ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 14 Juli 2020

Geng Klitih dan Motivasi Sosial Remaja

 

Oleh

Fitri Shofi Nuraini Dwiputri dan Mochammad Sa’id

Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang

 

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa pendidikan nasional merupakan salah satu upaya pemerintah untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak bangsa yang beradab dalam rangka mencerdaskan masyarakat bangsa. Tujuan tersebut dicapai guna mengembangkan perseta didik untuk menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berilmu, kreatif, cakap, mandiri, berakhlak mulia bertanggung jawab serta dapat menjadi masyarakat yang demokratis. Upaya pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan mulus, perkembangan dunia pendidikan juga menyumbang kasus kekerasan seperti bullying, gangster dan bentuk kenakalan remaja lainnya. Salah satunya terjadi di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang seharusnya mengimplementasikan fungsi dari pendidikan nasional itu sendiri.

 

Data yang dipublikasikan oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menurut survei International Center For Research On Woman (ICRW) menunjukkan bahwa 84% anak Indonesia mengalami kekerasan di sekolah (Setyawan, 2017). Sehingga tak jarang sekolah kini menjadi sarana sebagai pembentuk aktor kekerasan. Terlebih lagi ketika sudah memasuki masa remaja dimana mereka sedang mencari pola hidup yang sesuai bagi mereka. Masa remaja sering diistilahkan sebagai masa pemberontakan (Unayah & Sabarisman, 2015). Ketika memasuki masa remaja, anak yang mengalami pubertas akan cenderung lebih sering menampilkan gejolak emosi seperti menarik diri dari keluarga, mengalami banyak masalah di lingkungan rumah, sekolah, maupun di lingkup pertemanannya. Perubahan yang terjadi pada remaja juga meliputi perubahan fisik dan psikologis (Unayah & Sabarisman, 2015). Perubahan psikologis inilah yang membuat anak cenderung resisten terhadap apapun yang menghalangi kebebasannya, sehingga banyak remaja melakukan hal-hal yang dianggap sebagai bentuk ‘kenakalan’.

 

Bertambahnya kasus kenakalan remaja akan membuat banyak pihak dirugikan. Pihak yang akan merasakan dampak langsung ialah diri remaja sendiri sebagai pelaku kenakalan remaja. Pelaku kenakalan remaja akan bertambah dewasa menjadi seseorang dengan pribadi yang buruk dan lebih jauh lagi ia dapat dikucilkan di masyarakat akibat perbuatannya. Tindakan kenakalan remaja yang tidak terkontrol dapat menjerumuskan seorang remaja pada perilaku kejahatan remaja (juvenile deliquency) yang merupakan salah satu penyakit sosial (Irmayani, 2018). Salah satu bentuk kenakalan remaja ialah munculnya geng atau gengster. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gengster diartikan sebagai sebuah kelompok atau gerombolan remaja yang dilatarbelakangi oleh persamaan latar sosial, sekolah, daerah, dan sebagainya. Dalam beberapa pemberitaan di media, geng motor selalu dibenturkan dengan citra negatif (Irmayani, 2018). Anggota geng mengalami penyimpangan secara kolektif dimana perampokan hingga pembunuhan menjadi masalah utama yang mereka lakukan.

 

Forsyth (2010) menjelaskan ada 5 faktor yang mempengaruhi mengapa seseorang bergabung dalam sebuah kelompok, yakni kepribadian individu, jenis kelamin, motivasi sosial, kecemasan, kelekatan dan pengalaman. Tulisan ini akan membahas salah satu faktor seseorang bergabung dalam kelompok yaitu motivasi sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi sosial diartikan sebagai dorongan untuk melakukan kegiatan sosial atau berinteraksi dengan orang lain. Motivasi sosial memprediksi kecenderungan seseorang bergabung dalam kelompok, yang terdiri dari kebutuhan akan afiliasi, kebutuhan akan keintiman, dan kebutuhan akan kekuasaan (Forsyth,2010).

 

Murray (Hall & Lindzey, 2004) mendefinisikan kebutuhan afiliasi sebagai kebutuhan untuk mendekatkan diri, bekerjasama, atau membalas ajakan orang lain yang bersekutu (orang lain yang menyerupai atau menyukai dirinya), membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan tetap setia kepada seorang kawan. Orang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi akan cenderung bergabung dengan kelompok dan lebih sering menghabiskan waktu mereka dengan kelompok tersebut, berkomunikasi lebih banyak dengan anggota kelompok yang lain dan menerima anggota kelompok dengan lebih mudah (Forsyth, 2010). Kebutuhan akan keintiman adalah kecenderungan orang untuk mencari hubungan yang hangat dan positif dengan orang lain (Forsyth, 2010). Orang dengan kebutuhan akan keintiman yang tinggi akan mencari hubungan yang akrab dan hangat dengan orang lain. Mereka lebih cenderung mengekspresikan kepedulian yang mereka punya terhadap orang lain, sedangkan kebutuhan akan kekuasaan adalah kecenderungan orang untuk mencari kendali atas orang lain (Forsyth, 2010). Kebutuhan akan kekuasaan terjadi karena sebuah kelompok mempunyai kemungkinan besar untuk saling mempengaruhi antar anggotanya. McAdams, Healy, & Krause (Forsyth, 2010) menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan dan partisipasi dalam kelompok lebih didominasi oleh pria.

