ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 3 Februari 2021
Disonansi Kognitif dalam Menghadiri Resepsi di kala Pandemi
Oleh
Melia Khoirunnisa, Penti Patimatun, Nadya Rizka Putri, & Tri Hanifah
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki ciri atau karakter tersendiri, termasuk aspek sosial atau budayanya. Salah satu bentuk keragaman budaya di Indonesia ialah tradisi dalam prosesi pernikahan, yang umumnya dimeriahkan melalui acara hajatan atau resepsi. Menurut Arif (2018), resepsi pernikahan diadakan untuk menginformasikan kepada khalayak umum mengenai adanya pernikahan antara dua orang,yang dibarengi dengan menyediakan jamuan dari pembuat hajat kepada tamu undangan. Pada umumnya, resepsi pernikahan atau hajatan semacam ini diadakan dengan mengundang keluarga inti, keluarga besar, kolega, serta kerabat.
Pandemi covid-19 yang terjadi pada tahun 2020, mendorong pemerintah di sejumlah daerah untuk melarang masyarakat berkerumun atau mengunjungi tempat-tempat yang ramai, termasuk mengunjungi hajatan atau resepsi pernikahan. Walaupun begitu, pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang mengadakan hajatan ataupun mendatangi undangan hajatan.
Penulis melakukan survey sederhana kepada 51 orang responden warga Jakarta yang pernah menerima undangan resepsi pernikahan. Hasilnya, 36 orang di antaranya mengaku mendapatkan lebih dari satu kali undangan pernikahan selama masa pandemi ini, dan hampir semua responden menghadiri setidaknya satu di antara undangan tersebut.
Pada umumnya alasan responden untuk tetap menghadiri undangan tersebut adalah karena adanya rasa tidak enak kepada pihak yang mengundang, karena yang mengundang tersebut adalah teman atau kerabat mereka sendiri. Di sisi lain, 94% responden mengatakan bahwa resepsi yang mereka hadiri telah memenuhi protokol kesehatan. Pada beberapa resepsi yang tidak menaati protokol, maka kebanyakan responden menegur pihak penyelenggara ataupun memilih pulang. Sementara itu 98% atau hampir semua responden mengaku telah menerapkan protokol kesehatan kepada diri mereka sendiri.
Penulis juga mewawancarai tiga orang responden. Berdasarkan hasil wawancara, sebenarnya respondensudah paham mengenai bahaya dari Covid-19, dan mereka juga berpendapat bahwa berbagai acara termasuk hajatan sebaiknya ditunda dulu selama pandemi atau diganti. Akan tetapi, mereka tetap mengunjungi hajatan dengan alasan “tidak enak hati kepada yang mengundang”. Dalam kasus ini terlihat bahwa terjadi logika yang tidak konsisten, yaitu keyakinan akan bahaya dari penyebaran virus melalui acara hajatan, namun di sisi lain tetap menghadiri hajatan tersebut.
Logika yang tidak konsisten semacam itu dapat disebut juga sebagai inkonsistensi logis (logical inconsistency), yang merupakan salah satu faktor dalam disonansi kognitif (Walgito, 2011). Secara sederhana disonansi kognitif merupakan ketidaksesuaian antara satu pikiran dengan pikiran yang lain, atau ketidaksesuaian antara pikiran dengan perasaan. Faktor lain dalam disonansi kognitif opinion generality, yang dalam kasus di atas misalnya adalah anggapan dari responden bahwa peraturan dari pemerintah adalah solusi yang baik, namun mereka tidak sepenuhnya melakukan apa yang mereka utarakan itu.
Namun faktor yang paling utama menurut hemat penulis adalah adanya cultural mores. Menurut Festinger (dalam Harmon-Jones & Mills, 2019), disonansi kognitif terjadi karena orang-orang akan secara begitu saja mengikuti apa yang menurut budaya sebagai sesuatu yang konsonan atau ‘seharusnya memang begitu’. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa hajatan atau merayakan sesuatu peristiwa bersejarah dalam hidup sudah menjadi budaya sosial tersendiri dalam masyarakat Indonesia, maka akan terasa kurang atau bahkan dianggap salah jika tidak dilakukan, sekalipun kegiatan tersebut dapat mengundang resiko.
Dengan kata lain, cultural mores pada kasus ini muncul dalam bentuk perasaan tidak enak, dikarenakan individu mempersepsi bahwa jika mereka tidak datang, orang yang mengundang akan berpikiran negatif dengan melabeli sombong, tidak menghargai orang yang mempunyai acara, dan berpikir bahwa mereka akan membalas tidak datang juga jika individu tersebut memiliki acara. Sehingga, meskipun dalam kondisipandemi seperti ini, mereka memutuskan tetap datang ke acara resepsi pernikahan yang sebenarnya tidak mereka setujui, dan mengesampingkan dampak dari COVID-19 yang sesungguhnya telah mereka ketahui bahayanya.
Mengacu kepada beberapa metode pengurangan disonansi atau pengubahan sikap (Walgito, 2011), penulis menyarankan agar masyarakat lebih mengedepankan kesehatan dirinya dibandingkan perasaan tidak enak mereka. Misalnya dengan metode pengubahan perilaku, yaitu secara tegas memilih tidak menghadiri hajatan di tengah pandemi ini. Mungkin juga metode pengubahan lingkungan, yang dalam hal ini lebih tepatditerapkan oleh pihak penyelenggara hajatan, seperti membagi waktu kedatangan tamu menjadi beberapa sesi agar tidak menimbulkan kerumunan.
Referensi:
Arif, S. (2018). Resepsi pernikahan dalam islam. Jurnal Aktualita, 9(1), 32–47.
Harmon-Jones, E. & Mills, J. (2019). An introduction to cognitive dissonance theory and an overview of current perspectives on the theory. In Harmon-Jones, E. (Ed.). Cognitive dissonance, 2nd edition: Reexamining a pivotal theory in psychology. APA.
Walgito, B. (2011). Teori-teori psikologi sosial. Yogyakarta: Andi press.