ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 14 Juli 2020

Revenge Porn

 

Oleh

Sri Juwita Kusumawardhani

Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila

 

“Mbak, mantan pacarku mengancam akan menyebarkan foto dan video kami saat berhubungan seksual. Aku takut jika itu tersebar, namun aku tidak mau lagi berpacaran dengannya. Aku harus bagaimana?”

-C, 26 Tahun-

 

Cuplikan kasus di atas merupakan fenomena yang muncul di era digital, dimana proses produksi foto/video serta akses dan penyebaran konten tersebut menjadi lebih mudah. Sebelumnya, mantan pasangan (kebanyakan laki-laki) yang berniat jahat pasca putusnya hubungan pacaran akan menghadapi banyak keterbatasan dan pihak perempuan menjadi lebih terlindungi, sedangkan saat ini kerugian yang ditimbulkan menjadi lebih besar karena jejak digital yang sulit dihapus dan disebarluaskan tanpa henti (Guggisberg, 2017).

 

Revenge porn’ tergolong bentuk dari kekerasan seksual secara online atau cyberharassment yang kemunculannya semakin meningkat akhir-akhir ini (Kamal & Newman, 2016). Di Inggris tahun 2015, terdapat 139 kasus yang dilaporkan (Reynolds, 2017), sedangkan di Indonesia terdapat 19 kasus tercatat pada tahun 2017 (Komnas Perempuan, 2018).

 

Menurut Mcglynn & Rackley (2017), ‘revenge porn’ adalah materi berupa foto atau video seksual yang diunggah oleh mantan pasangan secara online tanpa izin dari yang bersangkutan atas dasar tujuan untuk mempermalukan atau balas dendam setelah hubungan romantis berakhir. Di sisi lain, Kamal & Newman (2016) menganggap penggunaan kata ‘revenge’ tampaknya kurang tepat, karena tidak semua pelaku termotivasi oleh keinginan untuk membalas dendam. Sebagian dari mereka melakukan hal tersebut untuk memperoleh keuntungan secara finansial, sedangkan ada juga yang didorong oleh hasrat dikenal oleh publik atau sekedar bersenang-senang.          

 

Pada tulisan ini, kata korban diganti menjadi penyintas (survivor) karena memiliki makna yang lebih positif. Penyintas lebih menunjukkan kesan mampu untuk memiliki harapan dan kuasa terhadap diri dan masa depannya, dibandingkan kata korban (Sleath & Walker, 2016).

 

Lebih lanjut, penggunaan kata pornografi pun dianggap memiliki fokus yang kurang tepat. Ada kesan lebih menitikberatkan pada perilaku penyintas yang memproduksi konten bermuatan seksual sehingga secara tidak langsung mereka dianggap lebih bersalah dalam peristiwa ini, sedangkan pelaku yang kurang terlihat peranannya. Padahal, pelaku yang menunjukkan adanya kuasa dan kontrol atas penyintas, baik selama menjalin hubungan romantis (meminta, mengancam, memaksa, ataupun memanipulasi untuk menghasilkan gambar maupun film seksual) maupun setelah mengakhirinya (menyebarluaskan gambar dan film kepada khalayak ramai secara online).

 

Menurut Christanto (2017), terkait hukum di Indonesia, belum terdapat ketentuan hukum yang mengatur perihal perbuatan pornografi sebagai usaha balas dendam. Sementara itu, karakteristik pornografi sebagai tindakan balas dendam tidak serupa dengan pembuatan dan penyebarluasan pornografi. Jika tidak ada ketentuan yang jelas, penyintas justru yang akan memperoleh sanksi hukum karena dianggap membuat dan menyebarkan pornografi padahal ia yang dirugikan dalam kondisi ini.

 

Pada kasus ‘revenge porn’, mantan pasangan menyalahi kesepakatan di awal saat mereka membuat materi seksual berupa foto atau video untuk kepetingan pribadi. Bahkan ada juga kasus-kasus dimana penyintas memang tidak memberikan izin untuk memotret atau merekam, namun dilakukan oleh mantan pasangannya secara diam-diam. Tentunya, hal ini dilakukan oleh mantan pasangan demi memperoleh keuntungan psikologis maupun finansial di kemudian hari.

 

Kebanyakan penyintas merasa takut untuk mencari pertolongan dan memilih untuk diam meskipun mereka bingung harus berbuat apa. Kondisi tersebut tidak terelakkan, saat lingkungan sosial (keluarga, teman, bahkan penegak hukum) cenderung  menghakimi atau menyalahkan penyintas terkait peristiwa ini. Alih-alih memperoleh kekuatan dan dukungan emosional, mereka merasa dipojokkan hingga akhirnya penyintas pun menyalahkan diri sendiri (Guggisberg, 2017).

 

Terdapat tiga dampak konkrit yang akan dirasakan oleh seseorang yang mengalami ‘revenge porn’ (Bloom, 2016). Pertama, dampak terhadap karir. Prospek karir penyintas kedepannya dapat terhambat ketika foto atau video mereka sudah tersebar di internet. Di era digital seperti ini, para HRD bukan saja melihat CV kandidat, namun juga mengecek rekam jejak digital. Hal ini dapat berdampak pada reputasi penyintas yang menjadi hancur, dipecat, bahkan batal memperoleh pekerjaan.

