ISSN 2477-1686

 

Vol.6 No. 07 April 2020

Meaning in Life: Siapapun Kita, Peran Kita Sangatlah Penting

 

Oleh

Maulia Nur Adrianisah

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease-2019) merupakan virus yang menyerang beratus ribu orang di dunia ini tanpa pandang usia. Akibat serangannya, sejumlah kegiatan yang sudah direncanakan terpaksa ditunda atau bahkan digagalkan. Pembatasan sosial dan fisik (social and physical distancing) serta tidak mudik adalah cara yang harus dilakukan untuk mengurangi resiko penyebaran. Namun, belum banyak anggota masyarakat yang memahaminya.

 

Mengenai pembatalan agenda, saya dan keluarga termasuk salah satu dari sekian banyak yang dengan terpaksa harus membatalkan rencana mudik ke kampung halaman. Tidak tanggung-tanggung, diperkirakan sampai lebaran. Bagi saya yang termasuk jarang pulang kampung, perasaan berat pasti ada. Rencana sudah disusun sejak tahun lalu, tiba-tiba saja harus dibatalkan. Kalau saya ingin bersikap egois, saya bisa kok ”bodo amat” pulang kampung. Pakai jaket, sarung tangan dan masker sepanjang perjalanan. Tidak mengobrol dengan siapapun, tidak menyentuh apapun. Gampang.

 

Namun, saya berfikir, “Apa itu menjamin bahwa saya tidak akan berpapasan atau bertemu dengan orang yang bahkan belum memiliki gejala padahal virus sedang bereaksi di dalam tubuhnya? Lalu saya ‘membawa oleh-oleh’ virus bagi keluarga saya di rumah? Belum lagi saya harus berada di rumah selama 14 hari untuk karantina mandiri. Lalu, bagaimana dengan tetangga yang berkunjung, walaupun bukan mengunjungi saya, tapi mereka sudah masuk dalam ‘rumah yang tidak aman’ akibat kedatangan saya”. Terlalu banyak risiko yang harus saya ambil hanya untuk memenuhi ambisi saya untuk pulang.

 

Saya jadi teringat pesan ibu saya sebelum saya keluar dari rumah, setelah saya resmi menjadi seorang istri. Beliau berpesan:

“Nak, titipkan saja mama, papa dan adik-adik kepada Allah. Insya Allah semuanya sehat-sehat dan baik-baik saja”

Ya, sekelumit kalimat itulah yang menguatkan diri saya untuk tetap berada di perantauan bersama suami.

 

Meskipun demikian, perjuangan tidak berhenti sampai di situ saja. Memang, saya bukanlah orang di garda terdepan seperti tenaga kesehatan yang harus standby di rumah sakit untuk menjaga dan menyembuhkan pasien. Bahkan ada teman saya yang menitipkan kedua buah hati kecilnya ke rumah orang tuanya agar terlindungi dari virus yang ‘siapa tahu’ dia bawa sesampainya dia di rumah. Tetapi peran utama saya adalah seorang istri sekaligus menantu, yang merupakan pendamping hidup dari anak terakhir mertua saya. Peran inilah yang saya mainkan untuk melindungi keluarga saya di masa sulit ini. Saya adalah pelindung keluarga kecil saya.

 

Meaning in life: Meaning is the concrete meaning of a concrete situation. it is the particular challenge of the hour. Every day, every hour presents a new meaning. and a different meaning aaits each individual person. Thus there is a meaning for each and every person, and for each and every person there is a particular meaning (Fridayanti, 2013).

 

Saat ini, suami saya terkadang harus ke luar rumah untuk menyelesaikan penelitiannya. Saya, ibu dan juga bapak terkadang harus ke luar rumah untuk melakukan suatu hal. Mertua saya berusia lanjut, yang berdasarkan pendapat para ilmuwan, usia lanjut tergolong rentan tertular virus Covid-19 ini. Bukan berarti kami, saya dan suami termasuk aman. Meskipun kami masih tergolong dewasa muda, kami bisa saja berperan sebagai carrier yang membawa virus ke dalam rumah. Himbauan di rumah saja agak sulit diterapkan setiap saat di dalam keluarga kami. Dengan keadaan demikian, saya memutar otak untuk berusaha melindungi keluarga saya agar jangan sampai terkena ataupun terbawa virus ke dalam rumah.

