ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 06 Maret 2020
Solitude: Berjarak Fisik demi Pertumbuhan Diri
Oleh
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya
Sebagian dari kita ‘menderita’ akibat adanya anjuran menjaga jarak fisik (physical distancing) selama pandemi Covid-19. Hal ini manusiawi mengingat kita adalah mahluk sosial yang menikmati adanya orang lain untuk menghindari kesendirian apalagi keterkucilan.
Tulisan ini menyodorkan argumen bahwa justru kinilah kesempatan bagi kita untuk bisa menikmati solitude (kesendirian). Burger (1995) dalam Sreenlvasan (2018) mendefinisikan solitude mencakup adanya jarak fisik dari orang lain – uraian yang cukup tepat dengan situasi physical distancing saat ini. Berbeda dengan kesepian (loneliness) yang seringkali diasosiasikan dengan pengalaman negatif, solitude (kesendirian) justru punya makna yang lebih positif. Hal ini dapat dilihat pada sejumlah penelitian di bawah ini.
Dalam mengkaji solitude, terdapat sejumlah sudut pandang – salah satunya adalah bahwa solitude adalah pengalaman positif. Coplan dan Bowker (2014) melihat bahwa solitude yang positif adalah ketika seseorang menarik diri secara mandiri dari kesempatan berinteraksi secara sosial (individuals remove themselves from opportunities for social interaction).
Solitude seperti ini boleh jadi karena individu yang bersangkutan memang lebih senang sendiri (preference for aloneness) karena tergolong tipe introversion sebagaimana dilihat dari dimensi ekstraversi dalam teori kepribadian Big Five (Leary, Herbst & McCrary, 2003). Tipe seperti ini tidak terlalu butuh untuk jadi bagian dari kelompok (need to belong), tidak terlalu punya keinginan yang besar untuk membuka kontak sosial, menjalani aktivitas soliter dengan frekuensi yang cukup tinggi serta memilih berkegiatan sendiri ketimbang bersama orang lain.
Selain itu, individu dengan dispositional autonomy, yaitu mereka yang cenderung otonom dalam mengatur perilakunya, juga cenderung menikmati dunia batin ketimbang dunia sosial. Hal ini karena individu semacam ini lebih senang menikmati pengalaman emosional serta nyaman menyelami dirinya sendiri (Weinstein, Przybylski, & Ryan, 2013). Solitude memberi kesempatan bagi individu seperti ini untuk memproses pikiran dan perasaannya, mengkaji diri sendiri baik di masa kini maupun di masa lalu dan mengintegrasikan jati dirinya secara kongruen.
Coplan dan Bowker (2014) merangkum bahwa ketika individu memilih untuk menyendiri, maka solitude dapat memberikan sejumlah manfaat. McCutcheon, Aruguete, Scott, dan VonWaldner (2004) menjelaskan bahwa solitude dapat berkontribusi pada penyesuaikan diri secara psikologis yang sehat (healthy psychological adjustment). Hal ini karena waktu sendiri merupakan peluang bagi kita untuk menarik nafas sejenak dari tekanan sosial, berkesempatan untuk melakukan refleksi dan memetik hikmah dari pengalaman selama ini serta menikmati momen untuk mengembangkan diri secara personal, spiritual maupun kreatif.
DePaulo (2018) juga menyebutkan alasan positif dari menikmati waktu sendiri yaitu: kita dapat menikmati kesunyian, kita menjadi bisa fokus pada akvitas yang benar-benar kita minati, kita bisa punya kesempatan untuk merenung, kita pun punya waktu sendiri memicu kreativitas kita serta kita menjadi bisa memaknai pentingnya privasi dalam hidup.
Long, Seburn, Averill dan More (2003) memotret sejumlah pengalaman positif terkait solitude yaitu memahami diri sendiri (self-understanding), pemulihan diri (self-renewal) serta kreativitas. Selain itu, Nguyen, Ryan dan Deci (2017) juga menyebutkan solitude dapat memberikan kesempatan relaksasi, refleksi diri, penggalian kreatif serta regulasi emosi.
