  dan  kecemasan,  juga  masalah  regulasi  emosi  (Lee & Zelman, 2019). Kejenuhan dapat dikatakan berhubungan dengan kecemasan. Kejenuhan menurut LePera (2011) adalah keadaan ketidakpuasan yang dihasilkan dari kombinasi lingkungan yang tidak menarik dan kendala perhatian. Hasil penelitiannya menemukan hubungan antara kecenderungan kejenuhan dan  kecemasan.  Brooks, et al. (2020) mengidentifikasi beberapa stress/kecemasan selama melakukan isolasi di rumah termasuk lamanya mengisolasi, ketakutan terjangkit infeksi, persediaan yang tidak memadai, informasi yang tidak memadai dan kejenuhan. Kejenuhan  juga  dapat  didefinisikan  sebagai  keadaan  ketidakpuasan  yang  dihasilkan  dari  kombinasi  lingkungan  yang  tidak  menarik  dan  kendala  perhatian  (LePera, 2011). Pada  umumnya,  kejenuhan  terjadi  ketika  stimulasi  rendah. Sebagai contoh adanya perkuliahan yang menggunakan Zoom Meeting oleh seorang dosen banyak direspon oleh mahasiswa tanpa rasa antusias akibat kejenuhan atau kebosanan. Dampaknya bermacam-macam tetapi secara umum yang terlihat adalah adanya semangat yan rendah dan  terdapat ketidakpuasan yang disebabkan oleh situasi yang tidak menstimulasi secara memadai (Mann & Robinson, 2009).

Lebih lanjut, kejenuhan merupakan sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalization (mengalami kelelahan fisik dan mental yang cukup lama serta menunjukkan “keanehan”), dan low personal accomplishment (menurunnya pencapaian atau prestasi diri) yang dapat dialami setiap individu yang belajar, dalam hal ini mahasiswa. Kejenuhan dapat mempengaruhi  perilaku.  Kecenderungan  kejenuhan  yang  tinggi  telah  dikaitkan  dengan  berbagai  perilaku negative seperti timbulnya kecemasan dan stress.  Studi  telah  menemukan  korelasi  antara  kecenderungan  kejenuhan  dengan kecemasan yang  diukur  dengan  Boredom  Proneness  Scale  (BPS). (LePera, 2011)

Kejenuhan  bisa  menjadi  tantangan  bahkan  masalah  bagi  mahasiswa  yang  melakukan  Pembelajaran  Jarak  Jauh  di  rumah.  Kejenuhan  dapat  diperburuk  ketika  suatu  kegiatan / situasi  dianggap  tidak  berarti.  Ini  mungkin  terjadi,  jika  individu  tidak  meyakini  pengaruh  dan / atau keharusan  melakukan  karantina  di  rumah  untuk  memperlambat  penyebaran COVID-19. Secara umum, beberapa  tindakan  penanganan  COVID-19  cenderung  menyebabkan  kejenuhan,  hal  ini  mungkin  membuat  individu  yang  memiliki  kecenderungan  kejenuhan  yang  tinggi  sulit  untuk  mengikuti  arahan-arahan  mengenai  COVID-19  (Martarelli & Wolff, 2020). Dari hasil penelitiannya, ditemukan adanya korelasi yang kuat antara kejenuhan dan banyak hasil perilaku negatif.

 

Referensi:

Brooks, S. K., Webster, R. K., Smith, L. E., Woodland, L., Wessely, S., Greenberg, N., &

Rubin, G. J. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: Rapid review of the evidence. The Lancet, 395(10227), 912–920. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30460-

Lee, F. K. S., & Zelman, D. C. (2019). Boredom proneness as a predictor of depression,

anxiety and stress: The moderating effects of dispositional mindfulness. Personality and Individual Differences, 146, 68–75. https://doi.org/10.1016/j.paid.2019.04.001

LePera, N. (2011). Relationships between boredom proneness, mindfulness, anxiety,

depression, and substance use: (741452011-003) [Data set]. American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/e741452011-003

Mann, S., & Robinson, A. (2009). Boredom in the lecture theatre: An investigation into the

contributors, moderators and outcomes of boredom amongst university students. British Educational Research Journal, 35(2), 243–258. https://doi.org/10.1080/0141192080204291

Martarelli, C., & Wolff, W. (2020). Too bored to bother? Boredom as a potential threat to the efficacy of pandemic containment measures [Preprint]. PsyArXiv. https://doi.org/10.31234/osf.io/v7y85

SAMHSA. (2014b). Taking Care of Your Behavioral Health: Tips for Social Distancing,

Quarantine, and Isolation During an Infectious Disease Outbreak. HHS Publication, 4.

