ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 24 Desember 2020
Individual and Cultural Relations (Socio-Cultural Psychology)
oleh
Dominica Juanita Caroline
Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI
Psikologi sosial berangkat dari gagasan bahwa pengenalan tingkah laku dan proses tersebut berlangsung pada lingkup sosial (yang dapat mempengaruhi individu) dan kemudian melahirkan studi tentang proses intrapsikis di dalam diri seseorang dalam kaitan interaksinya secara interpsikis antar sesama. Dalam ranah psikologi sosiokultural, dikenal juga sebuah cabang lain, yaitu indigenous psychology. Menurut Kim & Berry (1993), indigenous psychology adalah bidang baru dalam psikologi terapan, sosial, kultural, dan lintas-budaya. Di mana, indigenous psychology merupakan studi ilmiah mengenai perilaku atau pikiran manusia yang asli, yang tidak diadopsi dari daerah lain, dan itu dirancang untuk masyarakatnya sendiri. Indigenous psychology merupakan pendekatan mengenai makna, nilai-nilai, dan kepercayaan (keluarga, sosial, budaya, dan ekologi). Artinya, indigenous psychology memeriksa pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan orang tentang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka berfungsi dalam diri mereka di dalam konteks keluarga, sosial, budaya, dan ekologi. Hal ini menekankan pemahaman deskriptif tentang fungsi manusia dalam konteks budaya.
Manusia dalam konteks budaya, sebagaimana yang dipelajari di dalam indigenous psychology, bersinggungan dengan banyak aspek kehidupan. Dengan kata lain, indigenous psychology memiliki cakupan yang luas dan dengan beragam tema, serta fenomena yang terkait dengan perilaku manusia. Definisi dan cakupan "budaya" telah lama menjadi perdebatan, terutama dalam antropologi (Baldwin et al., 2006).
Sulasman dan Gumilar (2013) menjelaskan lebih rinci dimensi kebudayaan sebagimana rumusan Malinowski. Pertama, ideologi. Istilah ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, kepercayaan, sentimen, dan kaidah etis. Pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya. Kedua, aktivitas (tindakan). Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai tindakan berpola dari manusia, dari masyarakat itu. Sebagai perwujudan gagasan dalam kebudayaan, aktivitas atau perilaku dibagi menjadi dua, yaitu perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal (artefak dan alam). Wujud perilaku sering berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat atau tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan didokumentasikan. Ketiga, artefak. Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Selanjutnya definisi Richerson dan Boyd (2005) juga perlu mendapat perhatian. Mereka mendefinisikan budaya sebagai informasi yang mampu mempengaruhi perilaku individu yang mereka peroleh dari anggota lain melalui pengajaran, peniruan, dan bentuk lain dari transmisi sosial.
Singkatnya, sebagian besar definisi di atas mencirikan budaya sebagai sesuatu yang dimiliki secara luas oleh anggota kelompok sosial dan dibagikan karena menjadi bagian dari kelompok itu. Kontinuitas atau benang merah dalam definisi yang baru saja disurvei adalah bahwa budaya ditularkan secara sosial baik melalui pengajaran, peniruan, dan bentuk lain dari transmisi sosial.
Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari definisi-definisi di atas adalah perubahan kebudayaan tidak terpisahkan dengan perubahan sosial. Gazalba (1993) menganalogikan kebudayaan sebagai otak dan sosial sebagai tangan. Otak berpikir dan tangan membuat apa yang dipikirkan. Kalau pikiran itu berbeda daripada yang terbiasa maka tindakan akan berbeda pula daripada perbuatan terbiasa. Jadi kalau pikiran berubah perbuatan pun akan berubah pula. Pendapat ini didukung oleh Davis (dalam Seokanto, 1999) yang berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yaitu kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat, dan lain-lain, bahkan perubahan-perubahan bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Akan tetapi, perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakat. Karena perubahan organisasi sosial tersebut merupakan perubahan sosial ketimbang perubahan kebudayaan, karena ruang lingkup kebudayaan lebih luas ketimbang perubahan sosial. Tentu saja unsur-unsur kebudayaan yang dapat dipisahkan dari masyarakat merupakan perubahan-perubahan dalam kebudayaan yang tidak perlu mempengaruhi sistem sosial.
