ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 14 Juli 2020

Forgiveness pada Remaja yang Mengalami Kekerasan dari Keluarga: Bagaimana bisa?

 

Oleh

Dhea Benazir Moza Kurniawan, Putu Nugrahaeni Widiasavitri

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana

 

Abuse merupakan bentuk perilaku yang tidak menyenangkan atau lebih dikenal dengan kekerasan. Jika kita pikirkan bersama, apakah ada remaja korban kekerasan dapat memaafkan pelaku walaupun merupakan keluarga sendiri? Pasalnya, korban pasti membenci dan mengalami trauma. Tulisan ini akan membahas mengenai kemungkinan kenapa seorang remaja korban kekerasan oleh keluarga dapat memaafkan keluarganya sendiri.

 

Apa itu Kekerasan? Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 merupakan segala perbuatan yang bisa menyebabkan hidup sengsara ataupun menderita dalam bentuk fisik, psikologis, seksual dan atau merupakan penelantaran. Kekerasan juga meliputi unsur seperti ancaman yang diberikan untuk melakukan suatu perbuatan, memaksa, atau merampas kebebasan dengan melawan hukum (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). American Addiction Center (2015) menguraikan bentuk kekerasan (abuse), yaitu kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan fisik, kekerasan seksual, pengabaian, dan kejahatan kebencian.

 

Kekerasan dikaitkan dengan kegagalan penyesuaian diri pada remaja, seperti kurang mampu membangun hubungan sosial dan tidak menerima kondisi diri, serta berkaitan dengan tindakan agresif dan munculnya pemikiran negatif pada remaja (Muthmainnah, 2015 dalam Wulandari & Nurwati, 2018). Remaja identik dengan masa pencarian jati diri (Sarwono dalam Wahidin, 2017). Pada masa ini, remaja berusaha terlihat mandiri tetapi belum bisa terlepas oleh orangtua atau keluarga. Orangtua yang otoriter, menggunakan kekerasan, dan mengabaikan menyebabkan kepercayaan dan harga diri remaja rendah serta sulit menyesuaikan diri (Andriyani, 2016).

 

Perilaku orangtua seperti melakukan kekerasan, mengabaikan, kasar secara verbal termasuk dalam kekerasan keluarga kepada anak. Jika remaja mengalami kekerasan oleh keluarga, tentu saja dapat menjadi masalah besar dalam diri remaja. Padahal, keluarga merupakan landasan primer bagi pembentukan kepribadian dan sikap individu (Huraerah dalam Nidya, 2014). Keluarga juga merupakan tempat pertama individu mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang bersifat mendalam. Oleh karena itu, keluarga memegang peranan penting dalam perkembangan remaja.

 

Beberapa tugas keluarga yaitu pemenuhan kebutuhan pokok, kebutuhan akan kasih sayang dan cinta kasih, memberikan perhatian, memberikan dukungan sosial, dan rasa aman (Huraerah dalam Nidya, 2014). Disaat remaja tidak mendapatkan kasih sayang tersebut, tentu harus ada penyesuaian yang dia lakukan guna memperbaiki konsep dirinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan memaafkan anggota keluarga yang melakukan kekerasan. Walaupun pasti sulit untuk korban melupakan dan memaafkan kejadian kekerasan yang dilakukan oleh keluarga sendiri.

 

Menurut Enright (Nashori, 2011) forgiveness adalah saat individu yang disakiti mampu meninggalkan sikap cuek, marah serta pikiran negative, dan menumbuhkan empati terhadap pelaku. Memaafkan dapat mengoptimalkan keadaan yang ada dalam diri individu dengan mengubah perasaan negatif kearah positif (Kurniawan, 2019). Memaafkan merupakan cara mengedepankan perasaan positif dan tidak hanya sekedar fokus untuk mengurangi perasaan negatif akibat perilaku orang lain (Sakti et al. dalam Kurniawan, 2019). Pemaafan merupakan perilaku yang timbul dari dalam diri seseorang agar menahan diri untuk tidak membalas perilaku jahat orang lain dan memperbaiki hubungan yang rusak (Putri, 2012).

