ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 3 Februari 2021
Kita, Media Sosial, dan Body Shaming
Oleh
Nadhifa Salsabillah Riyadi & Mochammad Sa’id
Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Menurut data Kominfo, Indonesia menduduki peringkat keenam dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia (Kompas, 2014). Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia sebanyak 196,7 juta orang (Kompas, 2020). Jumlah ini tentunya bukanlah jumlah yang sedikit. Tak heran, penggunaan internet di Indonesia merupakan suatu keharusan yang sulit untuk dipisahkan dari masyarakat. Keberadaan jaringan internet telah mendorong lahirnya berbagai fitur aplikasi yang disebut media sosial. Media sosial menurut pengertiannya dibagi atas dua bagian, yaitu media yang berarti alat komunikasi dan sosial yang berarti aktivitas memberikan kontribusi kepada khalayak luar (McQuail dalam Mulawarman & Nurfitri, 2017). Secara singkat, media sosial berarti alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk melakukan proses interaksi sosial.
Terlepas dari manfaat positifnya sebagai media komunikasi, tentu saja media sosial memiliki potensi untuk menimbulkan dampak negatif. Salah satunya adalah perilaku body shaming: mengomentari negatif dan mencela penampilan fisik, ukuran dan bentuk tubuh, maupun berat badan orang lain (Chaplin, dalam Fauzia & Rahmiaji, 2019). Berdasarkan data dari jumlah kasus yang ditangani oleh kepolisian RI, terdapat 966 kasus body shaming di Indonesia pada tahun 2018 (Detik News, 2018).
Bentuk body shaming yang sering terlihat di media sosial, khususnya platform instagram, yaitu fat shaming: kritikan dan komentar negatif mengenai bentuk tubuh seseorang yang dianggap gemuk (Fauzia & Rahmiaji, 2019). Namun dalam kenyataannya, bentuk body shaming sangatlah beragam. Di antaranya adalah komentar negatif seperti menyamakan individu tersebut dengan hewan, sindiran halus seperti meminta individu tersebut untuk berolahraga, dan mengomentari bentuk fisik sebelumnya.
Mirisnya, seringkali komentar-komentar tersebut dianggap wajar dan gurauan. Bahkan ketika korban mencoba untuk membela dirinya, ia justru mendapat label baper atau bawa perasaan. Tak jarang orang-orang melakukan body shaming tanpa tahu akibatnya, sehingga dengan mudahnya mengomentari bentuk dan ukuran tubuh orang lain. Padahal, komentar-komentar seperti itu menimbulkan dampak negatif yang begitu besar terhadap korbannya. Di antara dampak negatif dari body shaming pada diri korban adalah munculnya perasaan cemas, rasa malu, tidak percaya diri, melakukan diet ekstrim, hingga gangguan mental berat (Lestari, 2019; Mawaddah, 2020). Tak jarang pula korban yang mendapatkan komentar negatif tersebut menutup akun media sosialnya. Bahkan, dampak terparah dari body shaming adalah korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Kebebasan berpendapat memang hak setiap orang, namun mengkritik fisik orang lain merupakan hal yang tidak semestinya dilakukan. Terlebih, kritikan tersebut dilontarkan di media sosial yang notabenenya dapat dilihat oleh banyak orang dan korban pun akan merasakan gangguan fisik dan mental yang lebih berat. Di Indonesia sendiri telah terdapat hukum yang mengatur tindakan body shaming, yaitu UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3, dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara (Media Indonesia, 2018). Namun demikian, patut disayangkan bahwa walaupun Indonesia memiliki aturan terhadap perilaku body shaming, nampaknya hal tersebut belum efektif.