 

Geng Klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta

Kapolda DIY menyatakan bahwa kasus yang dimasukkan sebagai kategori klitih di DIY mencapai 40 kasus sejak Januari 2019 hingga 2020 (Syambudi, 2020). Dari kasus-kasus tersebut, ada 81 pelaku yang tertangkap dan 57 di antaranya berstatus sebagai pelajar. Hasil penelitian Yudha (2017)  terhadap remaja anggota geng klitih menunjukkan bahwa aktivitas klitih diorganisir oleh seorang pemimpin. Pemimpin inilah yang mengambil banyak peran dalam menghidupkan roda aksi kriminalitas jalanan ini. Untuk melancarkan aksinya, anggota geng klitih akan sangat patuh menjalankan perintah dari pemimpin mereka. Dari perspektif motivasi sosial, kepatuhan anggota geng klitih ini sangat mungkin dikarenakan adanya motivasi untuk memenuhi kebutuhan afiliasi mereka. Anggota yang bergabung dalam geng klitih ini rela dirinya mengikuti serangkaian proses seleksi seperti memalak untuk membeli minuman beralkohol dan berkelahi dengan senior ataupun dengan sesama anggota kelompok. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Mc Clelland (Menarus, 1987) bahwa mereka yang memiliki kebutuhan afiliasi tinggi akan berusaha untuk menghindari konflik.

 

Anggota geng klitih merasa senang apabila telah berhasil melaksanakan aksi yang diperintahkan oleh pemimpin mereka (Yudha, 2017). Hadiah berupa pujian dari pemimpin kelompok dan teman-temannya membuat mereka merasa nyaman berada dalam kelompok tersebut. Penjelasan tersebut sejalan dengan kebutuhan akan keintiman. Anggota geng klitih mencari hubungan yang hangat dan intim dengan sesama anggota geng dengan cara melakukan aksi kriminalitas jalanan. McClelland (Siagian, 2010) mengemukakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan mempunyai dua indikator penting, yaitu aktualisasi diri dan kekuasaan. Aktualisasi diri adalah tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan kemampuannya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata dalam rangka untuk mendapatkan kekuasaan. Kedua adalah kekuasaan merupakan kemampuan seseorang dalam memperoleh sesuatu dengan cara yang dikehendakinya. Kebutuhan akan kekuasaan dapat dilihat ketika pemimpin memperdaya anggota geng tersebut. Dari sisi anggota geng, mereka memenuhi kebutuhan akan kekuasaan dengan cara mencari musuh untuk dipukuli ataupun dibacok.

 

Menakar Solusi

Tingginya motivasi sosial pada remaja memungkinkan mereka untuk mencari kelompok dimana mereka bisa menunjukkan dirinya di depan orang lain. Akan tetapi bila mereka bergabung dengan kelompok yang banyak memberi dampak negatif, alih-alih mendapatkan rasa bangga, justru mereka akan terjerumus dalam perilaku-perilaku negatif yang dilakukan kelompok tersebut. Salah satu cara untuk mencegah kenakalan remaja agar tidak sampai terjerumus ke dalam kelompok yang justru memberikan dampak negatif bagi remaja ialah dengan memberikan metode kemampuan sosial sebagai bagian dari program pendidikan di sekolah maupun di keluarga (Ekowarni, 1993). Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk pelatihan seperti teknik sosiodrama, yaitu upaya membimbing individu dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Dengan teknik ini, para peserta akan saling berinteraksi dengan berbagai pengalaman, pengetahuan, dan ide-ide, sehingga dapat meningkatkan kemampuan interpersonal mereka (Mukafih,2014).

 

Referensi:

 

_____. (2003). Undang-undang nomor 20 tahun 2003 yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta: Sekretariat Negara.

_____. (2020, April 30).  Kamus Besar Bahasa Indonesia. KBBI. Diakses dari https://kbbi.web.id/geng .

_____. ( 2020, Mei 28) Kamus Besar Bahasa Indonesia. KBBI. Diakses dari https://www.kamusbesar.com/motivasi-sosial.

Ekowarni, E. (1993). Kenakalan remaja: Suatu tinjauan psikologi perkembangan. Buletin Psikologi, 1(2), 24-27. DOI: 10.22146/bpsi.13162

Forsyth, D. R. (2010). Group dynamics (5th Ed.). Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning.

Hall, C. S., & Lindzey, G. (2004). Teori-teori holistik (organismik-fenomenologis). (Terjemahan dari theories of personality oleh Yustinus). Yogyakarta: Kanisius.

Irmayani, N. R. (2018). Fenomena kriminalitas remaja pada aktivitas geng motor. sosio informa: Kajian permasalahan sosial dan usaha kesejahteraan sosial, 4(2), 401-417. DOI: https://doi.org/10.33007/inf.v4i2.1220

Menarus, R. (1987). Hubungan motif berafiliasi dengan prestasi belajar siswa di beberapa SMA Negeri Kotamadya Palembang (Tesis dipublikasikan). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mukafih, M. S. (2014). Penerapan metode sosiodrama untuk meningkatkan kemampuan interpersonal siswa kelas VII SMP Negeri 5 Depok Sleman Yogyakarta. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan dan Konseling, 4(3), 1-13.

Setyawan, D. (2020, April 21). Indonesia peringkat tertinggi kasus kekerasan di sekolah. KPAI. Diakses dari https://www.kpai.go.id/berita/indonesia-peringkat-tertinggi-kasus-kekerasan-di-sekolah.

Siagian, S. (2004). Teori motivasi dan aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Syambudi, I. (2020, April 21). Darurat klitih jogja dan gagalnya polisi melindungi warga. Tirto. Diakses dari https://tirto.id/darurat-klitih-jogja-gagalnya-polisi-melindungi-warga-ewTh.

Unayah, N., & Sabarisman, M. (2015). Fenomena kenakalan remaja dan kriminalitas. Sosio Informa, 1(2), 121-140. DOI: https://doi.org/10.33007/inf.v1i2.142

Yudha, N. C. (2017). Pengorganisiran ketakutan dalam identitas sosial: Studi kasus gengster klitih kursi putih di Yogyakarta (Skripsi dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.