ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 4 Februari 2021
“Pacaran Usia Sekolah, Wajarkah?”
Oleh
Krishervina Rani Lidiawati & Giofanny Jessica
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Berdasarkan data Kementrian Kesehatan, remaja sudah memulai pacaran sejak usia 15 tahun dan cenderung melakukan perilaku beresiko seperti kehamilan diluar nikah dan perilaku aborsi (Kementrian Kesehatan, 2014). Selain itu, dalam relasi pacaran rentan terjadi kekerasan pada anak perempuan. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, jumlah kasus kekerasan pada anak perempuan meningkat dari tahun sebelumnya. Jumlah kekerasan seksual hubungan dalam ranah personal cenderung dilakukan oleh pacar, korban di usia 13 sampai 18 tahun mencapai 2.262 kasus, 653 kasus usia 6 sampai 12 tahun (CNN Indonesia, 2020).
Angka-angka tersebut sekaligus menunjukkan seberapa banyak remaja yang terancam penyakit menular seperti penyakit kelamin, HIV atau AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah tanggung jawab moral yang tidak hanya ditanggung oleh remaja itu sendiri tapi juga keluarga, pendidik, dan masyarakat. Hubungan seksual sebelum nikah ini kebanyakan dilakukan oleh remaja yang berpacaran, meskipun masih ada remaja berpacaran yang tidak melakukan seks di luar nikah. Gaya pacaran remaja SMA kerap kali megkhawatirkan dan cenderung mengarah pada perilaku seksual (Berliana, Sumarni & Swasti, 2017). Bujukan atau permintaan dari pacar merupakan alasan untuk melakukan hubungan seks di luar nikah dan menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu, kurangnya iman atau agama, serta terinspirasi dari film dan media massa (Mayasari, & Hadjam, 2000).
Masa remaja merupakan masa pencarian identitas, di mana remaja berusaha mencari jati dirinya. Papalia & Martorell (2015) menjelaskan bahwa remaja memiliki kisaran usia antara 10 sampai 20 tahun yang merupakan masa di mana seorang anak akan menemukan banyak kesempatan dan juga resiko tertentu. Hal ini mendukung teori perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson, yaitu masa remaja berada di tahapan identity versus role confusion, sehingga remaja akan berusaha mengeksplorasi dunia untuk mencari arti dan identitas dirinya. Remaja beresiko melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya dalam tahapan perkembangan ini dikarenakan ada bagian-bagian otak pada remaja yang belum dewasa atau matang sepenuhnya. Tentu saja hal ini memengaruhi cara seorang remaja mengambil keputusan, termasuk di dalamnya keputusan untuk berpacaran.
MenurutMarlynda (2017), Perilaku berpacaran memiliki dampak positif dan negatif, yaitu:
1. Prestasi sekolah
Umumnya prestasi akan meningkat dengan dukungan dan semangat dari pacar, namun prestasi akan menurun apabila terjadi permasalahan yang berat dan menganggu konsentrasi belajar.
2. Perasaan aman, tenang, dan nyaman
Hubungan emosional yang terbentuk dalam pacaran akan menimbulkan perasaan aman serta nyaman jika pacaran dilakukan dengan baik. Akan tetapi jika perasaan nyaman dan aman didapat karena keintiman fisik maka yang timbul bukanlah kasih sayang tetapi nafsu.
3. Stress
Perbedaan karakteristik akan menjadikan hubungan dengan pacar terkadang dihadapkan pada masalah-masalah yang dapat membuat seseorang stress karena pikiran yang terlalu berlebihan akan hubungan yang sedang dijalani.
Tentu banyak perdebatan, apakah orang tua memperbolehkan pacaran atau tidak. Jika memperbolehkan remaja berpacaran maka ada rasa khawatir dan takut terhadap perilaku beresiko atau diluar kendali, namun jika tidak di izinkan terkadang mereka melakukan pacaran secara diam-diam. Oleh karena itu, orang tua dan guru menjadi pihak yang perlu bertanggung jawab untuk memberikan pengertian terhadap remaja terkait dengan masa pubertas, pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, termasuk hal-hal yang perlu dijaga dan prinsip penting terkait dengan berpacaran yang sehat. Apabila tidak dibimbing dengan baik dan benar oleh orang tua maupun guru, maka anak berpotensi untuk melakukan perilaku menyimpang. Dalam masa pubertas, seorang remaja akan memiliki rasa keingintahuan yang melonjak tinggi, bahkan keingintahuan akan kebutuhan biologis karena perubahan fisik dan kematangan seksual yang dihadapinya. Untuk itu, sekolah sangat perlu untuk memberikan pelajaran tentang kesehatan reproduksi sehingga remaja akan lebih siap menghadapi masa pubernya (Marlynda, 2017).