 

Dalam proses mencari cara melindungi, tidak dapat dipungkiri informasi banyak sekali berseliweran di media. Mulai dari jumlah orang yang positif, ODP, PDP, gossip, cara melindungi, sikap masyarakat dan sebagainya. Akhirnya, saya hanya berfokus memilih informasi yang mengandung cara pertahanan diri yang bisa dilakukan di rumah dan mudah diperoleh.

 

Misalnya, saya menyediakan botol berisi cairan pencuci tangan di wastafel. Walaupun saya sudah menyediakannya jauh-jauh hari sebelum Covid-19 ini muncul. Saya hanya tinggal menambahkan jumlah stok sabun cair yang biasanya saya hanya membeli satu bungkus kecil, kini saya tambah menjadi dua bungkus kecil untuk satu bulan, yang saya campurkan dengan air hingga penuh. Kenapa bukan bungkus besar atau menambah menjadi lima bungkus kecil sekalian? Saya tidak ingin bersikap reaktif, kalap lalu membeli semua stok mumpung ada. Manusia yang butuh persiapan bukan hanya saya saja. Tetapi saya akan mencoba untuk lebih bersikap responsif. Membeli ‘alat tempur’ seperlunya, memilih informasi dan membeli kebutuhan seperlunya juga salah satu sikap responsif yang bisa diterapkan.

 

Selain itu, saya mencoba untuk membuat disinfektan sendiri dari bahan yang diajarkan di salah satu selebaran di media sosial. Saya sulap botol pelicin pakaian, menjadi botol disinfektan siap pakai. Persiapan selesai. Agar semua berjalan lancar, suami terlebih dahulu menyampaikan kepada saya untuk membantunya dalam mengingatkan kedua orang tuanya agar bersedia mencuci tangan sesampainya di rumah. Suami saya sendiri sampai di rumah langsung membersihkan diri. Sedangkan saya menyemprot semua perlengkapannya dengan disinfektan. Lalu, setiap seminggu sekali, saya bersihkan benda-benda yang sering disentuh menggunakan disinfektan.

 

Di hari pertama saya menjalankan rencana saya saat sedang membersihkan gagang pintu, ibu mertua saya berkata, “Ul, ngelihat kamu seperti ini, kok saya jadi takut ya”. Saya tersenyum sambil berkata, “Ini waspada, mi. Jangan takut ya”. Setelah itu, setiap kali ibu saya mengutarakan rasa takutnya terhadap virus, ibu dengan segera menyahut perkataannya sendiri, “waspada, mi. Bukan takut”. Rupanya, kalimat itu menjadi sugesti positif bagi ibu mertua saya.

 

Berbicara soal takut, teman saya pernah bertanya dalam suatu chat di media sosial,

“kamu takut nggak, Ul?”

“Em, gimana ya, Put. aku pribadi kalau sampai terkena virus itu, aku ndak masalah karena aku sudah waspada semaksimal yang aku bisa. Kalau harus kena, memang sudah jalannya. Yang aku ndak mau, kalau sampai apa yang kubawa juga mengenai keluargaku. Jadi, aku harus sehat. Jangan sampai keluargaku jadi sasarannya..”

 

Bukan takut, tapi waspada. Narimo ing pandum: menerima keadaan bahwa Tuhan telah memberikan pandum dan segala sesuatu sudah diatur, sehingga mengurangi perasaan kecewa tanpa meninggalkan obah (usaha) dan pepesthen (Takdir Tuhan) (Soesilo, 2003). Mempertimbangkan sikap yang terbaik dengan matang bukan reaktif karena banyaknya informasi dan rasa takut yang membayangi kita. Sikap waspada dan bertanggungjawab yang kita jalani, ternyata memberikan dampak positif bagi lingkungan terdekat kita.

 

Jadi, terimalah, lalu mari temukan peran kita. Bangun kewaspadaan dan tularkan semangat waspada tersebut ke lingkungan kita. Dengan demikian, sikap antisipatif akan muncul, yang diharapkan dapat memutus rantai penyebaran Covid 19.

 

Referensi:

 

Fridayanti. (2013). Pemaknaan Hidup (Meaning In Life) Dalam Kajian Psikologi. Psikologika. 18(2). 189-198. DOI: 10.20885/psikologika.vol18.iss2.art8

 

Soesilo. (2003). Piwulang Ungkapan Orang Jawa. Yayasan Yusula