Salah satu penyebab maraknya perilaku body shaming menurut Dr. Devie Rahmawati yaitu kurangnya edukasi mengenai perilaku body shaming (Jawa Pos, 2018) Sehingga, orang tersebut tidak mengetahui apa dampak yang akan dipikul oleh korban. Selain itu, walaupun aturan hukumnya sudah ada, belum ada ketegasan dalam penegakan hukumnya, sehingga banyak orang menganggap bahwa perilaku body shaming yang mereka lakukan tidak akan membuat mereka dihukum.
Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengurangi perilaku body shaming di media sosial. Beberapa upaya yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan psikoedukasi (Lestari, 2020). Psikoedukasi dirasa penting dikarenakan salah satu penyebab dari adanya body shaming adalah kurangnya edukasi. Ketika individu mengetahui dampak yang akan dialami korban, hal itu tentu dapat mencegahnya dari tindakan body shaming. Psikoedukasi ini dapat dilakukan dengan menyebarkan konten-konten positif dan mendidik bertema kesehatan mental serta bahaya tindakan body shaming, sehingga mampu menyadarkan masyarakat mengenai perilaku body shaming.
Kedua, penegakan hukum. Berdasarkan teori Albert Bandura yaitu modeling, seseorang akan melihat adanya reward dan punishment dalam suatu perilaku sebelum ia meniru. Ketika individu melihat adanya hukuman karena berkomentar negatif, tentunya ia akan menghindari perilaku tersebut. Indonesia memang memiliki aturan mengenai cyberbullying, namun kenyataannya aturan tersebut masih lemah.
Ketiga, setiap individu harus mengembangkan perasaan mencintai diri sendiri. Ketika seseorang memiliki rasa mencintai diri sendiri, orang tersebut cenderung lebih mudah dalam menanggapi komentar negatif. Ibarat seperti tameng, mencintai diri sendiri dapat menahan berbagai cemoohan. Dengan mencintai diri sendiri, individu akan lebih fokus pada kelebihannya dan mengembangkan dirinya dibandingkan meratapi kekurangan dalam dirinya. Sehingga, ia dapat merasa nyaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya dalam kondisi apapun.
Referensi:
Detik News. (2018, November 28). Polisi Tangani 966 Kasus Body Shaming Selama 2018. https://news.detik.com/berita/d-4321990/polisi-tangani-966-kasus-body-shaming-selama-2018
Fauzia, T. F., & Rahmiaji, L. R. (2019). Memahami Pengalaman Body shaming Pada Remaja Perempuan. Interaksi Online, 7(3), 238-248.
Jawa Pos. (2018, November 25). 4 Penyebab Body Shaming. https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/25/11/2018/4-penyebab-body-shaming/
Kompas. (2014, November 11). Pengguna Internet Indonesia Nomor Enam di Dunia. https://tekno.kompas.com/read/2014/11/24/07430087/Pengguna.Internet.Indonesia.Nomor.Enam.Dunia
Kompas. (2020, November 09). Pengguna Internet Indonesia hingga Kuartal II 2020 Capai 196,7 Juta Orang. https://money.kompas.com/read/2020/11/09/213534626/pengguna-internet-indonesia-hingga-kuartal-ii-2020-capai-1967-juta-orang
Lestari, S. (2019). Bullying or Body Shaming? Young Women in Patient Body Dysmorphic Disorder. PHILANTHROPY: Journal of Psychology, 3(1), 59-66.
Lestari, S. (2020). Psikoedukasi Dampak Body Shaming pada Remaja. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 5(2), 564-570.
Mawaddah, N. (2020). Dampak Body Shaming terhadap Kepercayaan Diri Remaja Putri di Desa Muara Uwai Kecamatan Bangkinang. Disertasi. Riau: UIN Sultan Syarif Kasim.
Media Indonesia. (2018, November 28). Pelaku Body Shaming Bisa Dihukum 4 Tahun Penjara. https://mediaindonesia.com/read/detail/200759-pelaku-body-shaming-bisa-dihukum-4-tahun-penjara
Mulawarman, M., & Nurfitri, A. D. (2017). Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan. Buletin Psikologi, 25(1), 36-44.