Dapat disimpulkan bahwa solitude yang dipilih sendiri oleh individu yang bersangkutan karena alasan intriksik secara positif berkorelasi dengan kesejahteraan (well-being) (Thomas & Azmitia, 2019). Coplan dan Bowker (2014) melihat bahwa dibandingkan dengan usia kanak-kanak atau lansia, remaja maupun dewasa adalah kelompok usia yang paling mampu untuk memetik manfaat positif dari solitude. Hal ini karena kelompok usia ini sanggup untuk hidup independen maupun percaya diri dalam kondisi terbebas dari ketergantungan pada orang lain.
Bagi sebagian dari kita yang ‘tersiksa’ dengan jarak fisik, maka menarik untuk mencoba memetik pelajaran dari pengalaman orang-orang yang bekerja dalam situasi terisolasi, contohnya astronot, pendaki gunung, mereka yang bekerja di kapal selam maupun dokter di tempat terpencil, seperti dijelaskan oleh Strickland (2020) dalam artikelnya. Dari wawancara yang ia lakukan, berikut sejumlah hal yang bisa kita petik bersama.
Semakin cepat kita menerima kenyataan bahwa hidup kita ke depan berubah, maka semakin cepat pula kita bisa merasa nyaman dengan perubahan ini. Diawali acceptance (penerimaan) seperti ini, kita kemudian bisa maju lebih jauh untuk melakukan hal-hal berikut. Kita bisa menyusun jadwal dan kebiasaan baru yang bisa memberi kita perasaan bahwa kita memegang kendali (sense of control) – termasuk membagi rutinitas secara fisik maupun waktu, contohnya waktu makan dan ruang kerja. Kita bisa mencari hal-hal yang selama ini belum sempat kita kerjakan karena belum ada waktu. Merawat diri sendiri (self-care), termasuk menjaga kebersihan diri, punya waktu istirahat, berolahraga dan mengelola suasana hati juga dapat kita lakukan.
Singkatnya, dengan berfokus pada alasan untuk menyendiri (why) dan manfaat yang bisa kita petik dari kesendirian (what to gain), maka situasi jarak fisik saat ini menjadi bagian dari perjalanan kita menuju pertumbuhan diri (personal growth).
Referensi:
Coplan, R. J. & Bowker, J.C. (2014). All alone: Multiple perspectives on the study of solitude. Coplan & Bowker (editor). The handbook of solitude: Psychological perspectives on social isolation, social withdrawal and being alone. Oxford: John Wiley & Sons.
DePaulo, B. (2018). Is solitude something you enjoy or a way of avoding others? Psychology Today, 11 Desember, https://www.psychologytoday.com/us/blog/living-single/201812/is-solitude-something-you-enjoy-or-way-avoiding-others
Leary, M. R., Herbst, K. C., & McCrary, F. (2003). Finding pleasure in solitary activities: desire
for aloneness or disinterest in social contact? Personality and Individual Differences, 35(1), 59-68. https://doi.org/10.1016/S0191-8869(02)00141-1
Long, C.R., Seburn, M., Averill, J.R. & More, T.A. (2003). Solitude experiences: Varieties, settings and individual differences. Personality Social Psychology Bulleting 29 DOI: 10.1177/0146167203029005003.
McCutcheon, Aruguete, Scott & Von Waldner (2004). Preference for solitude and attitude toward one’s favorite celebrity. North American Journal of Psychology 6 (3) 499-506
Nguyen, T.T., Ryan, R.M. & Deci, E.L. (2017). Solitude as an approach to affective self-regulation. Personality and Social Psychology Bulletin DOI: 10.1177/0146167217733073
Strickland, A. (2020). Living an isolated life: Astronauts, Antartic doctors and climbers share their advice, CNN, 27 Maret.
Sreenlvasan, S. (2018). The benefits of spending time alone. Psychology Today, 2 Desember. https://www.psychologytoday.com/ie/blog/emotional-nourishment/201812/the-benefits-spending-time-alone?amp
Thomas, V. & Azmitia, M. (2019). Motivation matters: Development and validation of the Motivation for Soliture Scale-Short Form (MSS-SF). Journal of adolescence, 70, 33-42, https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2018.11.004
Weinstein, N., Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2011). Motivational determinants of integrating positive and negative past identities. Journal of Personality and Social Psychology, 100(3), 527. http://dx.doi.org/10.1037/a0022150