 

Walter (dalam Maghfiroh & Suryanto, 2018) menyatakan bahwa meminta dan memberi maaf merupakan komponen penting dari setiap pemulihan korban atas kejadian yang dialami. Artinya, forgiveness (permaafan) merupakan suatu aspek yang berpengaruh terhadap penyembuhan dan pemulihan korban kekerasan oleh keluarga. Lalu apa faktor yang membuat remaja dapat memaafkan anggota keluarga yang telah melakukan kekerasan padanya? Apalagi saat mendapat label “korban” pada diri remaja yang pasti akan berpengaruh pada persepsi diri korban.

 

Korban cenderung memaafkan keluarga sebagai pelaku kekerasan dengan alasan hubungan kekeluargaan yang masih terjalin, walaupun korban cenderung menghindari berinteraksi dengan pelaku (Maghfiroh & Suryanto, 2018). Faktor komitmen agama, faktor personal korban, empati, kualitas hubungan, perenungan, kecerdasan emosi, dan respon pelaku juga mejadi faktor penting korban dapat memaafkan pelaku (Sitinjak, 2018). Lebih lanjut dijelaskan bahwa faktor dominan yang memengaruhi pemaafan korban pada pelaku yaitu faktor personal korban, yaitu adanya rasa bersalah oleh korban pada pelaku (Sitinjak, 2018). Adanya perasaan takut, ingatan menyakitkan, serta adanya penilaian negatif terhadap pelaku juga merupakan faktor individu untuk melakukan pemaafan pada keluarga (Maghfiroh & Suryanto, 2018).

 

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa forgiveness merupakan salah satu cara pemulihan remaja sebagai korban. Serta diketahui pula terdapat berbagai faktor yang bisa mendorong remaja melakukan pemaafan pada pelaku kekerasan.  Jadi bagaimana bisa pelaku diberi maaf? Maaf diberikan karena korban mementingkan hubungan kekeluargaan dan faktor personal. Remaja yang memaafkan keluarga sebagai pelaku kekerasan akan mampu menerima serta memaafkan diri sendiri sebagai korban, sehingga nantinya dapat menjalani kehidupan dan perkembangan selanjutnya dengan baik.

 

Referensi:

 

American Addiction Center. (2015). Types of abuse. American Addiction Center. https://www.mentalhelp.net/abuse/types/

Andriyani, J. (2016). Penyesuaian diri remaja. Artikel, 22(34), 39–52. http://www.e-psikologi.com/remaja/160802.htm

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Kekerasan terhadap anak dan remaja. InfoDATIN: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kurniawan, C. (2019). Memaafkan oleh korban kekerasan verbal. Naskah Publikasi: Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Maghfiroh, V. S., & Suryanto. (2018). Forgiveness permaafan pada korban child abuse kekerasan anak. Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial.

Muthmainnah. (2015). Membekali anak dengan keterampilan melindungi diri. In Jurnal Pendidikan Anak (Vol. 3, Issue 1). https://doi.org/10.21831/jpa.v3i1.3053

Nashori, F. (2011). Meningkatkan kualitas hidup dengan pemaafan. Unisia, 33(75), 214–226. https://doi.org/10.20885/unisia.vol33.iss75.art1.

Nidya, N. S. (2014). Hubungan antara kekerasan verbal pada remaja dengan kepercayaan diri. In Skripsi : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Putri, S. W. (2012). Perilaku memaafkan di kalangan remaja broken home. EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi, 1(1).

Sitinjak, N. (2018). Proses pemaafan pada remaja yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga. Skripsi : Fakultas Psikologi Universitas Medan Area.

Wahidin, U. (2017). Pendidikan karakter bagi remaja. Edukasi Islami : Jurnal Pendidikan Islam, 2(03). https://doi.org/10.30868/ei.v2i03.29.

Wulandari, V., & Nurwati, N. (2018). Hubungan kekerasan emosional yang dilakukan oleh orangtua terhadap perilaku remaja. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(2), 132. https://doi.org/10.24198/jppm.v5i2.18364.