ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 07 April 2020
COVID-19 Wabah Pembawa Harapan
Oleh
Utari Febriani & Zakwan Adri
Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Padang
Awal tahun ini kita digemparkan dengan COVID-19, yaitu virus berbahaya yang menyerang saluran pernafasan dan kabar buruknya virus ini menular jika kita melakukan kontak dengan orang yang telah terpapar virus. COVID-19 membuat pemerintah menghimbau banyak sekolah dan universitas memindahkan pembelajaran ke rumah melalui daring dan karyawan mulai bekerja dari rumah. Pemerintah juga meminta warganya untuk stay at home dan melakukan social distancing dan self quarantine.
Hal ini juga saya rasakan sebagai mahasiswa saya sudah beberapa minggu terakhir belajar dari kosan atau orang-orang menyebutnya study from home. Saya adalah mahasiswa perantauan yang tinggal jauh dari orang tua. Merantau dan pergi jauh dari orang tua serta keluarga mungkin menjadi pilihan bagi sebagian orang. Merantau memiliki banyak alasan, entah alasan melanjutkan pendidikan ataupun meraih jenjang karir yang lebih menjanjikan. Saya memberanikan diri untuk merantau jauh-jauh dari Tangerang ke Bukittinggi untuk mencapai mimpi saya menjadi psikolog dengan berkuliah disini.
Seorang diri pergi ke daerah baru bukanlah perjalanan yang mudah, kerap kali saya menemukan masalah yang mau tidak mau harus dihadapi sendirian, termasuk saat ini ketika pandemi COVID-19 tengah mewabah hampir di seluruh dunia. Masalah dan hambatan saya bertambah berkali-kali lipat, mulai dari sulitnya jaringan untuk kuliah online, kehabisan stok makanan ketika sedang self-quarantine, hingga perasaan kesepian dan homesick yang menginginkan untuk pulang ke rumah.
Beberapa bulan ini, saya mengalami perasaan tertekan dan merasa kehilangan arah dan tujuan hidup saya. Saya baru genap berusia 22 tahun, usia dimana sudah terbilang cukup dewasa dan seharusnya sudah memiliki target dan tujuan hidup. Pada usia belasan tahun saya sudah merancang mimpi, hidup dan masa depan saya namun saat ini semuanya terasa sulit, berat dan tidak lagi realistis untuk dicapai, hal ini karena saya merasa tertinggal jauh dengan teman-teman dilingkungan saya yang sudah memiliki gelar, sudah menikah dan berkeluarga, dan bahkan sudah memiliki karir yang cukup baik di usia yang sama dengan saya. Ketika saya membaca artikel di internet saya menyadari bahwa saya sedang mengalami quarter life crisis, dimana adanya perasaan ketidaksiapan, keraguan dan cemas menghadapi transisi menuju masa dewasa (Robinson, 2008).
Dengan perasaan yang saya miliki ini saya ingin sekali pulang ke rumah dan bersembunyi dari dunia ini namun, kuliah harus terus saya jalani karena saya tidak mau mengecewakan orang tua saya. Ketika Pandemi COVID-19 ini mulai mengkhawatirkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memindahkan pembelajaran melalui daring dan mahasiswa diminta belajar dari rumah, hal ini menjadi mungkin menjadi kesempatan bagi saya untuk pulang ke rumah dan mencurahkan semuanya kepada mama. Namun, malang ternyata rumah saya di Tangerang merupakan zona merah dan orang tua saya khawatir jika saya akan tertular virus jika pulang ke rumah, alhasil saya tetap bertahan di kos saya sendirian.
Selama self-quarantine ini perasaan itu kembali datang kecemasan saya mengenai hidup, sesekali saya bercerita kepada teman-teman saya melalui aplikasi chatting namun, sepertinya tidak cukup menolong saya. Dan saya coba mencari kesibukan dengan mengikuti kegiatan menulis bersama seorang dosen di kampus saya dan saya mulai menyukai menulis walaupun sulit diawal untuk melakukannya. Berkat menulis ini saya mulai membaca buku dan kemudian saya tertarik untuk membaca konsep harapan (hope).
Harapan adalah persepsi yang bisa dicapai seseorang dan diinginkan oleh tujuan yang telah ditentukan seseorang di dalam kehidupannya. Sederhananya, seseorang yang pemikirannya penuh harapan mencerminkan kepercayaan yang dapat ditemukan dalam jalur menuju tujuan yang diinginkan dan menjadi motivasi diperintahkan untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan berfungsi untuk mengarahkan emosi dan kesejahteraan orang (Snyder & Lopez, 2002).
Setelah membaca konsep ini saya memahami apa yang salah dari diri saya, saya tidak memiliki kepercayaan diri dan terlalu takut untuk menghadapi dunia ini, mulai dari konsep ini saya belajar untuk membangun kepercayaan diri saya dan juga menghilangkan rasa takut untuk menghadapi dunia, perlahan saya mulai menemukan satu persatu tujuan dan apa yang saya ingin lakukan di kehidupan ini.
Siapa yang menyangka bahwa pandemi COVID-19 ini yang akan membantu saya menemukan konsep harapan dan membuat saya kembali yakin pada diri saya sendiri, tetapi untuk menghadapi pandemi COVID-19 harapan memang diperlukan perannya, harapan diperlukan untuk seluruh masyarakat, harapan agar setiap harinya tidak ada lagi kasus yang bertambah, harapan agar tenaga medis selalu menjadi tangguh di garda terdepan melawan pandemi ini dan harapan agar situasi cepat kembali pulih seperti sediakala.
Referensi:
Robinson, O. (2008). How to turn your quarter life crisis into quarter lyfe catalist. First Direct Banks, 1-10.
Snyder, C., & Lopez, S. (2002). Handbook of positive psychology. Oxford University Press.