 

Transformasi Metode Pelatihan Offline Menuju Online

  • Print
  • Email
Details
Written by I Gde Dhika Widarnandana
Category: Arsip Artikel
Published: 04 October 2020

ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 19 Oktober 2020

Transformasi Metode Pelatihan Offline Menuju Online

 

Oleh

I Gde Dhika Widarnandana

Program Studi Psikologi, Universitas Dhyana Pura

 

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan suatu cara yang digunakan untuk membentuk individu yang berkualitas dan berdaya saing global. Pengembangan SDM dapat mulai dilakukan dari individu pertama kali masuk ke dalam perusahaan, selama berada di perusahaan hingga akan mencapai masa pensiun. Pengembangan SDM ini dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya dengan menggunakan metode pelatihan atau yang biasa disebut dengan Training. Program training ini dapat dilakukan baik itu secara indoor mengadakan pelatihan di satu ruangan, ataupun bisa dilakukan secara outdoor yang sering disebut dengan kegiatan Outbound, yaitu program pelatihan yang dilakukan melalui permainan dengan menekankan pada pembelajaran.

 

Memasuki tahun 2019 ini menjadi tantangan bagi dunia pelatihan, diakibatkan Pandemi Covid 19, dimana program pelatihan secara tatap muka menjadi terbatas. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga agar penularan virus tidak cepat untuk menyebar. Adapun kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk selalu menghindari kerumunan, selalu menjaga jarak satu sama lain serta mengadakan kegiatan dengan jumlah terbatas. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para trainer dalam memberikan pelatihan. Para trainer yang biasanya selalu memberikan semangat di dalam kelas dituntut berinovasi secara nyata pada situasi saat ini.

 

Selama masa pandemi telah terjadinya proses shifting, dimana program pelatihan yang biasanya dilakukan secara tatap muka secara langsung, sekarang dituntut untuk dapat melaksanakan program dengan minim interaksi secara langsung serta menggunakan pendekatan teknologi virtual. Dilihat dari kemampuan finansial peserta pelatihan juga menjadi terbatas, sehingga diharapkan lebih kepada program pelatihan dengan berbiaya rendah. Dari sisi durasi waktu pelatihan juga semakin terbatas dimana melakukan pelatihan dengan media online yang cukup lama dapat menyebabkan kelelahan.

 

Pada situasi pandemi ini menjadi tantangan bagi trainer untuk terus melakukan inovasi, Dilihat dari sisi peserta karena kegiatan dilakukan di tempat masing-masing bisa terkendala koneksi internet. Belum lagi tiap individu bisa terdistraksi dengan gangguan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekitarnya (Kholisdinuka, 2020). Dari sisi trainer juga persiapan yang digunakan untuk pelatihan menjadi lebih panjang. Belum lagi menjadi tantangan baru bagi para trainer untuk melakukan program pelatihan, tanpa memperhatikan interaksi peserta secara langsung, dimana interaksi ini bisa meningkatkan semangat trainer. Trainer juga bisa mengalami kendala ketika belum memahami aplikasi yang digunakannya.

 

Meskipun dihadapi tantangan seperti ini, ternyata terdapat peluang yang bisa didapatkan oleh trainer. Seperti mempersiapkan dan berbagi materi untuk menghadapi situasi baru, yang bisa juga diterapkan situasi normal. Dalam hal ini bisa menyiapkan konten dan alat pembelajaran yang mendorong tenaga kerja untuk lebih terampil (Esthi, 2020). Dari sisi peserta apabila mengadakan sharing audience yang dijangkau juga bisa lebih luas baik itu berasal dari Indonesia maupuan luar negeri. Dalam situasi seperti ini juga memberikan kesempatan untuk berkolaborasi semakin memungkinkan terutama dalam mengembangan Sumber Daya Manusia di Indonesia dengan menggunakan pelatihan.

 

Pada saat trainer melakukan program pelatihan lewat training online ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehingga program pelatihan bisa berjalan dengan optimal

1.    Mempersiapkan materi, dimana dengan materi yang berkualitas baik itu modul, slide, form evaluasi harus dipersipakan dengan baik, sehingga bisa membuat program pelatihan yang terstruktur dan bermanfaat.

 

2.    Tim yang bertugas, baik itu moderator, fasilitator dan trainer harus memahami tugas nya dengan baik dan memastikan bahawa koneksi di tempat masing-masing dapat berjalan dengan optimal dan baik.

 

3.    Mempelajari media dan fitur-fitur yang digunakan, tidak hanya menggunakan alat media conference saja, Namun juga perlu memperhatikan fitur yang tersedia di tiap aplikasi, ataupun dapat pula dikombinasikan dengan media penunjang lainnya seperti aplikasi survei maupun games, sehinggap pelatihan lebih menarik.

