ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 07 April 2020
Merangkul Kesulitan untuk Bertumbuh menjadi Pribadi yang Resilien
Asina Christina Rosito
Fakultas Psikologi, Universitas HKBP Nommensen
Merebaknya virus corona telah meresahkan dunia, dimana WHO menyatakan virus COVID 19 sebagai pandemik yang sangat menguatirkan seluruh penjuru negeri di muka bumi ini. Dampak dari merebaknya wabah virus ini juga mempengaruhi kondisi negeri kita Indonesia, dalam segala aspek kehidupan.
Pemerintah menyarankan masyarakat untuk melakukan social disctancing dan physical distancing, sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran vorus ini. Secara teknis hal ini diartikan dengan melakukan pekerjaan kantor di rumah (Work from home/WFH), belajar di rumah, bahkan ibadah di rumah. Kebijakan ini mempengaruhi banyak aspek hidup kita. Masa isolasi diri di rumah ini membuat kita terhenyak sejenak akan keadaan yang terjadi. Selama ini kita beraktivitas di luar rumah. Biasanya, berangkat kerja pagi dan pulang ke rumah sore atau kadang-kadang sampai malam. Banyak hal-hal urusan pekerjaan yang menanti untuk dikerjakan satu per satu, belum lagi ada target-target individual yang perlu dicapai. Namun, keadaan ini mendorong kita untuk berhenti sejenak, untuk dapat menyadari kembali, hal esensial apa yang kita cari sebenarnya dalam hidup ini.
Secara pribadi, saya memaknasi situasi stay at home, sebagai situasi yang memberi saya kesempatan untuk menata ulang kembali kehidupan saya. Saya memiliki waktu untuk melakukan refleksi diri akan apa prioritas dalam hidup saya, keluarga, kesehatan, pekerjaan, atau pengembangan diri sendiri. Itu hal pertama dan tampaknya signifikan bagi saya untuk memformulasi ulang prioritas hidup. Kedua, sebagai pribadi yang gemar membaca, masa stay at home juga memberi kesempatan untuk membaca buku yang saya sudah berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya di rak buku, namun belum dibaca.
Hal ketiga yang saya alami adalah, saya semakin banyak waktu untuk mensyukuri hidup ini. Di pagi hari nan teduh, saya bisa mendengarkan kicauan burung, merasakan angin sejuk di pagi hari, sambil menaikkan doa dan syukur pada yang Ilahi. Selama ini, saya kurang mampu merasakannya dan memaknainya. Selain itu, dengan keadaan ini, semakin disadari akan berkat kesehatan sebagai harta utama yang patut disyukuri.
Hal keempat yang saya maknai terkait dengan profesi saya sebagai dosen yang selama beberapa minggu terakhir lebih intens berinteraksi dengan mahasiswa melalui media pembelajaran online dalam hal ini saya menggunakan googleclassrom. Sistem pembelajaran online menjadi tantangan sendiri bagi dosen dan bagi mahasiswa. Dosen dituntut untuk mampu belajar dengan cepat bagaimana memanfaatkan media belajar online dengan harapan agar capaian-capaian pembelajaran tetap tercapai, walau dengan kondisi keterbatasan dalam banyak hal. Disisi lain, para mahasiswa juga dituntut melakukan penyesuaian belajar yang cepat mengingat situasi pembelajaran online ini menuntut mahasiswa untuk lebih banyak belajar secara mandiri (independent-learning). Harus diakui, kesiapan setiap mahasiswa bervariasi, tidak dapat diseragamkan mengingat kondisi internal maupun eksternal mahasiswa itu sendiri. Kondisi internal dalam hal ini mencakup berbagai variasi individual antara lain kemampuan kognisi, kepribadian, motivasi, minat, expectancy, tujuan, kebutuhan-kebutuhan personal, dan aspek personal lainnya. Kondisi eksternal dari mahasiswa sebagai pembelajar mencakup sarana-prasarana yang tersedia, dukungan sosial keluarga, dan dukungan sosial teman sebaya.
