ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 07 April 2020
Religious Coping dalam Menghadapi Covid-19
Oleh
Tjitjik Hamidah
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia
DAMPAK WABAH COVID-19
CEO American Psychological Association (APA) menyebut bencana akibat COVID-19 ini sebagai krisis kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan implikasi yang luas dan tak terduga untuk kesehatan mental bangsa. Isolasi sosial, kesedihan, ketakutan, dan stres memiliki dampak nyata dan melumpuhkan telah terjadi pada orang-orang Amerika. Pada tingkat yang mungkin sama atau berbeda, hal itu juga terjadi di Indonesia (HIMPSI, 2020).
Situasi Tanggap Darurat dalam penanggulangan wabah COVID-19 yang terjadi saat ini membuat pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan social serta physical distancing. Social dan physical distancing yaitu membatasi interaksi antar manusia dengan manusia lain, seperti berdiam diri di rumah tidak melakukan aktivitas di luar rumah kecuali untuk urusan sangat penting yang ditujukan untuk mengurangi potensi penularan virus ini. Dengan pembatasan sosial dan fisik, semua aktivitas baik belajar, beribadah maupun bekerja dilakukan di dalam rumah. Kondisi ini dapat memicu kecemasan dan stres akibat perubahan kehidupan sehari-hari yang berubah secara cepat dan mendadak.
Tentu saja hal ini tidak mudah bagi masyarakat Indonesia yang lebih bersifat kolektivisme dibanding dengan individualisme. Adanya anjuran resmi pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung tidak sepenuhnya bisa dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Penularan virus ini bahkan lebih cepat melebihi perubahan perilaku yang diharapkan untuk menghindari penyebarannya. Dampak pandemic Covid-19 ini tidak hanya tingkat penularannya yang begitu cepat dan memakan lebih banyak korban melainkan menimbulkan dampak psikologis seperti timbulnya rasa cemas, kepanikan hingga keresahan, bahkan beberapa mengalami gejala psikosomatis sehingga mengganggu kesejahteraan psikososial.
Sebagai masyarakat yang agamis, banyak warga yang merasa cemas dan khawatir ketika terjadi pembatasan hingga pelarangan dalam melakukan aktivitas beribadah di masjid, baik dalam bentuk sholat lima waktu berjamaah, sholat jumat dan acara-acara pengajian. Bahkan berita terakhir dari Kedutaan Saudi mengumunkan bahwa tahun 2020 ini tidak diijinkan untuk menyelenggarkan ibadah haji dan umroh.
Informasi dan berita dari social media juga menambah kecemasan dan kekhawatiran akan masa isolasi di masyarakat yang akan semakin panjang masanya. Begitu juga banyaknya berita berseliweran yang kadang saling bertentangan sehingga membuat masyarakat bingung dan justu berubah apatis. Penyebab lain adalah karena berlebihan dalam mencari dan mendapat informasi, seperti berlebihan berpikir, berlebihan khawatir, berlebihan ketakutan dan bahkan berlebihan dalam membahas masalah corona.
Menurut dokter jantung Yahya (2020) pemerhati wabah Covid-19 mengatakan bahwa virus Corona jenis baru ini menghantarkan manusia sejagad berhadapan dengan sang penyambar nyawa tak kasad mata. Kecemasan,kekhawatiran dan ketakutan akan kematian menghantui masyarakat akibat virus ini yang sampai sekarang belum ada obatnya. Kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan akan menimbulkan munculnya emosi negative yang akan mempengaruhi aktivitas seseorang. Emosi negative ini dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti lemas, kurang bergairah, pusing, rasa was-was, sakit perut, kejang otot, dan sebagainya. Salah satu cara untuk mengendalikan emosi negative adalah dengan menggunakan koping religious (Religious coping).
KOPING RELIGIUS (RELIGIOUS COPING
Menurut Pargament (2015) koping religius adalah upaya untuk memahami dan mengatasi sumber-sumber stress dalam hidup dengan melakukan berbagai cara untuk mempererat hubungan individu dengan Tuhan. Strategi koping religius cenderung digunakan saat individu menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari manusia serta mendapati dirinya tidak mampu menghadapi kenyataan. Perlakuan kita kepada Tuhan dan juga kepada manusia menjadi benteng pertahanan yang akan menghambat datangnya stressor. Seseorang yang memiliki keyakinan pada Tuhan apabila dihadapkan pada permasalahan yang menekan, dan melibatkan Tuhan dan unsur-unsur keagamaan lainnya disebut dengan koping religius. Beberapa penelitian menunjukan bahwa sebagian orang meyakini bahwa saat menghadapi masalah, agama lebih membantu mereka. Seperti berdoa -sebagai koping- akan lebih membantu saat menghadapi keadaan yang penuh dengan ketidakpastian dan menekan.