 

4.    Trainer beserta tim juga perlu menyiapkan simulasi terlebih dahulu sebelum dimulai nya kegiatan sehingga bisa berjalan dengan maksimal.

 

5.    Melibatkan interaksi pada peserta, meskipun menggunakan media virtual, trainer dapat memberikan sapaan, dan bertanya kepada peserta, sehingga suasana pelatihan lebih lancar.

 

Kelima hal tersebut dapat dilakukan sehingga trainer dapat mempersipakan diri dengan pelatihan yang biasanya dilakukan secara offline menjadi online.

 

Referensi:

 

Esthi, R. B. (2020). Strategi Sumber Daya Manusia di Masa Pandemi dan New Normal Melalui Remote Working, Employee Productivity dan Upskilling for Digital. JPM : Jurnal Pengabdian Masyarakat, 22-24.

 

Kholisdinuka, A. (2020, 9 14). 4 Tantangan Pelatihan Virtual Pekerja di Tengah Pandemi. Retrieved from finance.dek.com: https://finance.detik.com/bursa-valas?tag_from=wp_finance_secondnav_Bursa%20Valas

 

 

 

Efektivitas Media Sosial sebagai Fasilitator Kemunculan Perilaku Prososial di Era Globalisasi

  • Print
  • Email
Details
Written by Kanita Desfara A
Category: Arsip Artikel
Published: 20 September 2020

ISSN 2477-1686

 

Vol. 6 No. 18 September 2020

Efektivitas Media Sosial sebagai Fasilitator Kemunculan Perilaku Prososial di Era Globalisasi

 Oleh

Kanita Desfara A

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

(Juara 1 Lomba PsychoPaper-Universitas Pelita Harapan)

 

 

Rasa Empati dan Perilaku Prososial di Era Globalisasi

Seiring dengan perkembangan zaman, problematika yang berakar dari keterbatasan interaksi serta teknologi telah mencapai titik terang melalui kehadiran globalisasi. Namun, kemudahan yang ditawarkan tidak hadir melainkan beriringan dengan kekhawatiran baru terkait kemunduran sikap sosial masyarakat. Individualisme, selanjutnya, dapat mengurangi pola interaksi yang dikhawatirkan memberi andil dalam berkurangnya rasa empati dan perilaku prososial, yakni tindakan yang bertujuan untuk memberikan manfaat kepada orang lain, seperti membantu, berbagi, dan kerja sama (dalam Cherry, 2018). Meskipun demikian, dalam hal teknologi, peningkatan pola interaksi melalui media sosial dapat menjadi peluang alih-alih hambatan pelestarian perilaku prososial (Greitemeyer, 2011).

Dalam penelitian Van Doorn, dkk (2014) terhadap 2.202 remaja dan dewasa muda dari 7 negara, dilakukan pengukuran terhadap tingkat penggunaan media melalui General Media Habits Questionnaire yang dapat menampilkan durasi serta jenis paparan media pada individu. Selanjutnya, partisipan diminta untuk mengisi skala 7 poin untuk menilai muatan konten prososial dan kekerasan yang terdapat pada acara tersebut dan melakukan pengukuran empati melalui serta tingkat perilaku prososial.

 

Penggunaan Media Sosial di Era Globalisasi

Berdasarkan penelitian tersebut, terlihat bahwa konten media memberikan dampak pada perubahan perilaku interpersonal seseorang. Globalisasi memungkinan seseorang memberi lebih banyak atensi terhadap media melalui akses terhadap beragam jenis gawai. Perubahan preferensi tersebut dapat digunakan sebagai potensi alih-alih hambatan dalam penyebaran konten media positif melalui jejaring media sosial, seperti dengan menyebarluaskan video maupun tulisan terkait perilaku positif, seperti kisah seseorang yang telah membantu orang lain. Eksposur tersebut dapat berperan sebagai stimulus yang mengaktivasi sikap empati individu.

Potensi media sosial dalam memediasi lahirnya perilaku prososial dapat pula dilakukan melalui penyebaran konten yang dapat memicu kemunculan simpati, moral outrage, dan existential guilt. Dalam penelitian Montada dan Schneider (dalam Van Doorn, Zeelenberg, & Breugelmans, 2014) yang menghadapkan partisipan pada skenario yang menggambarkan kesengsaraan sebuah kelompok berbeda, terlihat konten terkait memicu kemunculan moral outrage sebagai bentuk reaksi kemarahan terhadap ketidakadilan. Selain itu, timbul existential guilt sebagai perasaan bersalah atas ketidakberuntungan orang lain dan perasaan simpati yang selanjutnya berperan sebagai prediktor komitmen prososial, seperti keinginan menyumbangkan uang. Hal serupa terlihat pada penelitian Vitaglione dan Barnett (2003) yang menyoroti kemunculan emphatic anger sebagai hasil dari eksposur terhadap kerugian yang dialami orang lain.