Kebudayaan adalah dinamis dan tidak bersifat statis. Oleh karenanya, seiring waktu, budaya dapat berubah dan perubahan kebudayaaan adalah keniscayaan. Beberapa penelitian mempelajari sifat dari perubahan ini. Perubahan semacam itu sering digambarkan di bawah rubrik evolusi budaya. Seperti istilahnya, perubahan budaya dapat menyerupai perubahan biologis dalam pengertian tertentu. Seperti ciri-ciri biologis, dapat dianggap bahwa budaya memiliki unit-unit serupa sifat yang muncul dan kemudian menyebar ke berbagai tingkatan. Studi tentang evolusi budaya mengeksplorasi faktor-faktor yang dapat menentukan ciri-ciri budaya mana yang diturunkan (Prinz, 2020).
Setiadi (1998) memberikan lima faktor utama yang menjadi pendorong perubahan sebuah kebudayaan, yaitu: Pertama, perubahan lingkungan alam. Kedua, perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan suatu kelompok lain. Ketiga, perubahan karena adanya penemuan atau discovery. Keempat, perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain di tempat lain. Kelima, perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidup dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan baru atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas. Menurut Soekanto (1999) perubahan-perubahan kebudayaan tidaklah semata-mata berarti suatu kemajuan, namun dapat pula berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu. Namun demikian, Setiadi (1998) berpendapat seharusnya perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan rasa manusia adalah tentu saja perubahan yang memberi nilai manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan sebaliknya, yaitu akan memusnahkan manusia sebagai pencipta kebudayaan tersebut. Dalam semangat ini, adalah bijaksana untuk memperhatikan pendapat Matsumoto (2002). Ketika berbicara kontribusi seseorang dalam mempelajari perilaku manusia dan proses mental, Matsumoto berpendapat bahwa studi budaya yang utama adalah berpikir kritis di lapangan. Penelitian lintas budaya harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah gagasan kita benar atau prinsip-prinsip psikologi dapat diaplikasikan dalam masyarakat. Oleh karenanya, perubahan kebudayaan seharusnyalah mendatangkan kebaikan bagi sebuah masyarakat.
Salah satu contoh kongkret adalah usaha merubah budaya pernikahan dini yang terjadi di dalam masyarakat selama ini. Menurut UNICEF (2015), sebuah pernikahan dikategorikan sebagai pernikahan usia dini (early marriage) atau juga disebut sebagai pernikahan anak-anak (child marriage) apabila ada salah satu pihak yang masih berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun atau masih remaja.
Pernikahan usia dini adalah salah satu persoalan yang terus dilakukan upaya untuk mengatasinya karena menimbulkan banyak dampak negatif. Selain terenggutnya hak-hak anak seperti hak atas pendidikan dan hak untuk dilindungi dari eksploitasi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2015, anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan. Secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun. Dampak lainnya, yaitu pernikahan usia dini memiliki kaitan yang erat dengan adanya tindak kekerasan oleh pasangan intim (intimate partner violence) di beberapa negara, seperti di India dan Vietnam (Fisher dkk, 2014). Pernikahan usia dini berisiko tertular infeksi, kanker serviks, kehamilan yang tidak diinginkan, keguguran, kematian ketika melahirkan, dan malnutrisi pada anak (Strat, Dubertret, & Foll, 2017). Pernikahan usia dini bukan saja menghasilkan dampak buruk bagi individu, melainkan juga bagi sebuah negara, karena dengan menikah dini banyak anak-anak menjadi putus sekolah, akibatnya angka pengangguran meningkat dan kualitas sumber daya manusia rendah.
Menurut para ahli ada beberapa faktor utama penyebab terjadinya pernikahan usia dini, antara lain: kemiskinan atau faktor ekonomi yang rendah (Schlect dkk, 2013), dan tingkat pendidikan yang rendah (Alfiyah dalam Desiyanti, 2015). Namun demikian selain alasan-alasan tersebut, alasan budaya yang mengikat dan kuatnya norma tradisional di dalam sebuah masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya pernikahan usia dini.
