ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 24 Desember 2020
Nilai Akademis Rendah, Ciri Orang Bodoh?
Oleh
Maryam Sholihah dan Ilham Mundzir
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Hari pembagian rapor seringkali menjadi hari yang menegangkan bagi sejumlah besar pelajar di Indonesia. Bukan hanya karena pada hari tersebut mereka cemas akan nilai yang mereka hasilkan dan tercetak dalam rapor, tetapi juga karena mereka cemas akan penilaian orang lain terhadap hasil yang telah mereka usahakan itu. Bagi mereka yang mendapatkan nilai rendah acapkali akan berakhir dengan pelabelan yang bernada merendahkan seperti kata-kata bodoh, malas dan sebagainya. Sebaliknya, yang nilai rapornya tinggi dianggap sebagai anak yang cerdas dan pandai. Penilaian buruk itu sayangnya kadang dilontarkan gurunya, orang lain, teman, bahkan tapi juga tak jarang dari orang tuanya sendiri yang kadang disertai dengan kemarahan dari orang tuanya, tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah kepintaran seseorang hanya diukur sebatas nilai akademis? Apakah seseorang yang memiliki nilai rendah maka orang itu adalah orang yang bodoh? Jawabannya adalah tidak.
Kepintaran seseorang tidak dapat diukur hanya sebatas nilai akademisnya. Ada banyak faktor lain yang menjadi tolak ukur kepintaran seorang individu. Seorang siswa dengan nilai buruk di sekolah, bisa saja mempunyai kemampuan luar biasa dalam bidang lain. Misalnya, ia memiliki keistimewaan dalam bidang seni lukis, yang tidak dimiliki orang lain. Dengan demikian, meski minim prestasi akdemik, siswa tersebut tidak boleh dikatakan bodoh. Akan tetapi, ia memiliki ketertarikan, minat, dan kemampuan yang berbeda. Setiap orang memiliki kepintarannya masing-masing yang ditunjukkan dalam kemampuan yang dikuasainya. Dalam dunia psikologis, kemampuan ini disebut dengan intelegensi.
Intelegensi dapat dikatakan sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan menyelesaikan masalah yang kompleks (Sarwono, 2019). Intelegensi seringkali dikaitkan dengan tingkat ukur kepintaran seseorang . Menurut Gardner, ada delapan jenis intelegensi yang dapat dijabarkan sebagai berikut (Sunartini, 2013). Pertama, kecerdasan linguistik atau kecerdasan berbahasa. Kecerdasan ini berupa kemampuan mempergunakan, mengolah bahasa, baik secara lisan maupun tulisan, termasuk kemampun berpikir menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kompleksitas makna. Kedua, kecerdasan logis-matematis yakni keahlian menggunakan angka dan membangun penalaran, kemampuan menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi matematika.
Ketiga, kecerdasan (ber)musik. Kecerdasan jenis ini berhubungan dengan sensivitas pada pola titik nada, melodi, ritme, dan nada. Keempat, kecerdasan kinestik-jasmani, yang berupa kemampuan untuk menggunakan tubuh untuk menyampaikan pikiran, ide maupun perasaan. Kelima, kecerdasan visual-spasial. Yakni, kemampuan yang memungkinan seorang individu menyajikan informasi, data-data, dan konsep dalam bentuk visual. Keenam, kecerdasan interpersonal, yakni berupa keahlian untuk berkomunikasi dan membangun hubungan sosial yang efektif, mampu menyampaikan pendapat dan memahami pendapat dari orang lain, serta memahami orang lain secara lebih utuh dalam berkomunikasi antara lain dengan melihat faktor-faktor karakteristik tiap-tiap individu maupun lingkungannya.
Ketujuh, kecerdasan intrapersonal. Yakni kecerdasan untuk memahami diri sendiri, kekurangan dan kekuatan yang dimilikinya, memahami keinginan, tujuan dan sistem emosional pada dirinya. Dengan kecerdasan ini, seseorang dapat memotivasi diri agar menjadi lebih baik, serta mampu menghargai diri untuk tumbuh kembang dan kebagagiaannya secara lebih optimal. Terakhir, kedelapan, kecerdasan naturalis. Kecerdasan ini berupa kemampuan untuk mengenal flora dan fauna melakukan pemilahan-pemilahan utuh dalam dunia kealaman dan menggunakan kemampuan ini secara produktif.
Nah, kecerdasan yang mendukung prestasi akademik di sekolah pada umumnya diukur dengan kecerdasan linguistik dan kecerdasan logis-matematis semata. Seseorang yang memiliki kecerdasan yang berbeda bisa saja dapat menghasilkan nilai yang buruk untuk dua kecerdasan tersebut. Oleh karena itu, daripada mengukur kepintaran seseorang dari nilai akademisnya, perlu diadakan evaluasi lebih luas lagi karena adanya kemungkinan individu tersebut memiliki tingkat dan jenis kecerdasan yang berbeda. Selain itu, nilai buruk tidak selamanya disebabkan oleh kepintaran seseorang, ada faktor lain yang bisa menjadi penyebab seseorang mendapatkan nilai rendah di bidang akademis (Purwanto, 2010; Putra & Sucitra, 2017). Salah satunya, sistem pendidikan kita sering kali menggunakan pendeketan tradisional yang menempatkan guru sebagai pusatnya; dimana guru terus bicara satu arah, sehingga lupa untuk mendorong siswanya berinteraksi dengan temannya, tidak sempat mengecek pemahaman anak didiknya, dan tidak membuat pertanyaan-pertanyaan yang mampu merangsang tumbuhnya kreativitas anak didik.
Referensi:
Purwanto. (2010). Intelegensi: Konsep dan Pengukurannya. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 16(4), 477. https://doi.org/10.24832/jpnk.v16i4.479.
Putra, Z. H., & Sucitra, W. (2017). Hubungan intelegensi dengan hasil belajar Matematika siswa Kelas V SD Negeri 68 Pekanbaru. Jurnal Pendidikan Matematika, 2(2), 1. https://doi.org/10.18592/jpm.v2i2.1171
Sarwono, S. W. (2019). Pengantar psikologi umum. Jakarta: Rajawali Pers.
Sunartini, F. V. (2013). Menggali kemampuan akademik peserta didik melalui aplikasi multiple intelegensi dalam proses pembelajaran. Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, 13(1), 50–64.