Melalui kedua penelitian tersebut, tampak bahwa usaha peningkatan perilaku prososial dapat dilakukan tidak hanya dengan menyebarluaskan hal-hal yang mengandung positivitas, tetapi juga dengan penampilan konten ketidakadilan maupun kesulitan orang lain yang dapat memengaruhi perasaan internal individu.. Hal ini terjadi karena emotional contagion  memungkinkan seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain terlepas dari ada atau tidaknya kesadaran mereka (Praet, 2019).

 

 

 

Peningkatan Perilaku Prososial melalui Media Sosial

Hal menarik lain yang melandasi kemungkinan peningkatan perilaku prososial melalui media sosial adalah dengan memahami mekanisme mimicry yang memainkan peran penting dalam emotional contagion (Stel, Van Baaren, & Vonk, 2008). Mimicry merupakan kecenderungan seseorang yang dilakukan secara tidak sadar untuk meniru perilaku, pola bicara, kata-kata, gerakan, postur, atau ekspresi wajah orang lain.

Penelitian dilakukan terhadap 32 mahasiswa Universitas Leiden. Partisipan diminta untuk menonton sebuah video dan diberi instruksi untuk meniru ekspresi wajah orang yang ditampilkan pada video, sementara setengah lainnya menerima instruksi untuk tidak meniru. Setelah menonton video yang memuat iklan PETA, sebuah organisasi yang mengangkat isu terkait hak-hak hewan di dunia serta penderitaan mereka, peserta memberikan donasi dengan jumlah cukup besar ketika bagian akhir kuesioner diarahkan untuk tawaran donasi sukarela.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa mimicry memiliki andil dalam emotional contagion. Ketika dihadapkan pada sebuah video bermuatan sedih dan perasaan emosional tertentu mulai dirasakan, individu secara otomatis mulai meniru ekspresi wajah orang yang dilihatnya. Selanjutnya, kemunculan emosi yang sama dengan mimickee disebabkan oleh penyampaian informasi ke otak yang dilakukan oleh otot-otot wajah yang terbentuk dari mimicry.

Berdasarkan hal tersebut, proses mimicry menjadi bukti positif yang memperkuat kemungkinan potensi media sosial sebagai fasilitator kemunculan perilaku prososial. Dalam jangka panjang, hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan sentisisasi dalam diri individu yang dapat melahirkan lebih banyak output berupa perilaku prososial.

Globalisasi seringkali menjadi momok menakutkan yang dikhawatirkan dapat menggerus kemunculan perilaku tertentu. Padahal, peningkatan aksesibilitas terhadap pemikiran prososial merupakan hal yang dimudahkan dengan kehadiran globalisasi. Penyebarluasan konten terkait perilaku positif tertentu dapat memberikan social tendencies positif pada yang melihat. Selain itu, penampilan konten ketidakadilan maupun ketidakberuntungan orang lain dapat memediasi lahirnya emphatic anger dan emosi lain yang didorong oleh emotional contagion dan mimicry. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi akibat globalisasi seharusnya menimbulkan perasaan optimis alih-alih keputusasaan dalam upaya peningkatan peirlaku prososial. 

 

Referensi:

Greitemeyer, T. (2011). Effects of prosocial media on social behavior: When and why does media exposure affect helping and aggression? Current Directions in Psychological Science, 20(4), 251–255. https://doi.org/10.1177/0963721411415229

Praet, D. V. (2019). Emotional contagion drives social media. Psychology Today. Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/unconscious-branding/201909/emotional-contagion-drives-social-media

Prot, S., Gentile, D. A., Anderson, C. A., Suzuki, K., Swing, E., Lim, K. M., … Lam, B. C. P. (2014). Long-term relations among prosocial-media use, empathy, and prosocial behavior. Psychological Science, 25(2), 358–368. https://doi.org/10.1177/0956797613503854

Stel, M., Van Baaren, R. B., & Vonk, R. (2008). Effects of mimicking: Acting prosocially by being emotionally moved. European Journal of Social Psychology, 38(6), 965–976. https://doi.org/10.1002/ejsp.472

Van Doorn, J., Zeelenberg, M., & Breugelmans, S. M. (2014). Anger and prosocial behavior. Emotion Review, 6(3), 261–268. https://doi.org/10.1177/1754073914523794

 

 

 

 

 

Page 1 of 15

  • Start
  • Prev
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
  • 6
  • 7
  • 8
  • 9
  • 10
  • Next
  • End
Copyright © 2015 - 2023 KPIN
Design by SEH, Powered by Gantry Framework