 

Kedua, mengalami distres emosional mencakup kemarahan, rasa bersalah, kekhawatiran, hingga gangguan psikologis seperti depresi, gangguan kecemasan, atau PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) serta meningkatnya kerentanan untuk bunuh diri. Penyintas beresiko untuk memperoleh komentar negatif atau dipermalukan oleh banyak orang, baik secara online maupun dalam kehidupan nyata sehingga dapat membuatnya merasa malu, tidak berdaya, dan tidak memiliki harapan hidup.

 

Ketiga, Penyintas rentan memperoleh ancaman pemerasan atau kekerasan fisik dari berbagai pihak, seperti pacar saat ini, orang yang melihat foto/video tersebut, serta mantan pacarnya. Bukan hanya berdampak pada kondisi finansial tetapi juga keselamatan penyintas. Tentunya ini semua merupakan dampak negatif yang dapat menghancurkan harapan hidup mereka kedepannya.

 

Lebih lanjut, penyintas dari ‘revenge porn’ pun harus menghadapi kehilangan yang bersifat abstrak/tidak berwujud (Bloom, 2016). Dalam kehidupan online, penyintas menjadi terpaksa harus menghindari website-website tertentu, mengganti email dan akun media sosial, hingga menarik diri dari komunitas online. Kebebasan di kehidupan nyata pun terkena dampaknya, hingga membuat penyintas mengubah cara interaksinya dengan lingkungan sosial.

 

Kebanyakan penyintas memilih untuk mengisolasi dirinya dari lingkungan, karena takut dikenali oleh orang lain atau menjadi perbincangan masyarakat karena konten tersebut sulit untuk dihapus. (Powell, Flynn, dan Henry, 2017). Mereka pun jadi memiliki trust issue atau sulit untuk mempercayai orang lain khususnya lawan jenis. Yang mana nantinya berdampak pada kesulitan untuk menjalin hubungan yang baru.  Selain itu, mereka kehilangan persepsi positif akan tubuhnya dan cenderung mengasosiasikan dirinya sebagai sosok yang kotor.

 

Melihat begitu banyak dampak negatif yang dapat diperoleh Penyintas, maka mereka perlu untuk dibantu dalam melakukan bentuk coping mechanism yang positif (Bate, 2017).  Contohnya, penyintas perlu didorong untuk mengenali dan mendekati pihak-pihak yang dapat menjadi support system dan fokus dalam usaha melanjutkan hidup. Usaha lainnya adalah, mengekspresikan pengalaman melalui tulisan, dan berusaha menertawakan kejadian yang telah terjadi. Jika cocok dengan nilai hidupnya, penyintas pun dapat mencari kekuatan melalui ibadah keagamaan. Lebih lanjut, jika dirasa perlu, penyintas dapat mencari pertolongan secara professional untuk  melakukan konseling dan terapi psikologis. Di kemudian hari, saat mereka sudah merasa lebih kuat dan siap, mereka dapat merasa lebih baik dengan mengedukasi orang lain agar tidak terjerumus ke dalam kondisi yang sama (mengalami revenge porn) atau berusaha terlibat dengan kebijakan dan isu legal agar dapat memberikan keuntungan kepada para penyintas.

 

Sebagai penutup, akar masalah dari pengambilan dan penyebaran foto ataupun video oleh pasangan maupun mantan pasangan adalah perlunya kesadaran meminta izin atau kesepakatan dari orang lain (Powell, Flynn, dan Henry, 2017). Kita membutuhkan rencana preventif jangka panjang untuk melakukan edukasi dan mempromosikan budaya permintaan izin serta menghargai dan/atau menghormati pasangan beserta kesepakatan yang telah dibuat bersama dalam menjalin hubungan romantis di era digital ini.

 

Referensi:

 

Bate, S. (2017). Revenge porn and mental health: A qualitative analysis of the mental health effects of revenge porn on female survivors. Sage, 12(1), 22-42.

Bloom, S. (2016). No vengeance for ‘revenge porn’ victims: Unraveling why this latest female-centric, intimate-partner offence is still legal, and why we should criminalize it.  Fordham Uran Law Journal, 42(2), 222-289.

Christanto, H. (2017). Revenge porn sebagai kejahatan kesusilaan khusus: Perspektif sobural. VEJ, 3(02), 299-326.

Guggisberg, M. (2017). Revenge porn: A growing contemporary problem. Research Gate, https://www.researchgate.net/publication/316075558.

Kamal, M., & Newman, J. (2016). Revenge pornography: Mental health implication and related legislation. Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law Online, 44(3), 359-367.

Komisi Nasional Perempuan. (2018). Tergerusnya ruang aman perempuan dalam politik populisme: Catatan terhadap perempuan tahun 2017. Komisi Nasional Perempuan. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Mcglynn, C., Houghton, R., Rackley, E. (2017). beyond ‘revenge porn’: The continuum of image based sexual Abuse. Springer. DOI: 10.1007/s10691-017-9343-2.

Powell, A., Flynn, A., Henry, N. (2017). The picture of who is affected by revenge porn is more complex than we first thought. Research Gate.https://www.researchgate.net/publication/323078293.

Reynolds, E. (2017, Maret 16). Why there's no 'silver bullet' for ridding the web of revenge porn. Diakses pada Januari 25, 2019, dari Wired: https://www.wired.co.uk/article/revenge-porn-facebook-social-media.

Sleath, E., Walker, K. (2016). Developing an Evience Base in Understanding and Explaining Revenge Porn. Research Gate. https://www.researchgate.net/publication/304889566