Di Indonesia sendiri persentase angka pernikahan usia dini masih tergolong tinggi. Badan Pusat Statistik merilis angka 15,66% untuk persentase pernikahan dini di Indonesia pada 2018. Angka tersebut meningkat dari 14,18% pada tahun 2017. Persebaran jumlah persentase pernikahan usia dini tertinggi adalah Kalimantan Selatan (22,77%), Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%). Adapun jumlah kasus pernikahan usia dini di Indonesia menempati urutan ketujuh dunia, sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia menduduki urutan kedua.
Melihat tingginya persentase pernikahan usia dini di Indonesia, serta mempertimbangkan dampak negatif dan risiko yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini baik bagi individu maupun negara, menurut Maholtra, dkk (2011), beberapa hal dapat dilakukan untuk menyadarkan masyarakat, sehingga praktik ini bisa diminimalisasi, bahkan dihentikan: Pertama, memberdayakan anak dengan informasi, keterampilan, dan jaringan pendukung lainnya. Program ini berfokus pada diri anak dengan cara pelatihan, membangun keterampilan, berbagi informasi, menciptakan lingkungan yang aman, dan mengembangkan jejaring dukungan yang baik. Program ini bertujuan agar anak memiliki pengetahuan yang baik mengenai diri mereka dan agar mereka mampu mengatasi kesulitan sosial dan ekonomi baik secara jangka panjang maupun jangka pendek. Kedua, mendidik dan menggerakkan orang tua dan anggota komunitas.
Keterlibatan orang tua dan komunitas adalah strategi kedua yang paling banyak digunakan dalam penelitian. Tujuan utama dari strategi ini ialah untuk menciptakan suatu lingkungan yang baik, disebabkan karena di tangan keluarga dan anggota masyarakat yang lebih tua keputusan pernikahan anak dilakukan atau tidak. Ketiga, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak. Melalui penelitian banyak ditemukan bahwa pendidikan bagi anak perempuan sangat berkorelasi dengan penundaan usia menikah. Keempat, memberikan dukungan ekonomi dan pemberian insentif pada anak dan keluarganya. Kelima, membuat dan mendukung kebijakan terhadap pernikahan dini.
Dari lima solusi yang ditawarkan di atas, jelas terlihat bagaimana pentingnya informasi dan edukasi untuk mengubah sebuah budaya sebagaimana yang telah disampaikan dalam teori Richerson dan Boyd (2015), serta juga pentingnya aturan atau regulasi yang dapat mendorong terjadinya perubahan itu. Selain “budaya” pernikahan usia dini, di Indonesia juga terdapat banyak tradisi yang masih dijalankan secara turun-temurun oleh masyarakat dalam komunitas kesukuan tertentu. Mulai dari tradisi yang baik hingga tradisi yang dinilai kurang baik atau negatif. Dikatakan negatif karena memiliki efek membahayakan atau tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam kehidupan di era modern seperti sekarang ini. Sebagai contoh, tradisi ngayau atau kayau yang dilakukan oleh Suku Dayak di Kalimantan. Ngayau berasal dari kata “kayau” yang berarti musuh. Jadi ngayau dapat diartikan berburu kepala musuh.
Tradisi ngayau ini dilakukan ketika merasa terancam atau saat musuh mengganggu mereka. Bahkan, jika ada orang asing yang memasuki hutan kekuasaan Suku Dayak tanpa izin, maka akan menjadi sasaran untuk diburu kepalanya. Pemenggalan kepala musuh dilakukan karena suku ini percaya bahwa cara ini akan menghindarkan mereka dari gangguan roh musuh. Contoh konkret dari tradisi ngayau ini adalah peristiwa Sampit (Kalimantan Tengah) pada Februari 2001. Di mana, pada saat itu, Suku Dayak bentrok dengan suku pendatang Madura di Sampit. Suku Madura dinilai sebagai musuh karena mereka menguasai sumber daya ekonomi dan bisa memiliki kehidupan yang lebih baik daripada Suku Dayak itu sendiri, yang merupakan suku lokal. Kondisi ini mendorong munculnya tradisi ngayau yang sempat menggemparkan Indonesia. Akibat kejadian itu, ratusan orang dari Suku Madura yang menjadi korban. Bahkan usai tragedi itu, ribuan suku pendatang Madura di Kalimantan Tengah masih terus diburu hingga Suku Madura keluar dari Sampit.