Dengan kemampuan koping religius yang baik seseorang cenderung dapat mengelola emosinya secara efektif dan akan memiliki daya tahan untuk mengurangi kecemasan dan stress. Nilai religiusitas sangatlah berperan penting dalam kehidupan manusia karena dapat membawa pemeluknya kearah kehidupan yang lebih baik dengan keyakinan yang kuat kepada Zat Yang Maha Esa dan senantiasa bersikap pasrah dan berserah diri yang akan memberikan optimisme sehingga muncul perasaan yang positif seperti, tenang, nyaman dan aman, rasa senang dan bahagia.
Dalam penelitian Mc Mahon dan dan Biggs (dalam Angganantyo, 2014) membuktikan keafektifan koping religius dan menunjukan bahwa orang dengan tingkat religiusitas dan spiritualnya tinggi serta menggunakan koping religius dalam kehidupannya cenderung lebih tenang dan tidak mudah dilanda kecemasan,. Hal ini bermakna karena koping religius memiliki pengaruh terhadap meregulasi emosi.
STRATEGI COPING RELIGIUS
Pargament (1997) mengidentifikasi strategi koping religius menjadi 3 yaitu :
a. Self-directing, adalah metode coping religius dengan cara berfokus dan bergantung pada diri sendiri daripada Tuhan. Berfokus pada diri sendiri bukan berarti melupakan Tuhan, hanya intensitasnya yang berbeda. Meliputi mencari ketenangan dan bimbingan dengan mengingat Allah, berusaha sabar karena Allah bersama orang-orang yang sabar, penderitaan dan kesulitan memperkuat keimanan, dan penderitaan dapat membawa hambanya lebih dekat kepada Allah.
a. Deferring, cenderung lebih menangguhkan dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan secara pasif.
Merefleksikan cara pasif antara lain adalah tidak mencoba untuk berbuat banyak, hanya menduga Allah akan menanganinya, ditakdirkan untuk memiliki situasi tersebut sehingga tidak mencoba untuk mengubahnya, dan tidak berbuat banyak hanya mengharapkan Allah memecahkan masalah hambanya.
b. Collaborative, yang merupakan gabungan dari self-directing dan deferring dimana individu dan Tuhan menjadi partner.
Dalam collaborative dilakukan dengan cara mengembalikan situasi kepada Allah setelah melakukan semua secara maksimal, melakukan apa yang mampu untuk dilakukan dan menyerahkan sisanya kepada Allah, melakukan semua yang mampu dilakukan dan meminta kepada Allah atas kehendakNya (tawakal).
Dengan memilih strategi yang tepat seperti collaborative, diharapkan dampak psikologis yang diakibatkan oleh penyebaran Covid-19 akan berkurang sehingga orang akan lebih bisa memahami dan menerima keadaan, berusaha semaksimal mungkin dengan cara mengikuti aturan dan larangan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan sisanya baru menyerahkan diri pada zat yang maha kuasa dengan cara berdoa, bersedekah dan menjalankan ibadah sesuai dengan perintah agama masing-masing.
Referensi:
Yahya, A. F. (2020, 4 April) Covid-19 Sang penyibak makna kematian. Kompas. Ditemukan kembali dari: https://kompas.id/baca/opini/2020/04/04/covid-19-sang-penyibak-makna-kematian/
Angganantyo, W. (2014). Coping religious pada karyawan muslim ditinjau dari tipe kepribadian. Jurnal ilmiah Psikologi Terapan, 2(1), 50-61.DOI: 10.22219/jipt.v2i1.1768
HIMPSI (2020). Panduan layanan psikologi dalam masa tanggap darurat Covid-19 bagi psikolog, sarjana psikologi, asisten psikologi dan praktisi psikologi
Pargament, K. I. (1997). The Psychology of Religion and Coping. New York: Guildford Press.