Dalam keluarga, sebaiknya orang tua dapat memiliki cara berkomunikasi dua arah dan terbuka untuk membicarakan pacaran yang sehat. Orang tua juga dapat menciptakan kehidupan rumah tangga yang membagikan nilai-nilai moral, nilai-nilai berkaitan dengan religiusitas, menjaga relasi yang harmonis. Pentignya membangun relasi ini dapat dibangun dengan mengadakan waktu kebersamaan untuk berbincang, melakukan kegiatan bersama dengan remaja. Orang tua juga diharapkan dapat memberikan kasih sayang yang cukup dan wajar kepada anak, sehingga anak tidak mencari perhatian dari hal-hal lain di luar keluarga dengan cara yang tidak benar (Berliana, Sumarni, & Swasti, 2017)
Di sekolah, penting untuk memberikan pendidikan seksualitas dan menjadi bagian dari kurikulum resmi sehingga dapat menekan jumlah perilaku beresiko dikalangan remaja karena ketidaktauan mereka dan rasa ingin tau tanpa adanya arahan. Selain itu, dapat dilakukan program kesehatan reproduksi yang dilakukan untuk usia remaja secara berkala dan terprogram (Mevissen, et al., 2018). Hal lain yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan sarana dan prasarana seperti ruang konseling, jam bimbingan dan pentingnya sekolah memiliki tenaga ahli seperti konselor atau psikolog guna memahami aspek-aspek psikologis, tahap perkembangan dan memberikan waktu untuk melakukan bimbingan konseling secara pribadi.
Pada akhirnya, pihak orang tua, sekolah, komunitas keagamaan dapat bersinergi untuk dapat memiliki wawasan, pengetahuan tentang perkembangan remaja terkait kesehatan reproduksi sehingga dapat mencegah perilaku beresiko. Pada tahap remaja mereka sudah memiliki ketertarikan dengan lawan jenis dan itu wajar, lalu apakah harus berpacaran dan apakah jika berpacaran itu wajar? Terkadang yang mereka butuhkan bukan sekedar jawaban boleh atau tidak boleh berpacaran, dan bahkan terkadang cenderung tidak memerlukan jawaban tetapi membutuhkan waktu untuk didengar. Penting untuk mengajar remaja berdiskusi, memberikan pertanyaan dan arahan, terkait mengapa, apa tujuan mereka berpacaran. Batasan dan pacaran yang sehat perlu diberikan sehingga bukan hanya perdebatan tetapi diskusi sehat, komunikasi dua arah antara remaja dengan orang dewasa dapat terjadi dan relasi tetap terjaga. Akhir kata, melalui artikel ini diharapkan para orang tua, pendidik, aktivis remaja dan para rohaniawan pun perlu untuk membekali diri tentang perkembangan remaja serta memiliki keterbukaan untuk berdiskusi terkait pendidikan seksualitas.
Referensi:
Berliana, N., Sumarni, S., & Swasti, I. K. (2017). Pola asuh ibu dan peran teman sebaya pada perilaku pacaran remaja. BKM Journal of Community Medicine and Public Health, 33(4), 161–166. doi: 10.22146/bkm.11627
CNN Indonesia. (2020, 7 Maret). Inses Kasus Kekerasan Seksual Terbanyak Pada Anak Perempuan. Diakses pada18 April 2020, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200224173721-12-477607/inses-kasus-kekerasan-seksual-terbanyak-pada-anak-perempuan.
Kementrian Kesehatan. (2014). Pedoman standar Nasional PKPR. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Mevissen, F. E. F., van Empelen, P., Watzeels, A., van Duin, G., Meijer, S., van Lieshout, S., & Kok, G. (2018). Development of Long Live Love+, a school-based online sexual health programme for young adults. An intervention mapping approach. Sex Education, 18(1), 47–73. https://doi.org/10.1080/14681811.2017.1389717
Marlynda, L. (2017). Upaya Guru Bimbingan Konseling Dalam Mengatasi Perilaku Menyimpang Berpacaran Siswa. JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 3(1), 40–57. doi: 10.22373/je.v3i1.1413
Mayasari, F. N. R., & Hadjam, M. N. R. (2000). Perilaku Seksual Remaja Dalam Berpacaran Ditinjau Dari Harga Diri Berdasarkan Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi, 2, 120–127.
Papalia, D. E., & Martorell, G. (2015). Experience Human Development. New York: McGraw-Hill.