Merujuk pada teori yang disampaikan oleh Richerson dan Boyd (2015), budaya dapat berubah, hal ini pun berlaku untuk tradisi ngayau. Perubahan itu dapat terjadi apabila masyarakat dari suku-suku tersebut diberikan edukasi melalui digalakkannya pendidikan moral dan nilai-nilai bagi suku-suku tersebut dan juga dibukanya pintu informasi yang lebih luas agar dapat mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat yang dimulai dari individu-individunya. Selain itu, dapat juga diberlakukan aturan atau regulasi yang tegas, seperti hukum yang mengatur dan memberi sanksi pidana atas perbuatan penghilangan nyawa (ngayau), walaupun mengubah sebuah tradisi bukanlah hal mudah, namun tidak menutup kemungkinan jika dilakukan secara bersama-sama dan konsisten, maka lambat laun akan mengubah bahkan menghilangkan tradisi negatif tersebut. Diharapkan, suatu hari nanti, akan terjadi perubahan secara permanen dan menghasilkan tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan sarat dengan nilai-nilai, tradisi, dan budaya yang positif, yang nantinya juga akan memberikan dampak positif bagi kebaikan kehidupan sebuah bangsa, dalam konteks ini adalah Indonesia.
Referensi:
Baldwin, J. R., Faulkner, S. L., Hecht, M. L., and Lindsey, S. L. (eds.). (2006). Redefining Culture. Mahwah, NJ: Laurence Erlbaum Associates.
Desiyanti, I. W. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan terhadap pernikahan dini pada pasangan usia subur di kecamatan Mapanget Kota Manado. JIKMU. dalam https://duniapsikologi.weebly.com/mencegah-pernikahan-dini.html
Fisher, K. J., Li, F., Michael, Y., & Cleveland, M. (2004). Neighborhood-Level Influences on Physical Activity Among Older Adults: A Multilevel Analysis. J Aging Phys Act. dalam https://duniapsikologi.weebly.com/mencegah-pernikahan-dini.html
Gazalba, S. (1993). Islam dan perubahan sosia budaya: Kajian islam tentang perubahan masyarakat. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Kroeber, A. L. and C. Kluckhohn. (1952). Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Peabody Museum, Cambridge, MA.
Malhotra, A., Warner, A., & McGonagle, A., (2011). Solutions to end child marriage: what the evidence shows. Washington DC: ICRW.
Matsumoto, D. (2002). Culture, psychology, and education. In W. J. Lonner,D. L. Dinnel, S. A. Hayes, & D. N. Sattler (Eds), Online Reading in Psychology and Culture (Unit 2, Chapter 5), Diunduh dari:http://www.ac.wwu.edu/culture/index-cc.htm),Center for Cross-Cultural Research, Western Washington University, Bellingham, Washington USA.
Prinz, J. (2020). "Culture and Cognitive Science", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2020 Edition), Edward N. Zalta (ed.),dalam https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/culture-cogsci/
Richerson, P. J., & R. Boyd (2005). Not by genes alone: how culture transformed human evolution. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Schlecht, B. J., dkk., (2013). Early Relationships and Marriage in Conflict and Post-conflict Settings : Vulnerability of Youth in Uganda Early relationships and marriage in conflict and post-conflict settings : vulnerability of youth in Uganda, (June) dalam https://duniapsikologi.weebly.com/mencegah-pernikahan-dini.html
Saliyo. (2012). Konsep diri dalam budaya Jawa. Buletin Psikologi, 20(1-2),26-35.
Setiadi, E. M. (2008). Ilmu sosial dan budaya dasar. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
Soekanto, S. (1999). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sulasman., & Setia, G. (2013). Teori-teori kebudayaan: Teori dan aplikasi. Bandung: Pustaka Setia.
Strat, Y. Le, Dubertret, C., & Foll, B. Le. (2017). Child Marriage in the United States and Its Association With Mental Health in Women dalam Pearson, E., Speizer, I.S. 2011. Associaton between early marriage and intimate partner vilolence in India: a focus on youth from Bihar and Rajasthan. Journal Interpers Violence. dalam https://duniapsikologi.weebly.com/mencegah-pernikahan-dini.html