Kondisi yang mengharuskan untuk stay at home, baik bagi dosen maupun mahasiswa, tentu tidak mudah pada awalnya. Tak jarang status media sosial mahasiswa mengindikasikan perasaan tertekan akan tugas yang menanti dan adanya perasaan marah karena sarana prasarana yang kurang mendukung. Dalam satu tugas essay tentang gambaran kondisi yang mereka alami selama 3 minggu terakhir perkuliahan online, sebagian besar dari mereka menguraikan situasi belajar online ini sebagai situasi yang sangat sulit, lebih sulit dari perkuliahan biasa yang berlangsung selama ini. Malahan beberapa dari mereka merasa lebih baik kuliah tatap muka langsung dibandingkan kuliah online. Latar belakang mahasiswa di kampus saya banyak yang berasal dari daerah, dan tidak sedikit dari mereka yang memilih pulang kampung dikarenakan kekuatiran akan situasi di kota Medan, dan juga ada unsur desakan dari orang tua. Sehingga, masalah teknis terkait jaringan internet ataupun kuota internet sering menjadi penghambat dalam pembelajaran online dimana mereka akhirnya jadi terlambat mengirimkan tugas, tidak ada buku yang tersedia, tidak bisa berdiskusi langsung dengan teman atau dosen. Belum lagi tuntutan tugas yang disertai minimnya penjelasan atau informasi tambahan, menuntut mereka perlu esktra untuk belajar mandiri. Hal ini makin dipersulit, karena mereka tidak dapat berinteraksi langsung dengan teman atau kakak kelas yang mereka harapkan bisa membantu, dikarenakan teman dan kakak kelasnya juga sibuk dengan situasi belajar mandirinya juga. Kebutuhan sosial mereka seakan-akan terhambat saat ini. Kebutuhan hidup sehari-hari pun mulai terancam dengan minimnya warung makan yang masih buka, warung internet atau rental komputer yang tutup, kios jual pulsa atau paket yang tutup, dan lain sebagainya. Gambaran situasi-situasi ini menunjukkan indikasi keadaan distress emosional pada mahasiswa dimana ada rasa marah, frustasi, takut, cemas, dan tertekan.
Mencoba memahami situasi ini, saya mengajak mereka untuk berpikir bahwa situasi sulit yang dialami saat ini merupakan suatu latihan mental bagi mereka yaitu melatih kemampuan bertahan dan beradaptasi dalam situasi yang sangat menekan ini. Melalui media sosial seperti WA, dan juga lewat ruang diskusi di googleclassroom, secara intens saya mengajak mereka untuk memandang situasi sulit ini dari sudut pandang yang berbeda yakni ini sebagai kesempatan mengembangkan resiliensi mereka secara umum dan secara khusus resiliensi akademik. Saya mencoba memberikan perhatian yang lebih mendalam pada kondisi personal mahasiswa.
Resiliensi akademik adalah kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan, hambatan, dan tekanan secara efektif pada setting akademik (Martin & Marsh, 2006). Resiliensi akademik merupakan respon adaptasi yang positif dalam menghadapi suatu kondisi yang menekan, sulit dan menimbulkan stres. Hendriani (2018) merangkum bahwa resiliensi akademik merupakan proses dinamis yang mencerminkan kekuatan dan ketangguhan seseorang untuk bangkit dari pengalaman emosional negatif, saat menghadapi situasi sulit yang menekan dalam aktivitas belajar yang dilakukan. Pada dasarnya, situasi kini dalam segala kerumitannya, sedang melatih mahasiswa dan dosen, serta setiap pribadi pada umumnya untuk mengembangkan resiliensinya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, menjadi pribadi yang resilien, adalah menjadi pribadi yang mau bertumbuh, bahkan dalam situasi sulit sekalipun. Selain keluarga (Walsh, 2012), pelaku pendidikan dalam hal ini para pengajar, punya peran yang signifikan dalam mempengaruhi para pembelajar untuk bertumbuh (Handerson, 2012). Akhirnya, saya mangajak para pengajar dalam segala tingkat pendidikan, mari mengajar dan mendidik siswa atau mahasiswa yang kita ajar, untuk bertumbuh dan berproses menjadi pribadi-pribadi yang resilien.
REFERENSI
Handerson, N. (2012). Resilience in schools and curriculum design. In Ungar, M, The social ecology of resilience: A Handbook of theory and practice (pp.297-306). Springer.
Hendriani, W. (2018). Resiliensi Psikologis: Sebuah Pengantar. Kencana.
Martin, A. J., & Marsh, H. W. (2006). Academic resilience and its psychological and educational correlates: A construct validity approach. Psychology in the Schools, 43, 267-282. DOI: 10.1002/pits.20149.
Walsh, F. (2012). Facilitating family resilience: Relational resources for positive youth development in conditions of adversity. In Ungar, M, The social ecology of resilience: A Handbook of theory and practice (pp. 173-185). Springer